EDUCATION FOR ALL, KEKUATAN PERUBAHAN EKONOMI (Radar Jember, .......... 2009)
Oleh: Khairunnisa Musari (Mahasiswa S3 Ilmu Ekonomi Islam, Unair, Surabaya)
Pendidikan adalah investasi. Pendidikan adalah kekuatan perubahan ekonomi. Kuantitas dan kualitas pendidikan yang baik akan meningkatkan produktivitas yang pada gilirannya akan memacu pertumbuhan ekonomi suatu negara. Oleh karena itu, upaya perbaikan pendidikan yang konsisten serta berkesinambungan merupakan keniscayaan untuk membangun ekonomi bangsa ini.
Sepekan terakhir, topik education for all menjadi berita di sejumlah media lokal maupun nasional. Radar Jember, 18 Januari 2009, juga memberitakan betapa topik ini menjadi perhatian serius Dinas Pendidikan (Dispendik) Kabupaten Jember. Keinginan untuk memberikan pendidikan yang merata kepada semua warga wajib belajar dimanifestasikan dengan penyediaan sarana dan prasarana yang memadai bagi siswa sekolah umum, termasuk pula penyediaan keperluan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
Secara nasional, dunia pendidikan Indonesia memang menghadapi tantangan yang kian besar dan berat. Dibandingkan dengan negara-negara tetangga sesama anggota ASEAN, kondisi pendidikan Indonesia masih relatif tertinggal. Mengacu laporan United Nations Development Programme (UNDP), indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia tahun 2007 berada pada urutan ke-108 dari 177 negara.
Dari data Bappenas, rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas pada awal 2004 adalah 7,1 tahun. Proporsi penduduk usia 10 tahun ke atas yang berpendidikan jenjang menengah ke atas masih sekitar 36,2 persen. Meski angka partisipasi sekolah (APS) kelompok usia 7-12 tahun sudah mencapai 96,4 persen., tetapi untuk penduduk usia 13-15 tahun baru 81,0 persen. Sementara, APS penduduk usia 16-18 tahun hanya 51,0 persen. Untuk pendidikan tinggi, angka partisipasi kotor (APK) sampai 2007 hanya mencapai 17,25 persen.
Di sisi lain, peningkatan jumlah anak putus sekolah di Indonesia pada 2006 sekitar 9,7 juta jiwa. Menurut Komnas Perlindungan Anak, jumlah anak putus sekolah pada 2007 mencapai 11,7 juta jiwa atau meningkat sekitar 20 persen. Jumlah itu diyakini bertambah tahun ini, mengingat keadaan ekonomi nasional yang memburuk.
Penyebab
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2003 menunjukkan bahwa faktor ekonomi (75,7 persen) merupakan alasan utama anak putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan, baik karena tidak memiliki biaya sekolah (67,0 persen) maupun karena harus bekerja (8,7 persen). Untuk jenjang pendidikan menengah, banyak lulusan yang terpaksa lebih memilih membantu ekonomi keluarga ketimbang melanjutkan jenjang pendidikan.
Data Statistik Pendidikan 2006 menunjukkan, faktor utama penyebab kesenjangan akses pendidikan adalah faktor ekonomi dan geografis. Untuk faktor ekonomi, alasan utama anak tidak sekolah karena ketidakmampun orangtua membiayai sekolah atau mereka harus bekerja. Untuk masalah geografis, faktor keterpencilan wilayah masih menjadi persoalan klasik. Anak-anak di wilayah terpencil sulit menjangkau fasilitas pendidikan yang umumnya agak jauh dari tempat tinggal mereka.
Secara garis besar, permasalahan klasik yang masih mendera dunia pendidikan kita saat ini meliputi: minimnya pendidik berkualitas dan persebarannya yang belum merata, rendahnya kesejahteraan pendidik, terbatasnya sarana, prasarana dan fasilitas pendukung kegiatan pembelajaran serta penyediaan biaya operasional pendidikan yang belum memadai. Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi pendidikan yang menjadi harapan, ternyata masih belum mampu menciptakan manajemen layanan pendidikan yang efektif dan efisien. Penyebabnya adalah ketidakjelasan pembagian peran dan tanggung jawab antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota serta minimnya kontribusi pemerintah daerah dalam penyediaan anggaran pendidikan. Dampaknya, liberalisasi pendidikan menjadi fenomena yang kian nyata. Pendidikan kian mahal dan sulit dijangkau. Fasilitasi pendidikan bukan lagi untuk memenuhi tanggung jawab sosial, tetapi sudah menjadi industrialisasi.
Kekuatan membangun ekonomi
Dalam perspektif ekonomi, pendidikan terbukti dapat memacu pertumbuhan suatu negara. Peningkatan kuantitas dan kualitas pendidikan akan meningkatkan produktivitas yang nantinya akan meningkatkan pendapatan. Pada gilirannya, kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat dapat diturunkan sehingga kesejahteraan dapat terwujud.
Tidak bisa dimungkiri, pendidikan dan ekonomi sesungguhnya adalah dua variabel terkait dan tidak terpisahkan. Masing-masing bak mata rantai yang dapat membentuk lingkaran kesejahteraan sekaligus kemiskinan. Akibat faktor ekonomi, pendidikan menjadi sesuatu yang sulit diraih. Akibat rendahnya pendidikan, kesejahteraan ekonomi berpeluang lebih besar untuk sulit dicapai.
Oleh karena itu, cukup dipahami jika pendidikan dapat menjadi dasar kekuatan membangun ekonomi. Pendidikan menjadi sebuah prasyarat bukan sekedar untuk membuka lebih besar peluang untuk memperoleh pekerjaan dan upah yang diharapkan. Tetapi, pendidikan diharapkan juga dapat membentuk sumber daya insani yang memiliki sikap, tekad kemandirian, ketahanan yang tinggi, memiliki mental spiritual, dan moralitas untuk mengembangkan dirinya agar hidup layak dan harmonis dalam memenuhi kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin.
Dengan demikian, pemerintah ke depan harus melakukan restrukturisasi dan reorientasi untuk memperbaiki sistem agar seluruh anak Indonesia, terlebih yang memiliki kebutuhan khusus, dapat mengecap pendidikan yang layak. Yang perlu disadari, pendidikan jangan melulu diukur dengan jenjang akademis formal semata. Tetapi, pendidikan juga perlu diiringi dengan transformasi seluruh komponen di dalamnya untuk berubah dan mengubah wajah pendidikan Indonesia yang lebih humanis, bermoralitas, dan mengedepankan kesejahteraan bersama. Lebih jauh lagi, kita harus yakin bahwa pendidikan akan membuat anak Indonesia di masa yang akan datang menjadi lebih baik dan berdaya untuk mengangkat derajat dan martabat bangsa ini.
Komentar
Posting Komentar