Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2010

Opportunity Cost Utang Indonesia (Harian Kontan, Opini, 31 Agustus 2010, Hlm. 22, Full Version)

Gambar
Oleh: Khairunnisa Musari Pembayaran utang Indonesia memakan porsi besar dari APBN. Jika pembayaran pokok dan bunga utang melampaui anggaran pembangunan dan terus menggerus penerimaan negara, maka negeri ini menanggung opportunity cost yang besar yang sesungguhnya dapat digunakan untuk pembangunan. Dalam Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia (RI) 16 Agustus lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan capaian perekonomian Indonesia dalam setahun terakhir. Salah satu yang dinyatakan adalah rasio utang atas Produk Domestik Bruto (PDB) yang turun signifikan, yakni 27,8 persen. Angka rasio ini dinyatakan sabagai salah satu yang terendah dalam sejarah Indonesia. Berdasarkan rilis data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI, rasio utang Indonesia terhadap PDB sesungguhnya jauh lebih rendah dari apa yang disampaikan Presiden SBY. Per-31 Juli 2010, rasio utang Indonesia sebesar 26 persen dengan posisi utang mencapai Rp 1,625.63 triliun dan

TKI dan Masa Depan MEreka (Radar Jember, Perspektif, 28 Agustus 2010)

Gambar
Oleh: Khairunnisa Musari Saya: Mau mengurus paspor, Mbak? TKI: Iya, saya mau perpanjangan. Saya: Kerja di Malaysia ya, Mbak? TKI: Iya, saya pernah kerja lama di sana. Ini mau ke sana lagi. Kalau Mbaknya? Saya: Saya mau ngurus untuk keperluan sekolah. TKI: Mbaknya ini perpanjangan atau baru pertama kali buat paspor? Saya: Baru pertama kali. TKI : Haaaaa... Berarti Mbaknya belum pernah ke luar negeri dong?!! Ya, saya masih ingat betul percakapan yang pernah terjadi sekitar 3 tahun lalu di ruang tunggu Kantor Imigrasi Kabupaten Jember. Saya bermaksud mengajak ngobrol perempuan yang duduk di sebelah saya. Niat baik untuk menyapa ramah, ternyata berbuntut kedongkolan. Hehehe, betapa tidak. Ekspresi perempuan itu membelalakkan mata ketika mendengar saya belum pernah ke luar negeri. Entahlah, respon demikian karena memang tak percaya atau menertawakan. Yang jelas, perempuan itu kemudian fasih bercerita tentang bagaimana negeri jiran yang selalu disebutnya “luar negeri” itu. Bisa jadi

DULU AKU SUKA PADAMU... (YA YA YA) - (Radar Jember, Perspektif, 21 Agustus 2010)

Gambar
Oleh: Khairunnisa Musari Dulu aku suka padamu dulu aku memang suka (ya-ya-ya) Dulu aku gila padamu dulu aku memang gila (ya-ya-ya) Sebelum aku tahu kau dapat merusakkan jiwaku (o-o, o-o) Sebelum aku tahu kau dapat menghancurkan hidupku (o-o, o-o) Ada yang bisa menebak judul tembang di atas? Ya, betul sekali. Itu lagu Miransatika-nya Raja Dangdut Indonesia Rhoma Irama. Bagi bapak-bapak dan ibu-ibu yang menggemari Bang Rhoma, pastilah bisa melanjutkan dendang tersebut. Pesan penting yang ingin disampaikan Bang Haji tercermin pada larik akhirnya. Gara-gara kamu orang bisa menjadi gila... Gara-gara kamu orang bisa putus sekolah... Gara-gara kamu orang bisa menjadi edan.. Gara-gara kamu orang kehilangan masa depan... Bukan tanpa sebab saya mengawali tulisan ini dengan berdangdut ria ala Pak Haji Rhoma. Pesan moral yang disampaikan Pak Haji tentang dampak minuman keras (miras) rasanya patut mendapat tempat dalam Perspektif di bulan Ramadan kali ini. Terlebih mengingat kian santernya peredara

MARHABAN YA KONSUMTIVISME (Radar Jember, Perspektif, 14 Agustus 2010)

Gambar
Oleh: Khairunnisa Musari* Bulan puasa telah tiba. Puasa yang sejatinya adalah pengendalian diri, ternyata tak berkorelasi dengan menurunnya permintaan berbagai kebutuhan. Marhaban ya Ramadhan justru berkorelasi dengan Marhaban ya Konsumtivisme. Bapak-bapak, ibu-ibu, mas-mas, mbak-mbak, tiga hari kemarin, menu buka puasanya apa saja? Saya yakin, pasti menunya berbeda daripada hari-hari biasa. Yang hari biasa minum air putih atau segelas teh, pasti sedikit banyak berubah menjadi es buah, es kolang kaling, es cao, soda gembira, setup, kolak, sirup, jus atau yang lainnya. Begitu juga yang hari biasa makan dengan tahu tempe atau sayur secukupnya, pasti sedikit banyak kini berubah menjadi hidangan lauk pauk dan masakan sayur beraneka ragam. Ya, sajian kala berbuka puasa memang lazim beraneka warna. Perubahan yang terjadi tidak hanya dari sisi kualitas, tetapi juga kuantitas. Pada tataran inilah yang secara agregat mempengaruhi keseimbangan penawaran dan permintaan di pasar. Pola yang terbent

RUMAH TANI, RUMAH KITA, ADA DI SINI (Radar Jember, Perspektif, 7 Agustus 2010)

Gambar
Oleh: Khairunnisa Musari Haruskah kita beranjak ke kota Yang penuh dengan tanya Lebih baik disini, rumah kita sendiri Segala nikmat dan anugerah yang kuasa Semuanya ada disini Rumah kita Ada di sini Itulah sepenggal lagu Rumah Kita yang pernah dinyanyikan God Bless. Lagu ini tiba-tiba saja terngiang di kepala saya ketika mengikuti Forum Diskusi dengan stakeholder pertanian Kabupaten Jember pada hari Rabu lalu. Seperti yang diulas RJ kemarin selama 2 hari berturut-turut, wacana pembentukan Sub Terminal Agribisnis (STA) disambut hangat oleh para stakeholder pertanian. Hadirnya Pasar Induk Agrisbisnis Puspa Agro di Sidoarjo, ditambah lagi testimoni sejumlah petani yang telah merasakan manfaat di dalamnya, semakin menguatkan keinginan para peserta forum untuk mewujudkan gagasan Komisi B DRPD untuk mendirikan STA di Kabupaten Jember. Secara pribadi, saya mengapresiasi gagasan ini. Setidaknya ada 5 alasan utama. Pertama, potensi alamiah Kabupaten Jember memang didominasi oleh sektor perta