RUMAH TANI, RUMAH KITA, ADA DI SINI (Radar Jember, Perspektif, 7 Agustus 2010)


Oleh: Khairunnisa Musari

Haruskah kita beranjak ke kota
Yang penuh dengan tanya
Lebih baik disini, rumah kita sendiri
Segala nikmat dan anugerah yang kuasa
Semuanya ada disini
Rumah kita
Ada di sini


Itulah sepenggal lagu Rumah Kita yang pernah dinyanyikan God Bless. Lagu ini tiba-tiba saja terngiang di kepala saya ketika mengikuti Forum Diskusi dengan stakeholder pertanian Kabupaten Jember pada hari Rabu lalu.

Seperti yang diulas RJ kemarin selama 2 hari berturut-turut, wacana pembentukan Sub Terminal Agribisnis (STA) disambut hangat oleh para stakeholder pertanian. Hadirnya Pasar Induk Agrisbisnis Puspa Agro di Sidoarjo, ditambah lagi testimoni sejumlah petani yang telah merasakan manfaat di dalamnya, semakin menguatkan keinginan para peserta forum untuk mewujudkan gagasan Komisi B DRPD untuk mendirikan STA di Kabupaten Jember.

Secara pribadi, saya mengapresiasi gagasan ini. Setidaknya ada 5 alasan utama. Pertama, potensi alamiah Kabupaten Jember memang didominasi oleh sektor pertanian. Yang dimaksud sektor pertanian dalam konteks ini meliputi sektor perkebunan, kehutanan, perikanan, kelautan, peternakan, dan pertanian itu sendiri. Sektor-sektor inilah yang secara nyata menjadi tulang punggung perekonomian daerah dan kontributor PDRB terbesar.

Kedua, sektor pertanian yang menjadi basis utama Kabupaten Jember ternyata dalam prakteknya tidak cukup mampu memenuhi kebutuhan komoditas pertanian di Kabupaten Jember itu sendiri. Hal ini tercermin diantaranya dari kelangkaan pasokan yang menyebabkan mahalnya sejumlah produk komoditas. Hal yang sama terjadi pula dalam ruang lingkup Jawa Timur, bahkan juga Indonesia yang tak sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan domestik. Dengan kata lain, sektor pertanian masih belum mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Ketiga, dengan memberdayakan sektor pertanian, maka perekonomian daerah diharapkan memiliki peluang lebih besar untuk menciptakan iklim pro-poor, pro-job, pro-growth, dan pro-environment. Inilah ekonomi yang riil. Inilah bentuk kongkret dari ekonomi kerakyatan yang selama ini banyak digembar-gemborkan.

Keempat, gagasan mengeliminasi panjangnya mata rantai distribusi yang merusak harga dalam perekonomian adalah baik. Ekonomi yang menghubungkan antara produsen dengan konsumen secara langsung diharapkan memberi pengaruh positif terhadap pendapatan produsen dan menghindari kemahalan harga bagi konsumen. Meski sejumlah tengkulak pada prakteknya memberi manfaat dalam pendampingan dan modal, namun posisi tawar petani yang lemah kadang membuat tengkulak sering menawar harga sangat rendah.

Kelima, sebaran petani yang tak rapi dan tak terorganisir menampilkan sebuah kinerja sektor yang terkesan tak memiliki prospek dan sarat resiko dalam sudut pandang lembaga keuangan. Dalam hal ini, Pemkab memiliki tanggung jawab terbesar untuk mengkondisikan sektor pertanian sebagai sebuah sektor unggulan yang memiliki masa depan dan layak untuk diakses oleh lembaga keuangan. Sektor pertanian tak bisa dibiarkan tumbuh sporadis, tetapi harus terintegrasi dan tumbuh secara simultan dan kolektif dalam sebuah kelembagaan pasar yang rapi.

Untuk mewujudkan STA, saya melihat sejumlah persoalan di depan yang menjadi tantangan bersama. Pertama, dari aspek hukum. Saya tidak dapat memastikan, tetapi saya berpendapat payung hukum dari STA adalah Perpres No 112 Tahun 2007. Nah, di lapangan, acap kali kita menemukan berbagai persoalan yang muncul dalam implementasi Perpres ini, utamanya dalam hal zonasi, kemitraan, dan trading term.

Kedua, dari aspek teknis. Perlu dirumuskan sejumlah opsi untuk dikaji kelayakannya, manakah yang lepih tepat, menjadikan STA dalam satu lokasi ataukah membuat link dan meningkatkan optimalitas terhadap pasar tradisional yang sudah ada. Hal ini mengingat adanya sebaran pasar tradisional dan crowd level yang tampaknya tidak merata.

Ketiga, dari aspek sosial-ekonomi. Perlu dipikirkan bagaimana kehadiran STA dapat merangkul semua pasar tradisional. Kita tentu berharap pasar tradisional dapat menjadi embrio dan tidak dibiarkan mati tak berdaya karena keberadaan STA. Selain itu, perlu dipikirkan juga bagaimana agar petani dapat diberi kesempatan yang sama untuk bisa menikmati los dan stan STA. Hal ini untuk mengantisipasi agar tidak hanya pemilik modal saja yang dapat menyewa dan ditampung oleh STA.

Keempat, dari aspek operasional. STA sesungguhnya adalah model praktek pemerintahan korporat di mana pemerintah bertindak sebagai “pedagang jasa penyedia tempat” yang memungut uang sewa (melalui BUMD pengelola) yang bisa secara sepihak menentukan tarif sewa berdasarkan keputusan politik daerah. Perlu disepakati oleh para stakeholder untuk merumuskan hal ini agar mekanisme yang ada memberi win-win solution. Tentu saja, Pemkab seyogyanya tidak bertindak sebagai korporatokrasi yang mengedepankan profitable daripada tanggung jawab sosialnya.

Kelima, dari aspek keuangan. Perlu dipikirkan bagaimana membuat skim agar STA ini dapat terwujud dengan tidak hanya bersumber dari APBD semata. Perlu dipikirkan juga bagaimana agar para petani yang bernaung di STA dapat difasilitasi untuk mengakses lembaga keuangan, utamanya perbankan. Sepertinya kita patut mempertimbangkan keberadaan koperasi sebagai jembatannya.

Ke depan, kita semua berharap, STA dapat menjadi model kelembagaan pasar yang dapat bekerja untuk menghindarkan para pelaku di dalamnya dari asymmetric information sehingga tercipta keadilan dan kemerataan dalam penguasaan sumber daya, informasi, pasar, modal, dan jaringan. Diharapkan pula, akan muncul praktek hisbah di masa lalu yang berfungsi sebagai pengawas yang adil dalam lalu lintas perdagangan. Secara keseluruhan, ini semua akan menjadi pilar dalam membangun kedaulatan ekonomi petani dan sektor pertanian di rumah kita, di sini, di Kabupaten Jember. Wallahu a’lam bish showab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

Belajar dari Wu Da Ying (1) (Jawa Pos Radar Jember, Perspektif, 7 Juli 2017, Hlm. 21 & 31)