TKI dan Masa Depan MEreka (Radar Jember, Perspektif, 28 Agustus 2010)


Oleh: Khairunnisa Musari

Saya: Mau mengurus paspor, Mbak?
TKI: Iya, saya mau perpanjangan.
Saya: Kerja di Malaysia ya, Mbak?
TKI: Iya, saya pernah kerja lama di sana. Ini mau ke sana lagi. Kalau Mbaknya?
Saya: Saya mau ngurus untuk keperluan sekolah.
TKI: Mbaknya ini perpanjangan atau baru pertama kali buat paspor?
Saya: Baru pertama kali.
TKI : Haaaaa... Berarti Mbaknya belum pernah ke luar negeri dong?!!


Ya, saya masih ingat betul percakapan yang pernah terjadi sekitar 3 tahun lalu di ruang tunggu Kantor Imigrasi Kabupaten Jember. Saya bermaksud mengajak ngobrol perempuan yang duduk di sebelah saya. Niat baik untuk menyapa ramah, ternyata berbuntut kedongkolan. Hehehe, betapa tidak. Ekspresi perempuan itu membelalakkan mata ketika mendengar saya belum pernah ke luar negeri. Entahlah, respon demikian karena memang tak percaya atau menertawakan. Yang jelas, perempuan itu kemudian fasih bercerita tentang bagaimana negeri jiran yang selalu disebutnya “luar negeri” itu.

Bisa jadi, perempuan yang pernah saya temui dulu itu memang benar adanya meraih “sukses” di Malaysia. Meski gaji Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia adalah yang paling rendah dibandingkan negara lain, namun hal tersebut tidak menyurutkan kebahagiaannya yang akhirnya dapat memiliki rumah, sepeda motor, dan sapi. Karena “kesuksesan” itu pulalah, dia bermaksud kembali ke sana. Bahkan berencana mengajak sanak saudara untuk ikut serta.

Ya, jika kita simak, gaji TKI di Malaysia termasuk yang paling rendah. Sebuah media pernah merilis, gaji TKI di negeri jiran berkisar antara 400-500 ringgit. Sedang di Hongkong berkisar 1.631 ringgit (3.600 dolar Hongkong), Singapura 737-858 ringgit (300-350 dolar Singapura), Taiwan 1.649 ringgit (15.400 dolar Taiwan), Arab Saudi 564-749 ringgit (600-800 real), dan Kuwait 1.223 ringgit (100 dinar) per bulan.

Tidak bisa dipungkiri, kisah TKI penuh warna dan problema. Tak selalu berbuah manis seperti yang diceritakan perempuan yang saya temui itu. Sering pula kita dapati, cerita pilu nan tragis dari mereka. Dari Kabupaten Jember saja, termasuk cukup sering kita dengar kisah TKI yang bermasalah. Mulai dari hidup mereka yang terlantar, gaji tidak dibayar, hingga yang tewas akibat kekerasan fisik dari majikan.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, di bulan puasa, dana remitansi atau pengiriman uang lewat bank oleh TKI cenderung meningkat hingga menjelang Lebaran. Di Jawa Timur, nilai remitansi ini cukup tinggi. Hal ini mengingat jumlah TKI yang berasal dari Jawa Timur cukup dominan.

Sepanjang tahun 2007, jumlah penempatan TKI di luar negeri tercatat sebesar 684 ribu orang atau naik 5 persen dari periode sebelumnya. Dari data tersebut, sekitar 58 ribu atau hampir 10 persen berasal dari Jawa Timur. Dengan stok TKI yang mencapai 4,3 juta orang pada 2007, maka penerimaan devisa dari remitansi TKI diperkirakan sebesar USD 5,9 miliar. Jumlah tersebut mencapai sepertiga aliran masuk penanaman modal asing (inflow-foreign direct investment) dan melampaui utang luar negeri pemerintah.

Sementara itu, rilis data Bank Indonesia (BI) Jember yang pernah sampai di media mengungkap pengiriman uang oleh TKI melalui perbankan di wilayah kerjanya pada 2009 sebanyak Rp 193,113 miliar. Angka ini tentu seharusnya jauh lebih besar lagi karena belum memperhitungkan transaksi di luar bank, seperti dibawa sendiri atau dititipkan ke saudara, kerabat, dan teman.

Secara nasional, dengan terus meningkatnya jumlah TKI di luar negeri menyebabkan studi mengenai pekerja migran dan remitansi semakin intens. Hal ini mengingat masih sulitnya memprediksi nilai remitasi secara akurat serta menghitung dampak positifnya terhadap pembangunan ekonomi dan sosial di daerah asal pekerja.

Meningkatnya pengiriman dana oleh TKI memang bersifat musiman (seasonal). Berbeda dengan tenaga kerja di Ibu Kota yang mengumpulkan dana dari gajinya, lalu dibawa pulang saat mudik Lebaran, maka TKI pada hari lebaran biasanya tidak bisa pulang karena belum dapat izin atau karena adanya kontrak kerja. Mereka baru bisa kembali dalam jangka waktu tertentu.

Ya, bagi sebagian orang, terutama di desa, menjadi TKI bisa menjadi impian. Meski mereka tidak ingin menjadi TKI selamanya, tapi menjadi TKI adalah pilihan yang harus diambil untuk mencari penghidupan. Namun demikian, bagi mereka yang telah mewujudkannya dan berhasil melakoninya dengan baik, tak jarang harus menghadapi kenyataan pahit. Pasalnya, ketika uang yang mereka kumpulkan sudah berwujud aset dan digunakan untuk kepentingan rumah tangga, mereka terpaksa harus kembali menjadi TKI karena tidak tahu harus mengerjakan apa di daerah asalnya. Padahal, disaat yang sama uang mereka telah habis.

Ya, menjadi wirausaha adalah pilihan paling logis bagi para mantan TKI. Dengan jalan ini, diharapkan dana yang mereka kumpulkan tidak habis dikonsumsi, tetapi dapat diinvestasikan atau diputar untuk menghasilkan keuntungan ekonomi berkelanjutan. Kabarnya, beberapa perbankan sudah melirik potensi TKI dengan memberi kesempatan bagi mereka untuk memperoleh bantuan Kredit Usaha Mikro (KUM) guna membuka usaha sendiri setelah menjadi TKI purna.

Dalam hal ini, Dinas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) memegang peran strategis untuk mendorong, membina, dan mengembangkan potensi TKI purna. Kebanyakan TKI purna umumnya sudah memiliki keterampilan dan keahlian yang cukup memadai sebagai modal untuk membuka usaha mandiri. Namun, semangat dan motivasi yang kerap kali menghalangi mereka untuk percaya diri memulai usaha.

Ke depan, salah satu hal mendesak yang perlu segera dilakukan adalah membangun bank data TKI dan jaringannya. Hal ini penting dilakukan untuk mendeteksi secara akurat keberadaan TKI sejak penempatan, masa penempatan, dan setelah penempatan. Tujuannya tak lain agar dapat mengoptimalkan upaya untuk memberi perhatian dan perlindungan hukum terhadap TKI dan masa depannya. Wallahu a’lam bish showab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)