"NEOLIBERALISME VS EKONOMI KERAKYATAN" ALA SRI-EDI SWASONO (Surabaya Post, Oeuvre, 14 Juni 2009)



Oleh:

Naurah Najwa Hairrudin ( Mantan Jurnalis, sedang menempuh program Doktoral di Unair, mahasiswa Prof Sri-Edi Swasono)


Jauh sebelum isu neoliberalisme diperbincangkan, Sri-Edi Swasono sudah lebih dahulu menyorotinya. Kebanyakan buku-buku Sri-Edi bicara tentang mewa
spadai neoliberalisme. Hal ini mungkin tidak lepas dari peran mertuanya, Bung Hatta, yang telah menanamkan padanya bahwa ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang paling tepat untuk bangsa ini.

Isu yang santer berkembang menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 adalah paham neoliberalisme vs ekonomi kerakyatan. Jauh sebelum isu ini diperbincangkan, Sri-Edi Swasono adalah salah satu dari sedikit orang yang sudah sejak dahulu menjadikannya sebagai isu krusial. Tidak pelak lagi, lantaran hal ini pula, Sri-Edi kerap dianggap sebagai ‘orang aneh’ karena kekeuh menolak neoliberalisme dan mempertahankan ekonomi kerakyatan.
Dalam Kompetensi dan Integritas Sarjana Ekonomi (2002), Sri-Edi mengungkap bahwa pengajaran ilmu ekonomi di kampus-kampus telah “keliru”. Banyak dosen dan mahasiwa yang terperosok ke dalam perangkap teoretikal-parsial dan menerima begitu saja asumsi dasar neoklasikal yang mengacu pada pola pemikiran ekonomi Barat yang sempit dan ortodoksi.
Dikatakan Sri-Edi dalam Neoklasikal dan Neoliberalisme di Kampus-Kampus Kita: Keterpurukan Ekonomi Rakyat (2008), banyak ekonom yang menolak jika dikatakan bahwa mereka pengusung neoliberalisme. Ekonom-ekonom tersebut tidak pernah merasa bahwa apa yang selama ini mereka ajarkan adalah ekonomi neoliberal. Sesungguhnya, para ekonom ini terkurung oleh kurikulum dan silabus ilmu ekonomi neoklasikal. Mereka kebanyakan taken it for granted dan tidak mampu melihat luas aksioma, paradigma atau grand assumptions yang melatarbelakangi berbagai paham dan teori ekonomi yang ada.

Neoliberalisme
Penolakan masyarakat atas paham neoliberalisme saat ini, menurut Sri-Edi, masih kurang disertai fundamental filsafati. Dalam Mewaspadai Neoliberalisme: Tentang Kerakyatan dan Demokrasi Ekonomi (2008), Sri-Edi mengungkap bahwa penolak paham neoliberalisme harus memahami terlebih dahulu paham individualisme vs paham kolektivisme. Hal ini menjadi penting agar masyarakat tidak sekedar mengekor, tetapi memang memahami mengapa kita harus menolak paham tersebut.
Dalam sebuah perkuliahan, Sri-Edi mengatakan, akibat nyata dari paham neoliberalisme yang merajalela tercermin dari mentalitas dan moralitas birokrasi yang makin terjebak dalam komersialisasi jabatan sebagai abdi negara. Masyarakat makin terdikte untuk mengkonsumsi barang dan jasa yang padat import-contents. Bahkan, ketergantungan sektor manufaktur yang besar terhadap import-contents menjadi salah satu penyebab utama mengapa krisis moneter dengan hebatnya memperpuruk perekonomian nasional. Pedihnya, pihak asing dan kompradornya kian menguasai surplus ekonomi Indonesia terhadap strata bawah dari struktur sosial dan konstelasi ekonomi. Pinjaman luar negeri yang menumpuk kian meningkatkan intervensi negara-negara donor yang merusak prinsip-prinsip ekonomi. Ini semua tidak lepas dari hegemonisme dan berkembangnya imperialisme baru yang menyebabkan disempowerment terhadap bangsa ini.
Kegigihan pengusung neoliberalisme untuk masuk ke Indonesia semakin jelas terlihat dari upaya mereka untuk memasukkan paham tersebut dalam konstitusi melalui “efisiensi”. Dalam Mewaspadai Neoliberalisme: Tentang Demokrasi Ekonomi dan Pasal 33 UUD 1945 (2008), Sri-Edi mengungkap bahwa perkataan “efisiensi” dalam perekonomian berorientasi pada maximum gain dan maximum satisfaction. Inilah paham liberalisme yang beroperasi melalui laissez-faire. Laissez-faire membuka jalan daulat pasar menggusur daulat rakyat. Laissez-faire akan menggusur orang miskin dan bukan menggusur kemiskinan. Syukurlah, niat terselubung tersebut dapat dipatahkan sehingga berganti menjadi “efisiensi berkeadilan” yang akhirnya mengubah keseluruhan niat terselubung tersebut untuk memasukkan pandangan neoliberalisme ke dalam amandemen Pasal 33 UUD 1945.

Ekonomi Kerakyatan
Banyak orang mengatasnamakan rakyat. Ada yang melakukannya secara benar demi kepentingan rakyat semata, tetapi ada pula yang melakukannya demi kepentingan pribadi atau kelompok. Sebelum bicara tentang ekonomi kerakyatan, maka perlu dipahami terlebih dahulu siapa yang disebut “rakyat”.
Dalam Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan: Mutualism & Brotherhood (2005), Sri-Edi menegaskan bahwa rakyat adalah konsepsi politik, bukan konsepsi aritmatik atau statistik. Rakyat tidak harus berarti seluruh penduduk. Rakyat adalah the common people. Pengertian rakyat berkaitan dengan kepentingan publik, yang berbeda dengan kepentingan orang-seorang. Rakyat berkaitan dengan kepentingan bersama. Mereka yang tidak mampu mengerti paham kebersamaan (mutuality) dan asas kekeluargaan (brotherhood, bukan kinship) pada dasarnya karena mereka tidak mampu memahami arti dan makna luhur dari istilah “rakyat” itu.
Untuk menjamin posisi rakyat yang substansial dan kemakmuran rakyat yang diutamakan, maka Pasal 33 UUD 1945 hendaknya menjadi dasar ekonomi kerakyatan dengan membangun “usaha bersama” dan “asas kekeluargaan”. Dalam Keparipurnaan Ekonomi Pancasila (2006), Sri-Edi menegaskan bahwa demokrasi ekonomi yang merupakan sukma Pasal 33 UUD 1945 memberi penolakan terhadap asas individualisme yang mengutamakan self-interest. Self-interest inilah yang menjadi dasar bagi sistem ekonomi yang liberalistik. Sementara itu, kerakyatan yang diusung dalam demokrasi ekonomi kita adalah sistem ekonomi yang mengetengahkan pentingnya pengutamaan kepentingan rakyat dan hajat hidup orang banyak.

Kembali pada Ekonomi Pancasila
Tidak bisa dipungkiri, perhatian masyarakat yang semakin besar terhadap isu ekonomi kerakyatan menjelang Pilpres 2009 merupakan momentum yang harus dipertahankan keberlanjutannya. Kesadaran banyak pihak untuk mewaspadai paham neoliberalisme, merupakan sinyal positif bagi negeri ini untuk kembali pada cita-cita proklamasi. Sri-Edi dalam Kemandirian Ekonomi: Menghapus Sistem Ekonomi Subordinasi Membangun Ekonomi Rakyat (2003) mengatakan, sejak awal kemerdekaan, kemandirian sejati telah tegas digariskan sebagai cita-cita nasional. Kemandirian ekonomi nasional telah menjadi tuntutan riil. Ketergantungan pada keterdiktean pihak luar-negeri adalah penyelewengan mendasar dari cita-cita kemerdekaan nasional.
Untuk mewujudkan cita-cita nasional, Sri-Edi menegaskan bahwa sistem ekonomi yang hendaknya dibangun di negeri ini adalah Ekonomi Pancasila. Dalam Orientasi Ekonomi Pancasila (1981), Sri-Edi menjelaskan bahwa Ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi yang berorientasi atau berwawasan pada sila-sila Pancasila. Ditambahkannya dalam Indonesia is Not for Sale: Sistem Ekonomi Nasional untuk Sebesar-Besar Kemakmuran Rakyat (2007), Ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi yang berlandaskan Pasal 33 UUD 1945 yang dilatarbelakangi oleh jiwa pembukaan UUD 1945.
Untuk melaksanakan Ekonomi Pancasila, Sri-Edi mengatakan bahwa pemihakan kepada ekonomi rakyat tidaklah cukup. Dalam Ekspose Ekonomika: Mewaspadai Globalisme dan Pasar Bebas (2005), Sri-Edi menegaskan bahwa kita harus meyakini pula bahwa ekonomi rakyat memiliki kekuatan sebagai strategi pembangunan. Ditambahkannya dalam Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial (2005), pembangunan ekonomi rakyat merupakan strategi yang tepat untuk mengembangkan perekonomian nasional. Strategi ini berorientasi pada peningkatan produktivitas rakyat melalui grassroots-based dan resources-based dengan pendekatan partisipatori dan emansipatori. Rakyat harus menjadi subject-matter. Rakyatlah yang harus dibangun, bukan ekonomi dan pertumbuhannya an sich.
Kini, pasca kejatuhan ekonomi kapitalis, paham neoliberalisme telah mendapat tentangan, baik secara moral maupun teoretikal, di dalam perkembangan ilmu ekonomi baru. Sri-Edi dalam setiap kesempatan kerap mengingatkan, kejatuhan ini terjadi pula pada paham fundamentalisme pasar yang merupakan pengusung neoliberalisme. Seiring waktu, mulai terlihat bahwa pasar sarat dengan berbagai ketidakmampuan untuk mendukung kepentingan ekonomi masyarakat, cita-cita pemerataan, dan keadilan. Mekanisme pasar banyak membuktikan kegagalannya, terutama dalam menjaga kepentingan mereka yang lemah daya belinya. Ini semua terjadi karena paham tersebut mengabaikan ilmu ekonomi sebagai ilmu moral. Wallahu’alam bishowab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

Belajar dari Wu Da Ying (1) (Jawa Pos Radar Jember, Perspektif, 7 Juli 2017, Hlm. 21 & 31)