SUKUK MENJAWAB RESESI (Ekonomia, Republika, 19 Maret 2009)

Oleh:
Rifki Ismal (Mahasiswa PhD Islamic Finance, Durham University, UK)
Khairunnisa Musari (Mahasiswa S3 Ilmu Ekonomi Islam, Universitas Airlangga, Surabaya)
Kondisi perekonomian dunia dan Indonesia pada 2009 diancam resesi. Melalui kebijakan fiskalnya, pemerintah menjadi harapan terbesar untuk menye-lamatkan ekonomi nasional. Sukuk adalah salah satu instrumen dari kebijakan fiskal yang dapat digunakan untuk menangkal resesi. Bagaimana sukuk menjawab ancaman resesi?
Pada Februari lalu, Indonesia telah menerbitkan sukuk negara untuk pasar ritel. Penjualan tersebut menuai sukses. Pemerintah menyerap semua permintaan pembelian sebesar Rp.5.556 triliun. Hampir semua agen mampu menjual melebihi target kepada total 14.295 investor. Ini adalah sukuk negara kedua setelah pada Agustus 2008 diterbitkan pula untuk pasar korporat.
Penerbitan sukuk pada dasarnya dimaksudkan untuk membiayai pembangunan. Keberadaan sukuk tidak lepas dari konsep fiskal dalam Islam yang memperkenankan sukuk digunakan sebagai instrumen pembiayaan pembangunan. Sukuk tidak hanya berpotensi mengganti ketergantungan pemerintah terhadap utang luar negeri, tetapi sukuk juga dapat menyerap dan mendayagunakan potensi dana menganggur di dalam negeri untuk membiayai proyek-proyek pemerintah. Tidak hanya itu, bagi industri perbankan dan keuangan Islam, sukuk juga dapat berfungsi sebagai instrumen keuangan untuk mengelola likuiditas dan portofolio.
Jika disimak, sukuk sesungguhnya tidak saja memiliki peran sentral dalam kebijakan fiskal, tetapi juga dapat menjadi instrumen sentral bagi kebijakan moneter. Inilah dual-function dari sukuk yang dapat menjawab ancaman resesi.
Sebagai Instrumen Fiskal
Kunci masalah ekonomi dunia dan Indonesia adalah money creation. Praktek ekonomi kapitalis yang membangun sistem bunga menyebabkan aktifitas keuangan global dan nasional mengalami money creation sehingga inflasi dan resesi menjadi ancaman nyata yang tidak terelakkan.
Dari sisi fiskal, sukuk dapat bekerja dengan meninggalkan money creation. Hal ini tercermin setidaknya dari tiga aspek. Pertama, sukuk membutuhkan aset sebagai underlying transaction agar dapat diperdagangkan. Kehadiran aset ini jelas berpotensi menghasilkan return dan sekaligus sebagai jaminan apabila terjadi permasalahan antara issuer dan investor. Kedua, sukuk mengakumulasi modal publik dengan risiko yang minimal. Hal ini tidak lepas dari konsep syariah yang melarang transaksi perdagangan uang tanpa adanya kewajiban yang ditunaikan. Ketiga, sukuk bekerja berdasarkan kinerja sektor riil sehingga kondisi down and up perekonomian akan tercermin pada kinerja sukuk.
Bagi Indonesia, bahkan juga bagi sejumlah negara dengan penduduk muslim minoritas seperti China, Jepang, Korea, Singapura, dan Inggris, sukuk dipandang sebagai instrumen pembiayaan pembangunan yang lebih baik daripada berutang. Adanya mekanisme underlying asset, penghitungan bagi hasil, dan kepastian proyek-proyek yang akan dibiayai menjadikan sukuk tidak hanya dipandang sebagai solusi pembiayaan pembangunan, tetapi juga sebagai alternatif investasi.
Sebagai instrumen moneter
Seperti halnya dari sisi fiskal, sukuk dari sisi moneter pun bekerja dengan meninggalkan money creation. Dalam perspektif ekonomi syariah, sejatinya kegiatan moneter tidak membutuhkan instrumen karena kinerjanya sudah termanifestasi oleh sektor riil. Namun, dalam konteks kekinian, instrumen moneter dibutuhkan karena adanya excess and lack of liquidity di pasar keuangan. Dalam hal inilah, sukuk dapat difungsikan untuk mengelola excess and lack of liquidity.
Sebagaimana kita lihat, excess liquidity dalam sistem ekonomi di Indonesia banyak beredar dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI), stock market, capital market, money market, dan obligasi pemerintah. Pada tataran inilah, sukuk dapat difungsikan sebagai instrumen moneter untuk mengurangi lack of liquidity sekaligus penjaga kestabilan inflasi dan mencegah resesi. Ke depan, bank sentral dan pemerintah perlu mempertimbangkan penerbitan sukuk bank sentral untuk menjadi instrumen moneter alternatif atau pengganti SBI. Atau jika tidak ingin disebut dengan sukuk bank sentral, dapat juga disebut dengan SBI Syariah berskema equity-based.
Menjawab resesi
Dalam jangka panjang, sukuk sesungguhnya tidak sepenuhnya mampu menghindari ancaman resesi. Dibutuhkan pula kebijakan kongkret lain yang harus menyertainya, seperti: komitmen pemerintah untuk tidak menambah utang, tidak menjadikan sukuk sebagai penambal defisit anggaran, dan menghentikan mekanisme moneter kapitalis yang menambah base money.
Namun demikian, harus diakui bahwa sukuk dalam jangka pendek dapat menjawab ancaman resesi. Hal ini tidak lepas dari dual-function yang dimilikinya. Pada satu sisi, pemerintah menerbitkan sukuk negara sebagai alat kebijakan fiskal yang dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan pembangunan. Pada sisi lain, bank sentral menerbitkan sukuk bank sentral dalam waktu yang bersamaan. Melalui hubungan kelembagaan negara, bank sentral dapat menyerap excess liquidity dan menempatkannya langsung pada pemerintah untuk pembiayaan pembangunan atau tidak langsung melalui perbankan syariah. Dengan cara kerja inilah, sukuk dalam kebijakan fiskal dan moneter bahu membahu mengatur liquidity tanpa harus melalui proses money creation.
Tidak bisa dipungkiri, ekonomi kapitalis menimbulkan kepelikan lantaran money creation yang tidak didasari kegiatan riil perekonomian. Hal inilah yang menyebabkan inflasi tak pernah selesai dan resesi menjadi ancaman. Meski masih di tahap awal, mekanisme sukuk yang ditawarkan ekonomi syariah saat ini merupakan bukti nyata yang bisa menjadi solusi bagi masalah ekonomi kapitalis. Sesungguhnya, inilah intisari dari fungsi ekonomi syariah yang menjaga kestabil an ekonomi bukan dengan penambahan uang beredar, melainkan dengan meningkatkan perputaran uang (money velocity). Wallahu’alam bishowab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

Belajar dari Wu Da Ying (1) (Jawa Pos Radar Jember, Perspektif, 7 Juli 2017, Hlm. 21 & 31)