DULU AKU SUKA PADAMU... (YA YA YA) - (Radar Jember, Perspektif, 21 Agustus 2010)


Oleh: Khairunnisa Musari

Dulu aku suka padamu dulu aku memang suka (ya-ya-ya)
Dulu aku gila padamu dulu aku memang gila (ya-ya-ya)
Sebelum aku tahu kau dapat merusakkan jiwaku (o-o, o-o)
Sebelum aku tahu kau dapat menghancurkan hidupku (o-o, o-o)


Ada yang bisa menebak judul tembang di atas? Ya, betul sekali. Itu lagu Miransatika-nya Raja Dangdut Indonesia Rhoma Irama. Bagi bapak-bapak dan ibu-ibu yang menggemari Bang Rhoma, pastilah bisa melanjutkan dendang tersebut. Pesan penting yang ingin disampaikan Bang Haji tercermin pada larik akhirnya. Gara-gara kamu orang bisa menjadi gila... Gara-gara kamu orang bisa putus sekolah... Gara-gara kamu orang bisa menjadi edan.. Gara-gara kamu orang kehilangan masa depan...

Bukan tanpa sebab saya mengawali tulisan ini dengan berdangdut ria ala Pak Haji Rhoma. Pesan moral yang disampaikan Pak Haji tentang dampak minuman keras (miras) rasanya patut mendapat tempat dalam Perspektif di bulan Ramadan kali ini. Terlebih mengingat kian santernya peredaran miras di sejumlah pasar ritel modern yang meresahkan beberapa pihak.

Keresahan akan miras yang ingin saya ulas ini bermula dari seorang kolega yang menjadi staf pengajar di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Jember. Ia menyampaikan temuannya di sejumlah minimarket di wilayah tapal kuda yang menjual secara bebas minuman beralkohol. Melalui diskusi panjang dengan rekan lainnya yang mendalami Biokimia, saya mengetahui bahwa minuman beralkohol dengan kadar rendah bersifat akumulatif. Artinya, minuman tersebut jika dikonsumsi terus menerus akan membuat dampak yang sama besarnya bagi orang yang minum dengan kadar yang tinggi.

Sebelumnya, saya pribadi memang pernah mendapati minimarket yang menjual bebas minuman tersebut. Sayang, saya lupa dimana persisnya. Entah di Surabaya, Lumajang atau Jember. Maklum, rutinitas mengelilingi 3 kota ini membuat saya kerap lupa masuk minimarket di wilayah mana. Yang jelas, ketika saya bercerita tentang penjualan bebas miras ini, rekan-rekan di Surabaya mengamini keberadaannya. Ternyata, bukan hanya minimarket di wilayah tapal kuda saja yang disinyalir melakukan penjualan bebas tersebut.

Persoalan miras sesungguhnya adalah cerita pilu. Kerap kali kita membaca di media tentang penggerebekan pesta miras yang dilakukan sekelompok anak muda, bahkan anak sekolah, yang sudah turut mengkonsumsinya. Tak jarang pula kita mendapati berita tentang warga yang tewas akibat minum miras oplosan. Tentu ini sangat memprihatinkan. Pantaslah jika pihak kepolisian menabuhkan genderang perang terhadap peredaran miras.

Sayang, payung hukum kita konon hanya memberi sanksi wajib lapor bagi pengedarnya dan tidak ada sanksi hukuman penjara. Bahkan, dalam suatu diskusi, ada yang mengatakan bahwa secara nasional memang belum ada peraturan yang secara tegas melarang menjual, menyimpan, membuat, dan mengkonsumsi miras. Padahal, peraturan ini sangat dibutuhkan mengingat peredaran miras sudah sedemikian tidak terkontrol. Miras dapat ditemui di mana saja dan dapat dibeli serta dikonsumsi oleh siapa saja.

Regulasi yang kerap menjadi acuan peredaran miras selama ini adalah Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Meski Keppres ini menyatakan pelarangan untuk mengedarkan dan atau menjual minuman beralkohol dengan sejumlah persyaratan, namun implementasinya banyak terdapat ketidakbenaran. Pasalnya, pemerintah pusat memberi wewenang kepala daerah menetapkan tempat-tempat yang diizinkan dan tidak sebagai tempat peredaran miras.

Tidak hanya itu, kelemahan lain dari Keppres ini adalah izin bagi pemerintah pusat melalui Departemen Perdagangan dan Perindustrian untuk berkoordinasi dengan daerah melalui kepala daerah. Artinya, aturan-aturan ini sesungguhnya memberi ruang bagi peredaran miras. Hukum melegalkan semua itu atas dasar ketetapan atau keputusan para pejabat administrasi negara. Pada titik inilah yang berpotensi untuk memunculkan kolusi antara pengusaha miras dengan pejabat administrasi negara.

Saya tidak tahu pasti, apakah di wilayah tapal kuda ini terdapat Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur persoalan peredaran miras ini. Namun, jika ternyata memang terdapat pasar ritel modern di wilayah ini yang menjual bebas, maka artinya ada 2 kemungkinan. Pertama, mungkin memang terdapat ketetapan kepala daerah setempat yang mengizinkannya. Kedua, mungkin tidak ada ketetapan sehingga minim pengawasan.

Seorang ahli hukum menyampaikan pada saya, legalisasi miras oleh pemerintah menggunakan hukum tertulis. Kalau bicara tentang Hukum Indonesia, sebenarnya hukum yang tertulis itu belum tentu merupakan hukum yang bernilai benar. Hukum tertulis seharusnya sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dan diakui masyarakat serta bukan sekedar produk regulasi kekuasaan yang cenderung merupakan produk politik yang sewenang-wenang dengan tendensi tertentu.

Ketika saya mencoba mencari tahu daerah-daerah mana saja yang memiliki Perda Miras di Om Google, ternyata memang tidak banyak yang memilikinya. Setidaknya Bekasi, Cilacap, Blitar dan Subang sudah mencoba melakukannya. Bahkan, legislatif di Blitar saat ini tengah mengusulkan Perda yang lebih tegas yang melarang segala praktek jual beli miras.

Hmmm... mudah-mudahan Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu tidak bingung dengan posisi saya yang menjadi kolumnis ekonomi kok ndilalah banyak bicara hukum. Tidak Pak, Bu, saya tetap mengulas ekonomi. Catatan penting yang ingin saya sampaikan dalam Perspektif hari ini adalah lazimnya legalisasi kegiatan-kegiatan yang meski secara agama, sosial, dan kesehatan membawa mudharat, tetapi sering dikalahkan oleh pertimbangan ekonomi. Dan kerap kali pemerintah pusat kita dengan atas nama penerimaan negara dan pemerintah daerah kita dengan atas nama Pendapatan Asli Daerah (PAD) melindungi kegiatan-kegiatan yang sesungguhnya merusak moral dan masa depan generasi kita. Wallahu a’lam bish showab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)