MENUJU REVITALISASI PERTANIAN ORGANIK (RADAR JEMBER, 28 FEBRUARI 2009)

Oleh: Naurah Najwa Hairrudin*

Dalam sebuah kuliah umum di Universitas Jember beberapa waktu lalu, Sri Sultan Hamengku Buwono X memberi paparan berjudul “Pembangunan Pertanian Berbasis Kearifan Lokal Untuk Menghadapi Pasar Global Demi Kemakmuran Rakyat”. Dikatakannya, salah satu cara untuk mengatasi kondisi pertanian Indonesia yang kini terpuruk adalah dengan kembali kepada Sistem Pertanian Organik (SPO) yang ditunjang dengan kearifan lokal.

Sri Sultan mengungkap, masyarakat Indonesia sejak dahulu telah mempraktekkan SPO yang didukung dengan kearifan lokal. Namun, dalam perjalanannya, kearifan lokal tadi diabaikan. Bahkan dianggap tidak sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Padahal, SPO sesungguhnya tidaklah demikian. SPO sejatinya adalah pertanian yang berangkat dari paradigma holistik dalam memandang alam semesta. Dengan cara pandang ini, manusia sebagai bagian dari alam semesta dituntut untuk mewujudkan tujuan terbesar dari kegiatan pertanian, yaitu untuk keberlanjutan alam semesta.

Jika disimak, paparan Sri Sultan sangat relevan dengan konteks kekinian dari sektor pertanian di Indonesia. Fenomena global warming, ketidakamanan produk pangan, dan sejumlah kegagalan dalam membangun ketahanan pangan memberi sinyal bagi manusia untuk lebih peduli lingkungan. Kesadaran akan bahaya yang ditimbulkan oleh pemakaian bahan kimia sintetis dalam pertanian menjelaskan betapa pentingnya revitalisasi SPO ke depan.

Definisi
Secara sederhana, SPO didefinisikan sebagai sebuah sistem budidaya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan-bahan kimia sintetis maupun rekayasa genetis. International Federation of Organic Agriculture Movements (IFOAM) mendefinisikan SPO sebagai sistem pertanian holistik yang mendukung dan mempercepat biodiversiti, siklus biologi, dan aktivitas biologi tanah. Dalam konteks ini, SPO tidak memperkenankan penggunaan Genetically Modified Organisme (GMO) dalam setiap tahapan pertanian organik. Ringkasnya, SPO adalah sistem pertanian yang menghindari penggunaan atribut kimiawi dan rekayasa genetis untuk menghindari degradasi sumber daya alam.

Jika ditelaah, SPO sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru. Sejak manusia mengenal bercocok tanam, sejak itu pula SPO secara tradisional telah diterapkan. Sayangnya, ketika ilmu pertanian berkembang dan populasi manusia mengalami ledakan, revolusi hijau yang diaplikasikan saat itu memberi efek samping terhadap keamanan pangan. Yang paling terlihat dampaknya adalah kerusakan struktur tanah dan berbagai derivasi pencemaran lainnya terhadap variabel sektor pertanian.

Dalam perkembangannya, kesadaran untuk mencari alternatif bercocok tanam yang dapat menghasilkan produk yang bebas dari cemaran bahan kimia sintetis serta menjaga lingkungan yang lebih sehat menjadi momentum untuk kebangkitan SPO modern. SPO modern tetaplah membutuhkan teknologi bercocok tanam, penyediaan pupuk, pengendalian hama dan penyakit, serta manajemen yang baik. Namun, secara umum, konsep SPO modern belum banyak dikenal dan masih banyak dipertanyakan. Sementara ini, penekanan lebih kepada meninggalkan pemakaian pestisida sintetis.

Di Indonesia
Pasar produk SPO dunia saat ini terus meningkat. Preferensi konsumen atas produk SPO terus bertambah seiring dengan kesadaran yang semakin tinggi akan kesehatan dan kelestarian alam. Secara global, produk SPO harus memenuhi persyaratan atribut aman dikonsumsi (food safety attributes), memiliki kandungan nutrisi tinggi (nutritional attributes), dan ramah lingkungan (eco-labelling attributes).

Indonesia memiliki potensi pertanian organik sangat besar. Luas lahan yang tersedia untuk pertanian organik di Indonesia sangat memadai. Mengacu data Badan Pusat Statistik (2000), dari 75,5 juta ha lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian, baru sekitar 25,7 juta ha yang telah diolah untuk sawah dan perkebunan.

Lebih jauh, pengembangan SPO di Indonesia sesungguhnya belum memerlukan struktur kelembagaan baru. Kelembagaan di sektor pertanian, seperti kelompok tani, tengkulak, koperasi, asosiasi atau korporasi, masih sangat relevan untuk digunakan. Untuk menjawab bagaimana revitalisasi SPO, maka pemerintah perlu menerbitkan kebijakan kondusif terhadap pembangunan SPO. Hal ini penting mengingat di negara lain, khususnya di negara-negara Eropa, Amerika Latin, dan Amerika Serikat, SPO merupakan sektor pangan yang paling cepat pertumbuhannya.

Go Organik 2010
Untuk mencapai target Go Organik 2010 yang dicanangkan pemerintah pusat, sudah selayaknya pemerintah daerah mengakselerasi kehadiran SPO. SPO adalah salah satu pilihan terbaik dalam produksi pertanian yang memungkinkan petani Indonesia menjaga ketahanan pangan rumah tangga dan memiliki penghasilan yang cukup sembari meregenerasi tanah, memperoleh kembali keanekaragaman hayati, dan menyediakan pangan bermutu bagi masyarakat.

Ke depan, sejalan dengan meningkatnya isu kesadaran konsumen akan keamanan pangan, perlindungan lingkungan, dan pemberdayaan petani, pemerintah daerah harus tanggap melakukan berbagai upaya promosi dan pengembangan SPO. Sektor pertanian dari hulu hingga hilir perlu didorong agar secara bertahap menerapkan sistem ini. Kegiatan-kegiatan produksi yang menjadi atribut SPO ---seperti pabrik pupuk organik di Kecamatan Pakusari, Kabupaten Jember, yang memanfaatkan limbah sampah rumah tangga sebagai bahan dasarnya --- perlu lebih ditingkatkan.

Tidak bisa dipungkiri, sektor pertanian memiliki peran besar dalam pembangunan perekonomian kita. Sektor ini tidak sekedar menjadi kontributor utama dalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, tetapi juga menjadi sarana penyerapan tenaga kerja, sumber penerimaan devisa melalui kegiatan ekspor, sumber pendapatan masyarakat, penyedia bahan pangan dan bahan baku industri, serta penanggulangan kemiskinan. Untuk itu, guna menjaga keberlangsungan sektor pertanian, sudah saatnya kita beralih pada SPO...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

Belajar dari Wu Da Ying (1) (Jawa Pos Radar Jember, Perspektif, 7 Juli 2017, Hlm. 21 & 31)