Nanofinance (Jawa Pos Radar Jember, Perspektif, 4 November 2017. Hlm. 25 & 35)

Oleh: Khairunnisa Musari

Dear Sister

Assalam-o-Elaikum

Would you please note that the last date of submission for book on women empowerment is 31st October. Waiting for your response anxiously.

Wa assalam

Toseef

Sebuah pesan masuk via email dari Dr. Toseef Azid, Professor of Economics dari  College of Business and Economics, Qassim University, Kingdom of Saudi Arabia. Beliau bersama Dr. Jennifer L. Ward-Batts akan menjadi editor sebuah buku berjudul “Economic Empowerment of Women in The Islamic World: Theory and Practice” yang akan diterbitkan oleh World Scientific Publishing Company Pte Ltd. di Singapura. Biidznillah, saya berkesempatan menyumbang satu tulisan mengenai nanofinance untuk buku tersebut.

Selain sukuk dan wakaf, salah satu konsen saya dalam 3 tahun terakhir memang adalah menulis tentang nanofinance. Tidak banyak literatur yang membahasnya. Nanofinance belum sepopuler microfinance yang sampai hari ini masih dipandang sebagai alat paling efektif untuk pengentasan kemiskinan. Namun demikian, sudah banyak microfinance institutions (MFIs) di sejumlah negara yang dalam prakteknya telah melakukan nanofinance, termasuk di Indonesia.

Bank Gakin, Kredit Melati, hingga Kredit Mesra

Tahun 2015, kiprah lembaga keuangan mikro (LKM) yang dibentuk oleh Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Dinkop & UKM) Kabupaten Jember yang kerap disebut dengan Bank Keluarga Miskin atau Bank Gakin pernah saya presentasikan di konferensi Islamic Development Bank (IDB) di Islamabad. Saat itu, saya menyampaikan bahwa praktek Bank Gakin dengan pinjaman Rp 50 ribu hingga Rp 1 juta dapat dikategorikan sebagai nanofinance (atau bahkan picofinance) yang perlu diadopsi oleh keuangan syariah.

Kehadiran Bank Gakin sejatinya adalah salah satu jawaban pemerintah daerah dalam mengatasi masalah sosial kemasyarakatan, dalam hal ini memerangi praktek rente yang bunganya mencapai 30 persen per minggu. Dengan Bank Gakin, masyarakat bawah dapat mengakses pinjaman tanpa agunan dengan prosedur yang mudah dan cepat untuk memenuhi kebutuhan mendesaknya, terutama dalam memenuhi modal usaha.

Tahun 2016, pada konferensi IDB di Kuala Lumpur, saya mencoba membangun definisi tentang nanofinance. Kali ini, kiprah Kredit Melawan Rentenir (Melati) yang digagas Ridwan Kamil bersama Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung melalui Perusahaan Daerah (PD) Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Kota Bandung yang saya kisahkan. Juga kiprah bank sentral di Thailand bersama pemerintahnya yang memiliki Nanofinance Project untuk melawan rentenir.

Ya, saya tidak bisa tidak mengapresiasi Ridwan Kamil yang meminta PD BPR untuk fokus pada pemberian kredit menengah ke bawah. Bahkan Sang Walikota meminta dilakukan pendampingan terhadap bisnis para nasabah. Ia bahkan mendorong PD BPR untuk menjalankan mobile marketing sebagaimana pola yang dilakukan rentenir dengan mendatangi warga untuk menawarkan Kredit Melati.

Tahun 2017, Agustus lalu, lagi-lagi Ridwan Kamil meluncurkan program yang patut diapresiasi karena mencoba memberdayakan 4.000 mesjid di Kota Bandung untuk membantu usaha masyarakat kecil. Kredit Mesjid Sejahtera (Mesra) dihadirkan Pemkot Bandung bersama PD BPR bekerja sama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) kepada jamaah mesjid tanpa bunga dan denda. Setiap jamaah dapat mengajukan secara berkelompok, 5-25 orang, dengan pinjaman mulai Rp 500 ribu hingga Rp 2,5 juta per orang. Kredit akan diberikan kepada jamaah melalui koperasi mesjid dengan persetujuan Dewan Kemakmuran Mesjid (DKM).

Ya, Kredit Mesra ini sangat menginspirasi. Dalam rangka mengentaskan kemiskinan, program ini juga akan mendekatkan masyarakat dengan mesjid. Mesjid menjadi modal sosial dan ekonomi umat sebagaimana di masa lalu ketika mesjid tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga pusat pertumbuhan ekonomi masyarakat. Program ini sepatutnya dapat diadopsi pula di wilayah Tapal Kuda dalam rangka inklusi keuangan syariah.

Melawan Rentenir

Apa yang dilakukan PD BPR sejalan dengan misi nanofinance yang ingin meningkatkan kapasitas ekonomi dan modal sosial masyarakat bawah, utamanya dengan melindungi mereka dari jeratan rentenir. Tentu saja, praktek ini harus diperangi oleh ekonomi syariah. PD BPR mencoba mengambil peran rentenir dalam hal memberi kemudahan pinjaman. Namun, jika rentenir mencekik rakyat kecil dengan bunga yang berlipat-lipat, maka BPR tidak memberikan bunga karena Kredit Melati dan Kredit Mesra adalah pinjaman kebajikan.

Dalam bahasa keuangan syariah, pinjaman kebajikan inilah yang disebut dengan qardh atau qardhul hassan. Sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Majah, sedekah memperoleh balasan 10 kali lipat, maka qardh memperoleh balasan 18 kali lipat. Pada Kredit Melati, BPR masih memberikan denda, namun pada Kredit Mesra tidak ada pemberlakuan denda. Keduanya tidak meminta agunan dan masa pinjaman berjangka waktu 12 bulan.

Ya, masyarakat bawah tidak membutuhkan pinjaman hingga puluhan juta. Mereka bahkan terkadang hanya membutuhkan pinjaman Rp 100.000 untuk modal jualan atau kebutuhan mendesak lainnya. Jika masyarakat ini mencari pinjaman dalam bentuk microfinance kepada lembaga keuangan formal, kerap disyaratkan jaminan dengan nilai pembiayaan yang masih terlampau tinggi untuk ukuran kebutuhan dan kemampuan mereka.  Pada tataran inilah nanofinance dapat hadir melengkapi microfinance dengan memberi pinjaman bernominal lebih kecil.

Akhirul kalam, nanofinance seyogyanya berbasis qardh atau qardhul hassan. Pembiayaan jenis ini tidak boleh ada bunga dan tidak menuntut bagi hasil. Bahkan, perlu diupayakan untuk ditiadakannya administration fee ataupun denda. Hal ini mengingat penerima manfaat nanofinance adalah masyarakat miskin Pada tataran inilah nanofinance dapat menjadi meeting point antara ekonomi syariah dengan ekonomi konvensional dengan menjauhkan bunga dari masyarakat bawah. Sebab, atas nama kemanusiaan, tidak selayaknya mereka menjadi obyek untuk mengais profit. Wallahua’lam bish showab.