MARHABAN YA KONSUMTIVISME (Radar Jember, Perspektif, 14 Agustus 2010)


Oleh: Khairunnisa Musari*

Bulan puasa telah tiba. Puasa yang sejatinya adalah pengendalian diri, ternyata tak berkorelasi dengan menurunnya permintaan berbagai kebutuhan. Marhaban ya Ramadhan justru berkorelasi dengan Marhaban ya Konsumtivisme.


Bapak-bapak, ibu-ibu, mas-mas, mbak-mbak, tiga hari kemarin, menu buka puasanya apa saja? Saya yakin, pasti menunya berbeda daripada hari-hari biasa. Yang hari biasa minum air putih atau segelas teh, pasti sedikit banyak berubah menjadi es buah, es kolang kaling, es cao, soda gembira, setup, kolak, sirup, jus atau yang lainnya. Begitu juga yang hari biasa makan dengan tahu tempe atau sayur secukupnya, pasti sedikit banyak kini berubah menjadi hidangan lauk pauk dan masakan sayur beraneka ragam.

Ya, sajian kala berbuka puasa memang lazim beraneka warna. Perubahan yang terjadi tidak hanya dari sisi kualitas, tetapi juga kuantitas. Pada tataran inilah yang secara agregat mempengaruhi keseimbangan penawaran dan permintaan di pasar. Pola yang terbentuk selalu menunjukkan titik keseimbangan selama bulan Ramadhan berada di atas keseimbangan normal.

Tahun ini, kenaikan harga berlangsung dalam rentang waktu yang lebih panjang dari biasanya. Mulai dari liburan sekolah, tahun ajaran baru, kemudian berlanjut dengan kenaikan harga bahan pangan akibat terganggunya pasokan karena kegagalan panen dan sejumlah persoalan di bagian hulu.

Tak lama berselang, kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) kembali memicu kenaikan harga produk sebagai dampak ikutannya. Kenaikan ini masih akan terus berlangsung hingga bulan puasa dan Lebaran. Badan Pusat Statistik (BPS) bahkan telah memperingatkan untuk mewaspadai adanya inflasi yang tak terkontrol pada rentang bulan Juli-Agustus-September. Selama periode ini, inflasi diperkirakan akan mencapai titik tertinggi karena banyak faktor yang mengerek inflasi.

Meski berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengendalikannya, namun fenomena inflasi seolah tak bisa lepas dari bulan Ramadhan. Sangat diduga kuat kenaikan harga barang secara umum ini sesungguhnya bukan disebabkan oleh kebutuhan riil, melainkan lebih pada perilaku konsumsi.

.................

Oleh karena itu, perilaku konsumsi individu dan rumah tangga memegang peran penting dalam menyetir permintaan dan penawaran agregat di bulan Ramadhan. Perilaku konsumsi yang sewajarnya dapat menangkis eksploitasi produsen yang gencar menawarkan produknya. Justru di bulan Ramadhan, kita harus belajar untuk tidak mudah tergoda iklan. Seyogyanya, bulan Ramadhan menjadi sarana untuk meningkatkan motif konsumsi ibadah/beramal saleh dan bukan malah mendorong motif konsumsi kebutuhan primer, apalagi motif konsumsi kebutuhan sekunder/tersier/mewah. Kalau ini yang terjadi, maka memang tepat kita mengatakan Marhaban ya Ramadhan dan bukan Marhaban ya Konsumtivisme. Wallahu a’lam bishowab.

Mohon maaf, tulisan ini belum dapat dimuat dalam full-article karena masih menunggu pemuatan versi lainnya di sebuah media.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)