SUKUK, MENUJU INSTRUMEN SENTRAL FISKAL DAN MONETER (MAJALAH SHARING, EDISI APRIL NO. 28/TAHUN III/2009
Oleh:
Rifki Ismal (Mahasiswa PhD Islamic Finance, Durham University, UK)
Khairunnisa Musari (Mahasiswa S3 Ilmu Ekonomi Islam, Universitas Airlangga, Surabaya)
Penjualan sukuk ritel laris manis. Respon investor luar biasa. Sebelum sampai akhir masa penawaran, penjualan sukuk ritel sudah menembus target indikatif. Ke depan, pemerintah patut mempertimbangkan sukuk tidak hanya sebagai sumber pembiayaan dalam kebijakan fiskal, tetapi dapat juga menjadi instrumen sentral bagi kebijakan moneter di Indonesia.
Pada hari ke-12 penawaran, penjualan sukuk berseri SR-001 sudah terjual Rp 3,446 triliun. Nilai ini sudah melampaui target indikatif pemerintah yang sebesar Rp 3,4 triliun. Dari semula, pemerintah memang optimis penerbitan sukuk ritel pada akhir Februari ini akan mendulang sukses.
Optimis pemerintah cukup beralasan mengingat, pertama, penerbitan sukuk sebelumnya, yaitu Ijarah Fixed Rate (IFR) 0001 dan 0002 pada Agustus 2008 lalu, mendulang penghargaan karena dinilai sukses dari sisi permintaan maupun imbal hasil yang ketat. Kedua, untuk sukuk bertenor tiga tahun ini, pemerintah menetapkan imbal hasil cukup tinggi, 12 persen. Padahal, rata-rata imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) sekitar 10,8 persen. Ketiga, sukuk dinilai lebih aman karena dijamin pemerintah untuk berapa pun pembelian, sedangkan deposito yang dijamin paling tinggi hanya Rp 2 miliar. Keempat, nilai investasi SR-001 terjangkau bagi masyarakat dengan pembelian minimum Rp 5 juta. Kelima, sukuk ritel ini memiliki jaminan underlying asset dan resiko relatif rendah.
Tidak bisa dipungkiri, sukuk sebagai bagian dari instrumen fiskal dalam ekonomi syariah saat ini menjadi fenomena di dunia. Januari lalu, Singapura pun akhirnya menerbitkan sukuk perdana untuk melengkapi pondasi sistem keuangan Islam di sana. Konsep fiskal dalam Islam memang memperbolehkan sukuk digunakan sebagai instrumen pembiayaan pembangunan. Sukuk tidak hanya berpotensi mengganti ketergantungan pemerintah terhadap utang luar negeri, tetapi sukuk juga dapat menyerap dan mendayagunakan potensi dana menganggur di dalam negeri untuk membiayai proyek-proyek pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Jika disimak, sukuk sesungguhnya tidak hanya berpotensi sebagai instrumen fiskal. Lebih jauh, sukuk sesungguhnya berpotensi pula sebagai sebagai instrumen sentral kebijakan moneter. Sejauh ini, sudah banyak negara yang memanfaatkan sukuk sebagai instrumen pembiayaan pembangunan yang merupakan bagian dari kebijakan fiskal. Namun, hanya sedikit negara yang sudah menjadikan sukuk sebagai instrumen moneter. Dalam konteks ini, bank sentral negara dapat menerbitkan sukuk sebagaimana yang dilakukan oleh Malaysia, Sudan, Iran, dan Pakistan.
Money Creation
Sistem bunga yang dianut oleh kebijakan fiskal maupun moneter menyebabkan aktifitas keuangan pemerintah dan operasi moneter konvensional semakin menambah jumlah likuiditas dalam perekonomian. Penyelesaian budget defisit melalui pinjaman ke bank sentral, pinjaman ke luar negeri (pemerintah maupun swasta), dan sistem operasional bank konvensional merupakan salah satu sumber utama penambahan uang beredar. Inilah yang menjadi kunci masalah ekonomi di Indonesia maupun dunia, yaitu praktek ekonomi konvensional yang menyebabkan money creation sehingga inflasi selalu menjadi momok.
Lebih jauh, sukuk sebagai instrumen sentral fiskal maupun moneter dapat memanfaatkan dana-dana rupiah yang idle tanpa harus menambah uang beredar. Inilah sebenarnya inti dari fungsi ekonomi Islam yang menjaga kestabilan ekonomi bukan dengan penambahan uang beredar, melainkan dengan meningkatkan perputaran uang (money velocity).
Ke depan, pemerintah selayaknya tidak sekedar menjadikan sukuk sebagai sumber pembiayan semata. Tetapi, pemerintah dan bank sentral patut pula mempertimbangkan sukuk sebagai alternatif atau bahkan sebagai pengganti Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Menuju Instrumen Sentral Fiskal dan Moneter
Dalam tataran teoretis, sukuk tepat sekali digunakan sebagai piranti moneter menggantikan SBI. Sukuk memiliki peran strategis untuk mengelola excess/lack of liquidity. Dalam hal ini, bank sentral menerbitkan sukuk bank sentral dengan akad investasi (mudarabah/musyarakah, dll) atau SBI Syariah dengan skema equity-based. Melalui skema ini, bank sentral akan menyerap excess liquidity dan ditempatkan ke pemerintah untuk pembiayaan pembangunan atau tidak langsung melalui bank-bank syariah. Jika menghasilkan return, hasilnya dapat di-share. Pada saat yang sama, pemerintah tetap juga menjalankan sukuk sebagai alat kebijakan fiskal. Dengan cara ini, kebijakan moneter dan fiskal berjalan saling bahu membahu mengatur liquidity.
Lebih jauh, operasi moneter yang bersatu padu dengan operasi fiskal berbasis sukuk diharapkan akan mengurangi proses money creation. Keterlibatan aktif pemerintah dan bank sentral dalam menyerap dana-dana menganggur melalui kebijakan moneter dan fiskal berbasis sukuk tidak hanya akan menstabilkan perekonomian namun juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi, bahkan mengurangi tingkat kemiskinan karena besarnya potensi penyerapan tenaga kerja dari pelaksanaan proyek-proyek pemerintah.
Namun demikian, secara keseluruhan yang paling mendesak untuk dilakukan pemerintah dan bank sentral saat ini adalah menghentikan paradigma kapitalis dalam mekanisme moneter. Mekanisme moneter kapitalis yang menambah base money melalui bunga SBI harus dihentikan. Dana yang masuk lewat SBI hendaknya tidak diberi bunga. Dana-dana tersebut hendaknya disalurkan kepada perbankan agar bisa bermanfaat bagi ekonomi.
Harus diakui, meski masih di tahap awal, mekanisme sukuk yang ditawarkan ekonomi Islam merupakan bukti nyata yang bisa menjadi solusi bagi masalah ekonomi kapitalis. Ekonomi kapitalis menimbulkan kepelikan lantaran penciptaan uang yang tidak didasari kegiatan riil perekonomian. Hal inilah yang melahirkan fenomena inflasi, krisis ekonomi dan keuangan, serta menurunnya kesejahteraan masyarakat seperti yang tengah terjadi di negara-negara maju saat ini. Waallahu'alam bishawwab.
Rifki Ismal (Mahasiswa PhD Islamic Finance, Durham University, UK)
Khairunnisa Musari (Mahasiswa S3 Ilmu Ekonomi Islam, Universitas Airlangga, Surabaya)
Penjualan sukuk ritel laris manis. Respon investor luar biasa. Sebelum sampai akhir masa penawaran, penjualan sukuk ritel sudah menembus target indikatif. Ke depan, pemerintah patut mempertimbangkan sukuk tidak hanya sebagai sumber pembiayaan dalam kebijakan fiskal, tetapi dapat juga menjadi instrumen sentral bagi kebijakan moneter di Indonesia.
Pada hari ke-12 penawaran, penjualan sukuk berseri SR-001 sudah terjual Rp 3,446 triliun. Nilai ini sudah melampaui target indikatif pemerintah yang sebesar Rp 3,4 triliun. Dari semula, pemerintah memang optimis penerbitan sukuk ritel pada akhir Februari ini akan mendulang sukses.
Optimis pemerintah cukup beralasan mengingat, pertama, penerbitan sukuk sebelumnya, yaitu Ijarah Fixed Rate (IFR) 0001 dan 0002 pada Agustus 2008 lalu, mendulang penghargaan karena dinilai sukses dari sisi permintaan maupun imbal hasil yang ketat. Kedua, untuk sukuk bertenor tiga tahun ini, pemerintah menetapkan imbal hasil cukup tinggi, 12 persen. Padahal, rata-rata imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) sekitar 10,8 persen. Ketiga, sukuk dinilai lebih aman karena dijamin pemerintah untuk berapa pun pembelian, sedangkan deposito yang dijamin paling tinggi hanya Rp 2 miliar. Keempat, nilai investasi SR-001 terjangkau bagi masyarakat dengan pembelian minimum Rp 5 juta. Kelima, sukuk ritel ini memiliki jaminan underlying asset dan resiko relatif rendah.
Tidak bisa dipungkiri, sukuk sebagai bagian dari instrumen fiskal dalam ekonomi syariah saat ini menjadi fenomena di dunia. Januari lalu, Singapura pun akhirnya menerbitkan sukuk perdana untuk melengkapi pondasi sistem keuangan Islam di sana. Konsep fiskal dalam Islam memang memperbolehkan sukuk digunakan sebagai instrumen pembiayaan pembangunan. Sukuk tidak hanya berpotensi mengganti ketergantungan pemerintah terhadap utang luar negeri, tetapi sukuk juga dapat menyerap dan mendayagunakan potensi dana menganggur di dalam negeri untuk membiayai proyek-proyek pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Jika disimak, sukuk sesungguhnya tidak hanya berpotensi sebagai instrumen fiskal. Lebih jauh, sukuk sesungguhnya berpotensi pula sebagai sebagai instrumen sentral kebijakan moneter. Sejauh ini, sudah banyak negara yang memanfaatkan sukuk sebagai instrumen pembiayaan pembangunan yang merupakan bagian dari kebijakan fiskal. Namun, hanya sedikit negara yang sudah menjadikan sukuk sebagai instrumen moneter. Dalam konteks ini, bank sentral negara dapat menerbitkan sukuk sebagaimana yang dilakukan oleh Malaysia, Sudan, Iran, dan Pakistan.
Money Creation
Sistem bunga yang dianut oleh kebijakan fiskal maupun moneter menyebabkan aktifitas keuangan pemerintah dan operasi moneter konvensional semakin menambah jumlah likuiditas dalam perekonomian. Penyelesaian budget defisit melalui pinjaman ke bank sentral, pinjaman ke luar negeri (pemerintah maupun swasta), dan sistem operasional bank konvensional merupakan salah satu sumber utama penambahan uang beredar. Inilah yang menjadi kunci masalah ekonomi di Indonesia maupun dunia, yaitu praktek ekonomi konvensional yang menyebabkan money creation sehingga inflasi selalu menjadi momok.
Lebih jauh, sukuk sebagai instrumen sentral fiskal maupun moneter dapat memanfaatkan dana-dana rupiah yang idle tanpa harus menambah uang beredar. Inilah sebenarnya inti dari fungsi ekonomi Islam yang menjaga kestabilan ekonomi bukan dengan penambahan uang beredar, melainkan dengan meningkatkan perputaran uang (money velocity).
Ke depan, pemerintah selayaknya tidak sekedar menjadikan sukuk sebagai sumber pembiayan semata. Tetapi, pemerintah dan bank sentral patut pula mempertimbangkan sukuk sebagai alternatif atau bahkan sebagai pengganti Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Menuju Instrumen Sentral Fiskal dan Moneter
Dalam tataran teoretis, sukuk tepat sekali digunakan sebagai piranti moneter menggantikan SBI. Sukuk memiliki peran strategis untuk mengelola excess/lack of liquidity. Dalam hal ini, bank sentral menerbitkan sukuk bank sentral dengan akad investasi (mudarabah/musyarakah, dll) atau SBI Syariah dengan skema equity-based. Melalui skema ini, bank sentral akan menyerap excess liquidity dan ditempatkan ke pemerintah untuk pembiayaan pembangunan atau tidak langsung melalui bank-bank syariah. Jika menghasilkan return, hasilnya dapat di-share. Pada saat yang sama, pemerintah tetap juga menjalankan sukuk sebagai alat kebijakan fiskal. Dengan cara ini, kebijakan moneter dan fiskal berjalan saling bahu membahu mengatur liquidity.
Lebih jauh, operasi moneter yang bersatu padu dengan operasi fiskal berbasis sukuk diharapkan akan mengurangi proses money creation. Keterlibatan aktif pemerintah dan bank sentral dalam menyerap dana-dana menganggur melalui kebijakan moneter dan fiskal berbasis sukuk tidak hanya akan menstabilkan perekonomian namun juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi, bahkan mengurangi tingkat kemiskinan karena besarnya potensi penyerapan tenaga kerja dari pelaksanaan proyek-proyek pemerintah.
Namun demikian, secara keseluruhan yang paling mendesak untuk dilakukan pemerintah dan bank sentral saat ini adalah menghentikan paradigma kapitalis dalam mekanisme moneter. Mekanisme moneter kapitalis yang menambah base money melalui bunga SBI harus dihentikan. Dana yang masuk lewat SBI hendaknya tidak diberi bunga. Dana-dana tersebut hendaknya disalurkan kepada perbankan agar bisa bermanfaat bagi ekonomi.
Harus diakui, meski masih di tahap awal, mekanisme sukuk yang ditawarkan ekonomi Islam merupakan bukti nyata yang bisa menjadi solusi bagi masalah ekonomi kapitalis. Ekonomi kapitalis menimbulkan kepelikan lantaran penciptaan uang yang tidak didasari kegiatan riil perekonomian. Hal inilah yang melahirkan fenomena inflasi, krisis ekonomi dan keuangan, serta menurunnya kesejahteraan masyarakat seperti yang tengah terjadi di negara-negara maju saat ini. Waallahu'alam bishawwab.
Komentar
Posting Komentar