Postingan

Menampilkan postingan dari 2009

MENCARI INSTRUMEN MONETER ALTERNATIF (HARIAN KONTAN, OPINI, 30 NOVEMBER 2009, HLM. 23)

Oleh: Khairunnisa Musari (Mahasiswa S3 Prodi Ilmu Ekonomi Islam Unair, Surabaya) Likuditas perbankan saat ini berlimpah. Per awal November 2009, dana menganggur yang ditempatkan pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI) telah mencapai Rp 280 triliun. Angka ini jauh di atas nilai per akhir tahun lalu yang sebesar Rp 166,51 triliun. Menurut prediksi, angka ini akan menembus Rp 300 triliun pada 2010. Berlimpahnya likuiditas perbankan tidak lepas dari timpangnya pertumbuhan antara dana pihak ketiga (DPK) dan kredit yang membuat dana menganggur terus menumpuk. Excess of liquidity ini berbahaya karena berpotensi menjadi ajang spekulasi kurs. Untuk mencegah spekulasi kurs, bank sentral mau tidak mau harus menyerap likuiditas meski konsekuensinya membuat biaya moneter melonjak tajam. Dengan kewenangan yang dimilikinya, bank sentral dapat melaksanakan pengendalian moneter dengan menggunakan sejumlah instrumen. Salah satu instrumen moneter yang kerap digunakan adalah operasi pasar terbuka (OPT) dan

PENERBITAN SUKUK NEGARA BERPOTENSI UNTUK MENJAGA KESINAMBUNGAN FISKAL (HARIAN KONTAN, 20 OKTOBER 2009, HLM. 23)

Oleh: Khairunnisa Musari (Mahasiswa S3 Prodi Ilmu Ekonomi Islam Unair, Surabaya) Untuk menutup defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2009, pemerintah pada 13 Oktober lalu mengadakan lelang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk negara. Meski belum ada penawaran yang dimenangkan karena tingginya yield yang masuk dari investor, pemerintah berencana mengadakan lelang reguler bulanan dari sukuk berdenominasi rupiah. Hal ini tidak lepas dari keyakinan pemerintah bahwa sukuk negara berpotensi untuk menjaga kesinambungan fiskal. Lelang sukuk negara di bulan Oktober ini adalah lelang sukuk negara pertama yang dilakukan pemerintah. Lelang sukuk untuk menutupi defisit anggaran 2009 ini hanya akan dilakukan 4 kali dalam waktu yang tersisa. Jumlah penerbitan disesuaikan dengan sisa penerbitan dari Surat Utang Negara (SUN) dan sukuk negara yang tinggal Rp 14 triliun atau 10 persen dari Rp 144 triliun. Lelang perdana dengan target indikatif Rp 1,5 triliun ini bernomor seri

Simposium Nasional IV Sistem Ekonomi Islam (Yogyakarta, 8-9 Oktober 2009)

Dear All, Minggu lalu saya ikutan Simposium Nasional (Simponas) IV Sistem Ekonomi Islam di Yogyakarta. Peserta yang hadir lumayan banyak. Ada yang dari Jakarta, Padang, Maluku, Pontianak, Surabaya, Semarang, Malang, Jambi, bahkan beberapa dari perguruan tinggi di Malaysia. Ya, banyak informasi, riset, dan pemikiran2 baru yang mengemuka di sana. Kebetulan ada 2 paper saya yang ikut dipresentasikan: 1. Menggagas Sukuk sebagai Instrumen Fiskal dan Moneter di Indonesia; dan 2. Rekonstruksi Globalisasi: Reorientasi Tujuan, Sasaran, dan Strategi Negara dalam Legitimasi Pembangunan Ekonomi Islam. Oh ya, seluruh materi yang dipresentasikan n masuk proceeding meliputi: 1. Akuntansi Syariah; 2. GCG dan Bisnis Syariah; 3. Perilaku Organisasi dan Pengembangan SDM; 4. Regulasi, Pengawasan dan Inovasi Produk; 5. Pengembangan Bank Syariah; 6. Analisis Efektivitas dan Efisiensi Bank Syariah; 7. Sukuk; 8. Instrumen Pembiayaan, Resiko dan Keagenan; 9. Wakaf Tunai; 10. Peran LKS dalam Pemberdayaan Masy

MEREPOSISI TUJUAN DAN STRATEGI PENERBITAN SUKUK (HARIAN KONTAN, OPINI, 21 AGUSTUS 2009)

Oleh: Khairunnisa Musari (Mahasiswa S3 Ilmu Ek Islam Unair, Surabaya) Dalam upaya mendiversifikasi investor surat berharga, pemerintah kini gencar menerbitkan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk. Sayangnya, sukuk kerap diposisikan sama dengan Surat Utang Negara (SUN). Dibutuhkan reposisi agar tujuan, sasaran, dan strategi penerbitan sukuk menjadi lebih optimal. Untuk menutup defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2009 ini, pemerintah pada 18 Agustus lalu menerbitkan SUN sebanyak empat seri dengan perolehan Rp 2 triliun. Melalui Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2002, pemerintah memang diberi wewenang untuk menerbitkan SUN sebagai sumber pembiayaan dalam mengatasi defisit anggaran atau menutup kekurangan kas jangka pendek atau mengelola portofolio utang negara. Dalam upaya menggali alternatif instrumen yang mendukung diversifikasi investor surat berharga, pemerintah melirik SBSN atau sukuk. Akhir Juli lalu, pemerintah kembali berencana menerbitkan sukuk dengan

Met Puasa buat Semuanya...

Dear All, Met puasa ya buat semuanya. Saya mohon maaf jika ada khilaf. Semoga Ramadhan ini menjadi bulan penuh berkah dan penuh ampunan untuk kita semua. Semoga Allah melipatgandakan seluruh amal ibadah dan kebaikan kita di bulan suci ini. Ameeeeeeeennnnnnnn.

Vacuum for temporary...

Uppps.... sudah sebulan ini saya tidak menulis. Mohon maklum, energi banyak tercurahkan untuk persiapan ujian materi kualifikasi. Mohon do'anya ya.... 8-)

"NEOLIBERALISME VS EKONOMI KERAKYATAN" ALA SRI-EDI SWASONO (Surabaya Post, Oeuvre, 14 Juni 2009)

Gambar
Oleh: Naurah Najwa Hairrudin ( Mantan Jurnalis, sedang menempuh program Doktoral di Unair, mahasiswa Prof Sri-Edi Swasono) Jauh sebelum isu neoliberalisme diperbincangkan, Sri-Edi Swasono sudah lebih dahulu menyorotinya. Kebanyakan buku-buku Sri-Edi bicara tentang mewa spadai neoliberalisme. Hal ini mungkin tidak lepas dari peran mertuanya, Bung Hatta, yang telah menanamkan padanya bahwa ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang paling tepat untuk bangsa ini. Isu yang santer berkembang menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 adalah paham neoliberalisme vs ekonomi kerakyatan. Jauh sebelum isu ini diperbincangkan, Sri-Edi Swasono adalah salah satu dari sedikit orang yang sudah sejak dahulu menjadikannya sebagai isu krusial. Tidak pelak lagi, lantaran hal ini pula, Sri-Edi kerap dianggap sebagai ‘orang aneh’ karena kekeuh menolak neoliberalisme dan mempertahankan ekonomi kerakyatan. Dalam Kompetensi dan Integritas Sarjana Ekonomi (2002), Sri-Edi m

STIGLITZ, INDONESIA, DAN EKONOMI SYARIAH (Surabaya Post, Oeuvre, 7 Juni 2009)

Gambar
Oleh: Khairunnisa Musari  Ada benang merah antara Stiglitz, pemenang Nobel ekonomi 2001, dengan Indonesia dan ekonomi syariah. Melalui buku-bukunya, Stiglitz banyak mengungkap berbagai persoalan yang secara langsung dan tidak langsung dihadapi Indonesia. Melalui bukunya pula, terkuak pemikiran Stiglitz yang entah disadarinya atau tidak, memiliki sudut pandang yang sama dengan ekonomi syariah. Joseph E. Stiglitz adalah pemenang Nobel bidang ekonomi tahun 2001. Kemenangannya diraih atas penciptaan cabang teori baru yang disebut The Economics of Information yang banyak mengulas dampak asimetri informasi. Teori ini merupakan pionir dalam konsep adverse selection dan moral hazard yang saat ini menjadi pedoman bagi para teoritis dan analis kebijakan. Selain sebagai pemenang Nobel, Stiglitz dikenal juga sebagai ekonom ‘kontroversial’. Stiglitz kerap membela kepentingan negara-negara dunia ketiga. Ia terkenal dengan kritiknya terhadap globalisasi, fundamentalisme ekonomi pasar, dan seju

SUKUK, MENUJU INSTRUMEN SENTRAL FISKAL DAN MONETER (MAJALAH SHARING, EDISI APRIL NO. 28/TAHUN III/2009

Oleh: Rifki Ismal (Mahasiswa PhD Islamic Finance, Durham University, UK) Khairunnisa Musari (Mahasiswa S3 Ilmu Ekonomi Islam, Universitas Airlangga, Surabaya) Penjualan sukuk ritel laris manis. Respon investor luar biasa. Sebelum sampai akhir masa penawaran, penjualan sukuk ritel sudah menembus target indikatif. Ke depan, pemerintah patut mempertimbangkan sukuk tidak hanya sebagai sumber pembiayaan dalam kebijakan fiskal, tetapi dapat juga menjadi instrumen sentral bagi kebijakan moneter di Indonesia. Pada hari ke-12 penawaran, penjualan sukuk berseri SR-001 sudah terjual Rp 3,446 triliun. Nilai ini sudah melampaui target indikatif pemerintah yang sebesar Rp 3,4 triliun. Dari semula, pemerintah memang optimis penerbitan sukuk ritel pada akhir Februari ini akan mendulang sukses. Optimis pemerintah cukup beralasan mengingat, pertama, penerbitan sukuk sebelumnya, yaitu Ijarah Fixed Rate (IFR) 0001 dan 0002 pada Agustus 2008 lalu, mendulang penghargaan karena dinilai sukses dari sisi perm

AIR, PANGAN, ENERGI (EKONOMIA, REPUBLIKA, 28 MEI 2009)

Oleh: Khairunnisa Musari (Mahasiswa S3 Ilmu Ekonomi Islam Unair) “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api” (HR Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Majah) Dalam konteks kekinian, hadist yang menitikberatkan ‘air, padang rumput, dan api’ dapat kita terjemahkan dengan pemenuhan sektor air, pangan, dan energi. Jika disimak, tiga hal tersebut sangat relevan dengan berbagai persoalan yang terjadi di Indonesia belakangan ini. Sepanjang 2008 lalu, tiga persoalan tersebut menjadi masalah nyata di Indonesia. Di awal tahun, naiknya harga dan langkanya sejumlah kebutuhan bahan makanan pokok menjadi sorotan. Isu yang menguak, Indonesia mengalami krisis ketahanan pangan akibat ketergantungan impor, ketidakmampuan berswasembada pangan, dan makin sedikitnya penduduk yang berminat di sektor pertanian. Memasuki akhir semester I-2008, kenaikan harga minyak dunia akhirnya berimplikasi dengan naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sebesar 28,7 persen. Meski pada akhirnya

BUKU BARU!!!!

Dear All, Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga. Telah terbit buku baru Kumpulan Tulisan Perkembangan Ekonomi Syariah di Indonesia "Ekonomi, Keuangan, Manajemen dan Perbankan Syariah". Editornya Pak Sofyan S. Harahap (Guru Besar FE Univ Trisakti). Penerbitnya Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (PP-ISEI). Ada artikel saya di halaman 301-313 berjudul Mencari Paradigma TQM Syariah... Musari, Khairunnisa. Mencari Paradigma TQM Syariah. 2009. Artikel dalam buku Ekonomi, Keuangan, Manajemen dan Perbankan Syariah. Editor Sofyan S. Harahap. PP-ISEI. Jakarta. Maret. Hlm. 301-313. ( sekretariat@isei.or.id ) Mmmmm... Lihat juga: Musari, Khairunnisa. Telaah Kritis Epistemologi Tauhid AKuntansi. 2008. Artikel dalam jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam (EKBISI). Vol. 3, No. 1. Program Studi Keuangan Islam Fakultas Syariah UIN Kalijaga. Yogyakarta. Desember. Hlm 1-23. ( ekbisi_uinsuka@yahoo.co.id )

GLOBALISASI UNTUK NASIONALISME (Surabaya Post, 24 April 2009)

Oleh: Khairunnisa Musari (Mahasiswa S3 Ekonomi Islam Unair) “… the very nature of economics is rooted in nationalism... the aspirations of the developing countries are more for national independence and national self-respect than just for bread to eat...” . (Joan Robinson, 1964) Perekonomian dunia dan Indonesia saat ini tengah menghadapi badai krisis. Krisis keuangan di Amerika Serikat (AS) berimbas menjadi krisis keuangan global. Penghambaan para elit dan pengambil kebijakan terhadap paradigma ekonomi barat kini mulai tergoyahkan. Globalisasi yang dulu diagungkan kini disadari terlampau kebablasan . Sesungguhnya globalisasi merupakan sunnatullah. Globalisasi yang berwujud pasar-bebas dapat menjadi peluang, tetapi bisa juga menjadi ancaman. Itu semua tergantung pada bagaimana sebuah negara melaksanakan tata kelola perpolitikan dan perekonomiannya. Namun realitas menunjukkan berbagai ketimpangan dunia saat ini sebagian besar adalah buah dari globalisasi sebagaimana yang berlangsung saat

MENYOAL MINIMNYA KONTRIBUSI BANK SYARIAH TERHADAP SUKUK (Boks Pojok Ekonomia, Republika, 16 April 2009)

Oleh: Khairunnisa Musari (Mahasiwa S3 Ilmu Ekonomi Islam Universitas Airlangga) Kontribusi bank syariah dalam penyerapan sukuk sangat minim. Hal ini menjadi pertanyaan. Pasalnya, industri keuangan syariah sejak awal begitu mendesak agar emisi sukuk direalisasikan. Alasannya, kehadiran sukuk akan membantu ruang gerak pasar keuangan syariah. Lalu mengapa sedikit sekali bank syariah yang menyerap sukuk? Penerbitan sukuk sejak mula dimaksudkan untuk mendiversifikasi instrumen pembiayaan defisit anggaran dengan meningkatkan basis investor. Sukuk diposisikan memiliki peran yang kurang lebih sama dengan surat utang negara (SUN). Perbedaannya yang signifikan terletak pada sukuk yang berbasis sistem ekonomi Islam. Sistem ini mensyaratkan adanya jaminan aset (underlying asset) untuk tiap nilai penerbitannya, berkaitan dengan sektor riil, dan digunakan untuk hal-hal produktif. Pada pertengahan 2008 lalu, pemerintah telah menerbitkan sukuk negara dengan pasar korporasi. Pada akhir Februari 2009,

Menggagas Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Bisnis Indonesia, Opini, 1 April 2009)

oleh: Rifki Ismal (Mahasiswa S3 Islamic Banking and Finance, Durham University, Inggris) Khairunnisa Musari (Mahasiwa S3 Ilmu Ekonomi Islam, Universitas Airlangga, Surabaya) Banyak negara muslim maupun nonmuslim di dunia yang kini menjadikan sukuk sebagai instrumen pembiayaan pembangunan. Selain sebagai alat kebijakan fiskal, sukuk sesungguhnya dapat juga berfungsi sebagai alat operasional moneter. Ke depan, pemerintah bekerja sama dengan bank sentral dapat mempertimbangkan penerbitan sukuk bersama untuk menjadi alternatif investasi sekaligus mengurangi beban Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Kiprah dan penerimaan masyarakat internasional atas kelembagaan ekonomi Islam secara global semakin menguat. Ketahanan sistem ekonomi Islam terhadap badai krisis telah membuka mata dunia. Sejumlah negara dengan penduduk muslim minoritas seperti China, Singapura, Jepang, Korea, dan Inggris telah dengan cepat mengadopsi dan membangun sistem perbankan dan keuangan Islam. Pemerintah Amerika Serikat (AS

SUKUK MENJAWAB RESESI (Ekonomia, Republika, 19 Maret 2009)

Oleh: Rifki Ismal (Mahasiswa PhD Islamic Finance, Durham University, UK) Khairunnisa Musari (Mahasiswa S3 Ilmu Ekonomi Islam, Universitas Airlangga, Surabaya) Kondisi perekonomian dunia dan Indonesia pada 2009 diancam resesi. Melalui kebijakan fiskalnya, pemerintah menjadi harapan terbesar untuk menye-lamatkan ekonomi nasional. Sukuk adalah salah satu instrumen dari kebijakan fiskal yang dapat digunakan untuk menangkal resesi. Bagaimana sukuk menjawab ancaman resesi? Pada Februari lalu, Indonesia telah menerbitkan sukuk negara untuk pasar ritel. Penjualan tersebut menuai sukses. Pemerintah menyerap semua permintaan pembelian sebesar Rp.5.556 triliun. Hampir semua agen mampu menjual melebihi target kepada total 14.295 investor. Ini adalah sukuk negara kedua setelah pada Agustus 2008 diterbitkan pula untuk pasar korporat. Penerbitan sukuk pada dasarnya dimaksudkan untuk membiayai pembangunan. Keberadaan sukuk tidak lepas dari konsep fiskal dalam Islam yang memperkenankan sukuk digun

TANTANGAN DAN PELUANG PERBANKAN DI TAPAL KUDA (Surabaya Post, 16 Maret 2009)

Oleh: Khairunnisa Musari (Mahasiswa S3 Ilmu Ekonomi Islam, Unair, Surabaya, dan Peneliti INSEF) Pertumbuhan kredit di Jawa Timur pada 2008 lalu mencapai 25,47 persen dan loan to deposit ratio (LDR) sebesar 68,25 persen. Untuk wilayah kerja Kantor Bank Indonesia (KBI) Surabaya, pertumbuhan kredit mencapai 29,34 persen, LDR 69,67 persen, dan non performing loan (NPL) sebesar 1,24 persen. Untuk KBI Malang, pertumbuhan kredit mencapai 24 persen, LDR 70,84 persen, dan NPL 1,26 persen. Untuk KBI Kediri, pertumbuhan kredit mencapai 23,93 persen, LDR 66,66 persen, dan NPL 0,31 persen. Sementara, untuk KBI Jember yang membawahi wilayah tapal kuda yang meliputi Jember, Bondowoso, Situbondo, dan Banyuwangi, pertumbuhan kreditnya 20,57 persen, LDR 96,19 persen, dan NPL 0,57 persen. Lebih jauh, kinerja intermediasi perbankan Jawa timur di wilayah kerja KBI Jember ini cukup menarik untuk disimak. Komposisi LDR-nya nyaris mengikuti komposisi financing to deposit ratio (FDR) perbankan syariah nasional

MENUJU REVITALISASI PERTANIAN ORGANIK (RADAR JEMBER, 28 FEBRUARI 2009)

Oleh: Naurah Najwa Hairrudin* Dalam sebuah kuliah umum di Universitas Jember beberapa waktu lalu, Sri Sultan Hamengku Buwono X memberi paparan berjudul “Pembangunan Pertanian Berbasis Kearifan Lokal Untuk Menghadapi Pasar Global Demi Kemakmuran Rakyat”. Dikatakannya, salah satu cara untuk mengatasi kondisi pertanian Indonesia yang kini terpuruk adalah dengan kembali kepada Sistem Pertanian Organik (SPO) yang ditunjang dengan kearifan lokal. Sri Sultan mengungkap, masyarakat Indonesia sejak dahulu telah mempraktekkan SPO yang didukung dengan kearifan lokal. Namun, dalam perjalanannya, kearifan lokal tadi diabaikan. Bahkan dianggap tidak sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Padahal, SPO sesungguhnya tidaklah demikian. SPO sejatinya adalah pertanian yang berangkat dari paradigma holistik dalam memandang alam semesta. Dengan cara pandang ini, manusia sebagai bagian dari alam semesta dituntut untuk mewujudkan tujuan terbesar dari kegiatan pertanian, yaitu untuk keb

EDUCATION FOR ALL, KEKUATAN PERUBAHAN EKONOMI (Radar Jember, .......... 2009)

Oleh: Khairunnisa Musari (Mahasiswa S3 Ilmu Ekonomi Islam, Unair, Surabaya) Pendidikan adalah investasi. Pendidikan adalah kekuatan perubahan ekonomi. Kuantitas dan kualitas pendidikan yang baik akan meningkatkan produktivitas yang pada gilirannya akan memacu pertumbuhan ekonomi suatu negara. Oleh karena itu, upaya perbaikan pendidikan yang konsisten serta berkesinambungan merupakan keniscayaan untuk membangun ekonomi bangsa ini. Sepekan terakhir, topik education for all menjadi berita di sejumlah media lokal maupun nasional. Radar Jember, 18 Januari 2009, juga memberitakan betapa topik ini menjadi perhatian serius Dinas Pendidikan (Dispendik) Kabupaten Jember. Keinginan untuk memberikan pendidikan yang merata kepada semua warga wajib belajar dimanifestasikan dengan penyediaan sarana dan prasarana yang memadai bagi siswa sekolah umum, termasuk pula penyediaan keperluan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Secara nasional, dunia pendidikan Indonesia memang menghadapi tantangan