MENYOAL MINIMNYA KONTRIBUSI BANK SYARIAH TERHADAP SUKUK (Boks Pojok Ekonomia, Republika, 16 April 2009)
Oleh:
Khairunnisa Musari (Mahasiwa S3 Ilmu Ekonomi Islam Universitas Airlangga)
Pada pertengahan 2008 lalu, pemerintah telah menerbitkan sukuk negara dengan pasar korporasi. Pada akhir Februari 2009, pemerintah kembali menerbitkan sukuk negara dengan pasar ritel. Dari dua pengalaman tersebut, banyak pihak menilai kontribusi perbankan syariah dalam penyerapan sukuk sangat rendah.
Pada penerbitan sukuk 2008 lalu, industri asuransi secara umum adalah investor yang paling banyak menyerap sukuk. Industri ini menyerap sekitar Rp 2,4 triliun atau hampir 30 persen dari total penawaran sukuk. Sementara, industri perbankan syariah hanya menyerap sekitar 9,66 persen atau sekitar Rp 780 miliar dari total penawaran sukuk yang sebesar Rp 8,07 triliun. Sementara itu, pada penerbitan sukuk 2009, peran bank syariah dalam menjualkan sukuk juga tidak sebesar agen penjual lainnya.
Minimnya Kesertaan Bank Syariah
Jika disimak, minimnya penyerapan industri bank syariah terhadap sukuk disebabkan oleh minimnya kesertaan bank syariah terhadap kelembagaan sukuk. Hal ini setidaknya tercermin dari empat aspek. Pertama, penawaran dan penjualan sukuk belum melibatkan banyak bank syariah. Pada 2008 lalu, tiga agen penjual semuanya berasal dari perusahaan sekuritas. Pada 2009 ini, penjualan sukuk hanya melibatkan 1 bank syariah dari 13 agen penjual. Padahal, penerbitan sukuk bisa menjadi momentum untuk meningkatkan pangsa pasar bank syariah.
Kedua, pemerintah tampaknya belum terbersit untuk menyalurkan sebagian dana investor sukuk melalui bank syariah. Kecenderungan pemerintah memanfaatkan dana sukuk untuk menutup defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta kelebihan targetnya dialokasikan untuk menjadi standby-loan. Padahal, dengan indikasi financing to deposit ratio (FDR) yang berkisar 100 persen menunjukkan bahwa pengelolaan pembiayaan bank syariah benar-benar diserap sektor riil dan bank syariah berpotensi melakukan ekspansi pembiayaan.
Ketiga, akibat FDR yang berkisar 100 persen, bank syariah mengalami kesulitan modal lantaran juga harus memenuhi giro wajib minimum (GWM). Dalam hal ini, sukuk sesungguhnya berpotensi untuk menjadi solusi persoalan likuiditas yang dihadapi bank syariah. Persoalan likuiditas ini diyakini pula yang menjadi penyebab utama rendahnya penyerapan sukuk oleh bank syariah. Pasalnya, dengan FDR 100 persen, bahkan kerap kali melampaui 100 persen, ini berarti ada sebagian modal bank syariah yang disalurkan ke dalam pembiayaan. Inilah yang menyebabkan bank syariah mengalami tekanan likuiditas untuk menyerap sukuk.
Terakhir, ada dugaan bahwa bank syariah berhati-hati dalam membeli sukuk karena menjaga kehalalannya. Hal ini tidak lepas dari apa itikat dan tujuan awal pemerintah dalam menerbitkan sukuk. Bank syariah bisa jadi juga mencermati proyek apa yang dipilih pemerintah untuk dibiayai sukuk. Hal ini mengingat sukuk sesungguhnya bukan surat utang, melainkan instrumen investasi yang bergantung pada proyek yang menjadi dasar penerbitannya.
Sukuk, Instrumen Likuiditas Bank Syariah
Meski bank sentral telah melakukan sejumlah perubahan peraturan yang memperkenankan bank syariah dapat melakukan investasi pada sukuk, namun pada kenyataannya kesertaan bank syariah dalam menerima manfaat sukuk masih belum terasa. Di masa yang akan datang, penerbitan sukuk berimplikasi baik bagi bank syariah. Sukuk tidak saja dapat menjadi instrumen investasi bank syariah dalam menyalurkan dana pembiayaan, tetapi juga sekaligus dapat menjadi sumber likuiditas. Meski bank syariah dinyatakan tahan terhadap badai krisis, namun realitas menunjukkan bahwa bank syariah juga mengalami tekanan likuiditas dan membutuhkan instrumen likuiditas.
Ke depan, pemerintah perlu lebih komit lagi dalam mendorong pengembangan bank syariah dan sukuk serta harmonisasi keduanya. Sukuk berpotensi menjadi instrumen pengelola excess and lack of liquidity alternatif bagi bank syariah. Untuk itu, pengembangan sukuk tidak bisa dilepaskan dari bank syariah, begitu juga sebaliknya.. Dalam hal ini, pemerintah perlu memberi kesempatan yang lebih besar bagi bank syariah untuk ikut andil dalam pengembangan sukuk serta menerima manfaat dari keberadaan sukuk. Masing-masing memiliki keterkaitan dan saling membutuhkan dalam membangun sistem ekonomi Islam yang kaffah. Wallahu’alam bishowab.
Khairunnisa Musari (Mahasiwa S3 Ilmu Ekonomi Islam Universitas Airlangga)
Kontribusi bank syariah dalam penyerapan sukuk sangat minim. Hal ini menjadi pertanyaan. Pasalnya, industri keuangan syariah sejak awal begitu mendesak agar emisi sukuk direalisasikan. Alasannya, kehadiran sukuk akan membantu ruang gerak pasar keuangan syariah. Lalu mengapa sedikit sekali bank syariah yang menyerap sukuk?
Penerbitan sukuk sejak mula dimaksudkan untuk mendiversifikasi instrumen pembiayaan defisit anggaran dengan meningkatkan basis investor. Sukuk diposisikan memiliki peran yang kurang lebih sama dengan surat utang negara (SUN). Perbedaannya yang signifikan terletak pada sukuk yang berbasis sistem ekonomi Islam. Sistem ini mensyaratkan adanya jaminan aset (underlying asset) untuk tiap nilai penerbitannya, berkaitan dengan sektor riil, dan digunakan untuk hal-hal produktif.
Penerbitan sukuk sejak mula dimaksudkan untuk mendiversifikasi instrumen pembiayaan defisit anggaran dengan meningkatkan basis investor. Sukuk diposisikan memiliki peran yang kurang lebih sama dengan surat utang negara (SUN). Perbedaannya yang signifikan terletak pada sukuk yang berbasis sistem ekonomi Islam. Sistem ini mensyaratkan adanya jaminan aset (underlying asset) untuk tiap nilai penerbitannya, berkaitan dengan sektor riil, dan digunakan untuk hal-hal produktif.
Pada pertengahan 2008 lalu, pemerintah telah menerbitkan sukuk negara dengan pasar korporasi. Pada akhir Februari 2009, pemerintah kembali menerbitkan sukuk negara dengan pasar ritel. Dari dua pengalaman tersebut, banyak pihak menilai kontribusi perbankan syariah dalam penyerapan sukuk sangat rendah.
Pada penerbitan sukuk 2008 lalu, industri asuransi secara umum adalah investor yang paling banyak menyerap sukuk. Industri ini menyerap sekitar Rp 2,4 triliun atau hampir 30 persen dari total penawaran sukuk. Sementara, industri perbankan syariah hanya menyerap sekitar 9,66 persen atau sekitar Rp 780 miliar dari total penawaran sukuk yang sebesar Rp 8,07 triliun. Sementara itu, pada penerbitan sukuk 2009, peran bank syariah dalam menjualkan sukuk juga tidak sebesar agen penjual lainnya.
Minimnya Kesertaan Bank Syariah
Jika disimak, minimnya penyerapan industri bank syariah terhadap sukuk disebabkan oleh minimnya kesertaan bank syariah terhadap kelembagaan sukuk. Hal ini setidaknya tercermin dari empat aspek. Pertama, penawaran dan penjualan sukuk belum melibatkan banyak bank syariah. Pada 2008 lalu, tiga agen penjual semuanya berasal dari perusahaan sekuritas. Pada 2009 ini, penjualan sukuk hanya melibatkan 1 bank syariah dari 13 agen penjual. Padahal, penerbitan sukuk bisa menjadi momentum untuk meningkatkan pangsa pasar bank syariah.
Kedua, pemerintah tampaknya belum terbersit untuk menyalurkan sebagian dana investor sukuk melalui bank syariah. Kecenderungan pemerintah memanfaatkan dana sukuk untuk menutup defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta kelebihan targetnya dialokasikan untuk menjadi standby-loan. Padahal, dengan indikasi financing to deposit ratio (FDR) yang berkisar 100 persen menunjukkan bahwa pengelolaan pembiayaan bank syariah benar-benar diserap sektor riil dan bank syariah berpotensi melakukan ekspansi pembiayaan.
Ketiga, akibat FDR yang berkisar 100 persen, bank syariah mengalami kesulitan modal lantaran juga harus memenuhi giro wajib minimum (GWM). Dalam hal ini, sukuk sesungguhnya berpotensi untuk menjadi solusi persoalan likuiditas yang dihadapi bank syariah. Persoalan likuiditas ini diyakini pula yang menjadi penyebab utama rendahnya penyerapan sukuk oleh bank syariah. Pasalnya, dengan FDR 100 persen, bahkan kerap kali melampaui 100 persen, ini berarti ada sebagian modal bank syariah yang disalurkan ke dalam pembiayaan. Inilah yang menyebabkan bank syariah mengalami tekanan likuiditas untuk menyerap sukuk.
Terakhir, ada dugaan bahwa bank syariah berhati-hati dalam membeli sukuk karena menjaga kehalalannya. Hal ini tidak lepas dari apa itikat dan tujuan awal pemerintah dalam menerbitkan sukuk. Bank syariah bisa jadi juga mencermati proyek apa yang dipilih pemerintah untuk dibiayai sukuk. Hal ini mengingat sukuk sesungguhnya bukan surat utang, melainkan instrumen investasi yang bergantung pada proyek yang menjadi dasar penerbitannya.
Sukuk, Instrumen Likuiditas Bank Syariah
Meski bank sentral telah melakukan sejumlah perubahan peraturan yang memperkenankan bank syariah dapat melakukan investasi pada sukuk, namun pada kenyataannya kesertaan bank syariah dalam menerima manfaat sukuk masih belum terasa. Di masa yang akan datang, penerbitan sukuk berimplikasi baik bagi bank syariah. Sukuk tidak saja dapat menjadi instrumen investasi bank syariah dalam menyalurkan dana pembiayaan, tetapi juga sekaligus dapat menjadi sumber likuiditas. Meski bank syariah dinyatakan tahan terhadap badai krisis, namun realitas menunjukkan bahwa bank syariah juga mengalami tekanan likuiditas dan membutuhkan instrumen likuiditas.
Ke depan, pemerintah perlu lebih komit lagi dalam mendorong pengembangan bank syariah dan sukuk serta harmonisasi keduanya. Sukuk berpotensi menjadi instrumen pengelola excess and lack of liquidity alternatif bagi bank syariah. Untuk itu, pengembangan sukuk tidak bisa dilepaskan dari bank syariah, begitu juga sebaliknya.. Dalam hal ini, pemerintah perlu memberi kesempatan yang lebih besar bagi bank syariah untuk ikut andil dalam pengembangan sukuk serta menerima manfaat dari keberadaan sukuk. Masing-masing memiliki keterkaitan dan saling membutuhkan dalam membangun sistem ekonomi Islam yang kaffah. Wallahu’alam bishowab.
Komentar
Posting Komentar