Opportunity Cost Utang Indonesia (Harian Kontan, Opini, 31 Agustus 2010, Hlm. 22, Full Version)


Oleh: Khairunnisa Musari

Pembayaran utang Indonesia memakan porsi besar dari APBN. Jika pembayaran pokok dan bunga utang melampaui anggaran pembangunan dan terus menggerus penerimaan negara, maka negeri ini menanggung opportunity cost yang besar yang sesungguhnya dapat digunakan untuk pembangunan.

Dalam Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia (RI) 16 Agustus lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan capaian perekonomian Indonesia dalam setahun terakhir. Salah satu yang dinyatakan adalah rasio utang atas Produk Domestik Bruto (PDB) yang turun signifikan, yakni 27,8 persen. Angka rasio ini dinyatakan sabagai salah satu yang terendah dalam sejarah Indonesia.

Berdasarkan rilis data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI, rasio utang Indonesia terhadap PDB sesungguhnya jauh lebih rendah dari apa yang disampaikan Presiden SBY. Per-31 Juli 2010, rasio utang Indonesia sebesar 26 persen dengan posisi utang mencapai Rp 1,625.63 triliun dan asumsi PDB sebesar Rp 6,253.79 triliun. Secara keseluruhan, rasio utang ini menurun dibandingkan akhir tahun 2009 yang sebesar 28 persen. Pada periode itu, posisi utang Indonesia sebesar Rp 1,590.66 triliun dengan PDB sebesar Rp 5,613.44 triliun.

Jika disimak, menurunnya rasio utang Indonesia tampak lebih disebabkan oleh nilai PDB yang terus membesar. Hal inilah yang mengakibatkan rasio utang Indonesia terus mengalami penurunan. Dengan kata lain, menurunnya rasio utang Indonesia bukanlah disebabkan oleh menurunnya nilai utang, melainkan lebih karena meningkatnya PDB.

Utang Indonesia
Sejak krisis 1997, rasio utang Indonesia terhadap PDB mengalami tren kenaikan hingga mencapai puncaknya pada tahun 2000 yang sebesar 89 persen. Selanjutnya, rasio utang Indonesia secara berturut-turut mengalami penurunan.

Pada 2001, rasio utang Indonesia turun menjadi 77 persen. Kemudian terus turun menjadi 67 persen (2002), 61 persen (2003), 57 persen (2004), 47 persen (2005), 39 persen (2006), 35 persen (2007), 33 persen (2008), dan 28 persen (2009). Tambahan utang sepanjang 2004-2008 yag menghasilkan tambahan PDB yang besar menyebabkan rasio utang Indonesia turun tajam hingga capaian rasio pada 2007 sudah jauh lebih baik daripada sebelum krisis 1997 yang berada pada kisaran 38 persen.

Namun demikian, meski rasio utang sudah menunjukkan kecenderungan turun, tetapi secara nominal total utang Indonesia sesungguhnya mengalami peningkatan. Bahkan, jumlah cicilan pokok dan bunga yang sudah dibayarkan pemerintah selama ini jauh lebih banyak daripada utang yang diterima.

Wibowo (2005) menceritakan, pada 1969, utang LN pemerintah Indonesia hanya sebesar USD 2,44 miliar. Pada 2003, jumlah tersebut menjadi USD 80,86 miliar. Hal ini berarti selama 34 tahun ada kenaikan nominal sebesar USD 78,42 miliar atau setara dengan Rp 729 triliun dengan kurs akhir Desember 2004 (dengan asumsi nilai waktu dari uang tidak dihitung).

Selama periode ini, pemerintah sudah membayar cicilan pokok dan bunga sebesar USD 56,52 miliar. Namun, di lain pihak, jumlah utang baru yang ditarik pemerintah sebesar USD 37,68 miliar. Maka, pembayaran kembali utang pemerintah mencapai USD 18,84 miliar atau setara dengan Rp 175 triliun. Logikanya, jika pemerintah sudah membayar lebih banyak dari utang yang diambil, maka jumlah utang harusnya menurun. Tapi yang terjadi tidak demikian. Pemerintah sudah membayar terlampau banyak, namun utang malah bertambah Rp 725 triliun.

Opportunity Cost
Tidak bisa dipungkiri, posisi outstanding utang pemerintah mengalami peningkatan dalam 10 tahun terakhir. Meski secara persentase utang pemerintah mengalami penurunan, namun faktanya nilai total utang pemerintah mulai 2003 terus mengalami kenaikan hingga akhir 2009 mencapai sekitar Rp 1.590,66 triliun. Dengan nilai PDB Rp 5.613,44 triliun, maka rasio utang terhadap PDB pada 2009 lebih rendah daripada rasio-rasio selama periode 2001-2007. Namun, rasio pada 2009 ini nyatanya ekivalen dengan nominal utang yang jauh lebih besar daripada periode sebelumnya.

Jelas, rasio utang Indonesia yang digaungkan pemerintah mengalami penurunan sesungguhnya adalah sebuah anomali yang kontraproduktif. Adanya bunga menyebabkan nominal utang justru bertambah. Ditambah lagi keberadaan resiko kurs yang kian menyebabkan nilai utang Indonesia terus melangit. Ini semua secara keseluruhan berdampak pada reduksitas kemampuan pemerintah untuk melakukan stimulus fiskal bagi pertumbuhan ekonomi lantaran kapasitas pemerintah untuk membiayai proyek dan program pembangunan menjadi berkurang.

Inilah opportunity cost yang harus ditanggung rakyat Indonesia. Beban utang berbunga telah menghabiskan potensi sumber dana yang semestinya bisa digunakan untuk kepentingan lain yang lebih mendesak dan bermanfaat. Setiap rupiah Indonesia yang dialokasikan untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang seharusnya dapat disalurkankan untuk program pembangunan padat karya, kesehatan, pendidikan, investasi, dan juga infrastruktur.

Ke depan, dibutuhkan kepemimpinan yang tidak membangun peradaban keuangan publik yang mengandalkan ‘gali lubang tutup lubang’. Keberadaan utang sesungguhnya noktah yang berdampak pada kebijakan dan kedaulatan ekonomi nasional. Kemandirian tidak akan pernah terbentuk jika menjadikan utang sebagai tulang punggung. Kebijakan defisit anggaran yang terus dilakukan demi atas nama menyelamatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), toh nyatanya hanya berbuah nilai riil utang yang terus membengkak. Jika ingin melakukan perubahan, maka manajemen utang publik pun harus berubah. Perubahan tidak akan pernah terwujud jika strategi yang digunakan tidak berubah. Wallahu a’lam bish showab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)