STIGLITZ, INDONESIA, DAN EKONOMI SYARIAH (Surabaya Post, Oeuvre, 7 Juni 2009)


Oleh: Khairunnisa Musari 

Ada benang merah antara Stiglitz, pemenang Nobel ekonomi 2001, dengan Indonesia dan ekonomi syariah. Melalui buku-bukunya, Stiglitz banyak mengungkap berbagai persoalan yang secara langsung dan tidak langsung dihadapi Indonesia. Melalui bukunya pula, terkuak pemikiran Stiglitz yang entah disadarinya atau tidak, memiliki sudut pandang yang sama dengan ekonomi syariah.

Joseph E. Stiglitz adalah pemenang Nobel bidang ekonomi tahun 2001. Kemenangannya diraih atas penciptaan cabang teori baru yang disebut The Economics of Information yang banyak mengulas dampak asimetri informasi. Teori ini merupakan pionir dalam konsep adverse selection dan moral hazard yang saat ini menjadi pedoman bagi para teoritis dan analis kebijakan.
Selain sebagai pemenang Nobel, Stiglitz dikenal juga sebagai ekonom ‘kontroversial’. Stiglitz kerap membela kepentingan negara-negara dunia ketiga. Ia terkenal dengan kritiknya terhadap globalisasi, fundamentalisme ekonomi pasar, dan sejumlah lembaga internasional. Stiglitz dengan berani mengatakan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia telah menjadi alat bagi kepentingan Amerika Serikat (AS) untuk menekan negara-negara dunia ketiga melalui cengkeraman kapitalisme ekonomi.
Publikasi Pandangan Stiglitz dalam setiap publikasinya menjadi penting karena ia pernah menjadi bagian penting dari perancang dan pemegang kebijakan AS. Stiglitz memotret kebijakan AS dalam mengelola agenda globalisasi. Buku-bukunya membuka mata dunia tentang bagaimana resep kebijakan IMF dan Bank Dunia yang berpengaruh besar pada ekonomi negara-negara berkembang ternyata tidak selalu benar.
Stiglitz berpendapat, terpuruknya perekonomian di negara-negara berkembang banyak diakibatkan kepatuhan yang sangat kepada resep kebijakan Washington Consensus. Untuk mengurai lebih dalam mengenai Washington Consensus, Stiglitz menulis Washington Consensus: Arah Menuju Jurang Kemiskinan (2002). Washington Consensus menyatakan, kinerja perekonomian yang baik membutuhkan perdagangan bebas, stabilitas makro, dan penerapan kebijakan harga yang tepat. Sesungguhnya, butir-butir Washington Consensus tidak dapat begitu saja diterapkan dalam kebijakan ekonomi suatu negara. Adanya sejumlah negara yang mencapai keberhasilan pembangunan tanpa mengikuti sepenuhnya rekomendasi Washington Consensus merupakan fakta yang tidak dapat diabaikan.
Dalam The Roaring Nineties yang diterjemahkan di Indonesia menjadi Dekade Keserakahan: Era 90-an dan Awal Petaka Ekonomi Dunia (2006), Stiglitz mengangkat dampak buruk kebijakan liberalisasi pasar yang menjadi konsekuensi sistem globalisasi, khususnya di negara-negara miskin dan berkembang. Buku ini membongkar kemunafikan dan standar ganda kebijakan ekonomi AS yang didesakkan ke negara-negara berkembang dalam paket liberalisasi pasar perdagangan. Dalam buku ini, Stiglitz menegaskan pula keprihatinannya terhadap korupsi dan kolusi yang menjamur di negara-negara miskin dan berkembang akibat tingginya ketimpangan sosial.
Dalam Making Globalizaton Work: Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia yang lebih Baik (2006), Stiglitz mengulas berbagai problem serius yang diidap globalisasi yang mengakibatkan banyak ketimpangan. Stiglits menjadikan buku ini sebagai peta dalam mewujudkan globalisasi yang bermanfaat bagi semua bangsa-bangsa di dunia. Ia mengemukakan cara-cara baru yang radikal untuk mengatasi utang negara berkembang. Ia menyarankan reformasi sistem cadangan devisa global untuk mengatasi ketidakstabilan keuangan internasional. Ia membahas perdagangan, paten, pengelolaan sumber daya, pemanasan global, demokratisasi, hingga argumen tentang pentingnya reformasi lembaga-lembaga dunia.
Dalam The Three Trillion Dollar War (2008), Stiglitz bersama Linda J. Bilmes mengulas hitungan rinci biaya ekonomi dan manusia yang dikeluarkan AS untuk Perang Irak. Dengan jargon ekonomi tentang opportunity cost, biaya yang dikeluarkan AS untuk membiayai perang akan sangat berarti dalam mengatasi berbagai persoalan pelik terkait kemiskinan, pengangguran, dan peningkatan kesejahteraan di AS sendiri dan berbagai negara di belahan dunia. Meski AS tampak baik-baik saja, namun sesungguhnya dampak yang dirasakan masyarakat sangat besar. Jika saja AS dapat memanfaatkan dana yang ada untuk menciptakan kedamaian dunia, maka hal itu akan jauh lebih berarti.
Stiglitz dan Indonesia Hampir di semua bukunya, Stiglitz mengulas tentang keterpurukan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Diskusi tentang Indonesia lebih rinci terdapat dalam Globalization and Its Discontents (2002). Perhatiannya yang besar pada Indonesia tentu bukan sekedar karena kecintaannya pada Bali, tetapi karena keprihatinannya pada Indonesia. Diungkapnya, penderitaan Indonesia lebih besar daripada banyak negara lain. Akibat mengikuti kebijakan Washington Consensus, pemulihan ekonomi Indonesia paling lambat di Asia Timur. Meski kemudian ekonomi Indonesia tumbuh, tetapi tetap lebih rendah daripada yang seharusnya dapat dicapai. Bahkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih rendah daripada negara-negara yang menolak kebijakan IMF.
Untuk kasus Indonesia, Stiglitz mengingatkan bahwa kekuatan pasar bebas sering merugikan sebagian besar masyarakat lemah. Pemerintah hendaknya melakukan upaya nyata untuk melindungi rakyatnya. Stiglitz menekankan peran pemerintah ini juga sebagai kritik atas Washington Consensus yang diadopsi pemerintah Indonesia. Ia mengingatkan, AS yang sangat mendukung globalisasi dan pasar bebas ternyata tetap memberi proteksi atas sejumlah sektor pertanian dan industrinya. Oleh karena itu, selayaknya negara-negara berkembang juga memberlakukan beberapa proteksi atas produknya.
Dalam kunjungannya ke Indonesia, Stiglitz juga banyak bicara mengenai masalah politik pemerintah Indonesia di bidang penanaman modal asing. Dengan berani, Stiglitz mengkritisi pemerintah Indonesia agar berani menegosiasi ulang kontrak-kontrak pertambangan yang terindikasi merugikan kepentingan rakyat.
Stiglitz dan Ekonomi Syariah Seorang rekan di bank sentral Indonesia bercerita, ketika Stiglitz mengunjungi Jakarta, petinggi bank sentral Indonesia pernah menyampaikan kepada Stiglitz bahwa konsep ekonomi yang digaungkan Stiglitz sebenarnya adalah konsep ekonomi syariah. Stiglitz menjawab, "Memang benar, konsep saya tentang paradigma baru ekonomi moneter itu adalah ekonomi syariah”.
Sebelumnya, melalui buku Toward a New Paradigm in Monetary Economics (2003), Stiglitz dan Bruce Greenwald memperkenalkan pendekatan baru dalam ilmu ekonomi. Pendekatan inilah yang menjadi benang merah antara Stiglitz dengan ekonomi syariah, selain seruan dalam setiap buku-bukunya yang selalu menuntut keadilan dan mengecam ketimpangan.
Setidaknya ada tiga pendekatan Stiglitz dalam buku tersebut yang merupakan teori ekonomi syariah bidang moneter. Pertama, Stiglitz mengemukakan bahwa efektivitas kebijakan moneter sangat bergantung pada kondisi perbankan, terutama dalam penyaluran kredit. Kredit lebih sesuai untuk mengukur transactional demand dan spending power yang sesungguhnya. Penegasan Stiglitz tentang pentingnya kredit untuk menunjang pertumbuhan ekonomi selaras dengan teori ekonomi syariah yang berorientasi pada sektor riil.
Kedua, Stiglitz menyatakan bank harus berperilaku netral dan risiko harus terdistribusi efektif bagi seluruh pelaku ekonomi. Dalam teori ekonomi syariah, bank diasumsikan tidak dapat memastikan keuntungan dan kerugian di masa depan serta harus mengedepankan profit-loss sharing. Konsep ini memberi pesan bahwa bank harus diposisi netral serta keuntungan dan risiko harus terdistribusi pada semua pelaku ekonomi.
Ketiga, Stiglitz menyatakan mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur suku bunga kini tidak efektif lagi dalam mempengaruhi kegiatan di sektor riil. Untuk itu, penggunaan instrumen suku bunga untuk mempengaruhi jumlah uang beredar hendaknya diubah menjadi kebijakan yang berdasarkan kepada mekanisme permintaan-penawaran kredit. Hal ini selaras dengan prinsip ekonomi syariah yang mengharamkan penggunaan instrumen bunga. Dalam teori ekonomi syariah, intisari kestabilan ekonomi bukan dengan money creation, melainkan dengan money velocity. Wallahu’alam bishowab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)