AIR, PANGAN, ENERGI (EKONOMIA, REPUBLIKA, 28 MEI 2009)

Oleh:
Khairunnisa Musari (Mahasiswa S3 Ilmu Ekonomi Islam Unair)

“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api” (HR Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Majah)

Dalam konteks kekinian, hadist yang menitikberatkan ‘air, padang rumput, dan api’ dapat kita terjemahkan dengan pemenuhan sektor air, pangan, dan energi. Jika disimak, tiga hal tersebut sangat relevan dengan berbagai persoalan yang terjadi di Indonesia belakangan ini.

Sepanjang 2008 lalu, tiga persoalan tersebut menjadi masalah nyata di Indonesia. Di awal tahun, naiknya harga dan langkanya sejumlah kebutuhan bahan makanan pokok menjadi sorotan. Isu yang menguak, Indonesia mengalami krisis ketahanan pangan akibat ketergantungan impor, ketidakmampuan berswasembada pangan, dan makin sedikitnya penduduk yang berminat di sektor pertanian.

Memasuki akhir semester I-2008, kenaikan harga minyak dunia akhirnya berimplikasi dengan naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sebesar 28,7 persen. Meski pada akhirnya harga tersebut diturunkan seiring penurunan harga minyak dunia, namun jika dicermati, persoalan BBM tampaknya lebih disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintah dalam melaksanakan tata kelola energi. Ini terbukti dengan banyaknya persoalan di seputar contract production sharing, dominasi kepemilikan asing atas aset-aset energi nasional, tidak tercapainya target lifting, mafia perminyakan, dan polemik terkait keberadaan subsidi itu sendiri.

Mengawali semester II-2008, persoalan kekeringan dan ancaman kekeringan di sejumlah daerah, terutama di Pulau Jawa, makin meluas. Ribuan hektar tanaman padi terancam puso akibat tidak adanya pasokan air. Guna merevitalisasi seluruh jaringan irigasi yang rusak, pemerintah kesulitan dana. Pascakrisis ekonomi 11 tahun lalu, pembangunan sarana irigasi terlantar. Sementara itu, akibat kenaikan harga BBM waktu lalu, pengelolaan pompa air irigasi lahan pertanian di sejumlah daerah juga terganggu akibat tergantungnya mesin pompa diesel pada BBM.

Pondasi Infrastruktur
Persoalan ‘air, padang rumput, dan api’ bukan semata persoalan Indonesia, tetapi juga menjadi persoalan dunia saat ini. Hanya saja, yang menjadi sumber munculnya persoalan di setiap negara berbeda-beda. Tidak bisa dimungkiri, tiga hal tersebut merupakan kebutuhan manusia yang substansial. Ketiganya berpotensi menjadi pemicu konflik dan memiliki contagion effect paling signifikan dalam mempengaruhi ekonomi masyarakat. Jika berkepanjangan, ketiganya dapat mengancam ketahanan ekonomi dan keamanan nasional.

Jika dilihat dalam makna luas, ‘air’ dapat diinterpretasikan tidak hanya sebagai pemenuh kebutuhan hidup manusia sehari-hari, tetapi juga dapat memiliki beragam fungsi sebagai pemenuh kebutuhan kegiatan ekonomi. ‘Padang rumput’ jika dimaknai secara luas, dapat diinterpretasikan juga sebagai segala bentuk sarana pemenuh kebutuhan hidup manusia yang memiliki fungsi pangan. Dalam konteks ini, termasuk di dalamnya sektor pertanian, perikanan, perkebunan, kehutanan, dan kelautan. Untuk ‘api’ dapat diinterpretasikan sebagai energi yang dapat bermanifestasi dalam berbagai rupa, baik minyak dan gas bumi (migas), batu bara, dan sumber energi lainnya.

Dengan demikian, jelas bahwa persoalan ‘air, padang rumput, dan api’ dalam ekonomi Islam sudah diposisikan sebagai kebutuhan substansial umat manusia. Oleh karena itu, Islam menempatkan ketiganya sebagai kepemilikan umum (dan bukan milik negara), di mana negara difungsikan sebagai pengelola ketiganya. Sayang, tata kelola ketiga sektor tersebut di Indonesia masih belum memenuhi harapan. Mismanajemen adalah kunci persoalan yang pada akhirnya berdampak dengan munculnya berbagai ketimpangan.

Ke Depan
Beberapa hal yang perlu kita lakukan ke depan. Pertama, mereorientasi kebijakan. Pemerintah perlu mengubah orientasi kebijakan yang bertitik tolak dari pandangan bahwa pemilik kekayaan alam Indonesia adalah pemerintah Indonesia. Kekayaan alam negeri ini sesungguhnya adalah anugrah bagi seluruh rakyat negeri ini dan pemerintah adalah pilar utama pengelola aset-aset strategis tersebut.

Kedua, membuat perencanaan strategis jangka panjang. Perlu disusun cetak biru pengelolaan, diversifikasi, dan pelestarian sektor air, pangan, dan energi di Indonesia. Sebagai wujud komitmen, pemerintah harus memprioritaskan belanja negara untuk membangun infrastruktur, melakukan riset dan pengembangan, diversifikasi, serta upaya-upaya pelestarian terhadap ketiga sektor tersebut.

Ketiga, kewajiban bagi negara untuk mengelola sektor air, pangan, dan energi serta mendistribusikannya secara adil dan merata pada seluruh masyarakat. Dalam hal ini, negara tidak harus melakukan pekerjaan itu sendiri, pemerintah dimungkinkan untuk melakukan kontrak kerja dengan pihak tertentu sesuai dengan pola produksi yang dibenarkan dan merealisasikan keadilan dalam pendistribusian. Dalam konteks inilah yang dalam setiap implementasi kerap terjadi penyimpangan. Pengalaman empirik menunjukkan, kontrak kerja ataupun kebijakan yang dilakukan pemerintah terhadap sektor air, pangan, dan energi menyebabkan penguasaan aset hanya beredar di kalangan pemilik modal saja, baik perorangan maupun korporasi.

Terakhir, pemerintah perlu menyadari bahwa selama masih ada sebagian rakyat yang belum mampu memenuhi kebutuhan di sektor air, pangan, dan energi, maka negara otomatis memiliki kewajiban untuk membantu memenuhinya. Dalam hal ini, dibutuhkan keberpihakan. Berbagai bentuk subsidi yang diberikan pada kelompok masyarakat yang miskin atau rentan pada kemiskinan, bukanlah sebuah distorsi terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), melainkan sebuah pemenuhan amanah atas tanggung jawab sosial yang diemban negara pada rakyatnya. Wallahu’alam bishowab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

Belajar dari Wu Da Ying (1) (Jawa Pos Radar Jember, Perspektif, 7 Juli 2017, Hlm. 21 & 31)