GLOBALISASI UNTUK NASIONALISME (Surabaya Post, 24 April 2009)

Oleh: Khairunnisa Musari (Mahasiswa S3 Ekonomi Islam Unair)

“… the very nature of economics is rooted in nationalism... the aspirations of the developing countries are more for national independence and national self-respect than just for bread to eat...”. (Joan Robinson, 1964)

Perekonomian dunia dan Indonesia saat ini tengah menghadapi badai krisis. Krisis keuangan di Amerika Serikat (AS) berimbas menjadi krisis keuangan global. Penghambaan para elit dan pengambil kebijakan terhadap paradigma ekonomi barat kini mulai tergoyahkan. Globalisasi yang dulu diagungkan kini disadari terlampau kebablasan.

Sesungguhnya globalisasi merupakan sunnatullah. Globalisasi yang berwujud pasar-bebas dapat menjadi peluang, tetapi bisa juga menjadi ancaman. Itu semua tergantung pada bagaimana sebuah negara melaksanakan tata kelola perpolitikan dan perekonomiannya. Namun realitas menunjukkan berbagai ketimpangan dunia saat ini sebagian besar adalah buah dari globalisasi sebagaimana yang berlangsung saat ini.

Dalam Konteks Kekinian
Dalam Republik Pasar Bebas (2006), Susan George mengatakan bahwa globalisasi saat ini merupakan buah pemikiran dari kaum neoliberal. Kaum neoliberal melahirkan ide-ide globalisasi yang kemudian diwujudkan dengan hal-hal seperti liberalisasi dan privatisasi. Pemikiran-pemikiran ini lahir dari kebijakan Inggris-Amerika Serikat (AS) pada masa pemerintahan Margareth Thatcher-Ronald Reagen pada 1980-an. Pemikiran ini di cetuskan oleh Milton Friedman, penasihat ekonomi Presiden AS Ronald Reagen, dan Frederick High, penasihat ekonomi Perdana Menteri (PM) Inggris Margaret Thatcher. Friedman adalah murid Friederich von Hayek dari Universitas Chicago yang merupakan embrio neoliberalisme. Paham neoliberalisme nyatanya banyak mengalami kegagalan. Liberalisme dengan senjata pamungkasnya free-market dan free-trade telah melahirkan banyak ketimpangan struktur ekonomi pada lapisan masyarakat dunia.

Lebih jauh, paham neoliberalisme sesungguhnya merupakan anak dari paham neoklasikal yang diusung oleh Adam Smith. Dalam paham neoklasikal, pasar dinyatakan sebagai mekanisme permintaan dan penawaran yang diasumsikan mampu melakukan self-regulating dan self-correcting melalui an invisible-hand. Namun, pasar sejatinya juga mengandung market failures yang tidak cukup mampu melayani kepentingan masyarakat. Hal ini tercermin salah satunya dengan micro-macro ils atau micro-macro rifts, di mana banyak terjadi ketidaksesuaian ilmu ekonomi mikro dan makro dalam menstransformasikan kepentingan individu ke arah kepentingan publik. Akibatnya, efisiensi ekonomi yang dikembangkan berdasar tataran mikro tidak klop, bahkan kerap bertentangan dengan efisiensi ekonomi pada tataran makro.

Di Indonesia, pengajaran ilmu ekonomi saat ini masih sangat tergantung dengan pemikiran neoklasikal. Pemikiran ini bertitik tolak dari paham self-interest, yaitu maksimisasi gain dan minimisasi sacrifice sesuai perilaku homo-economicus. Pemikiran neoklasikal menyandarkan diri pada paham kompetitivisme yang sangat kuat sehingga membentuk pola pikir self-fulfilling presumption secara berkepanjangan. Hasilnya, sebagaimana yang kita lihat saat ini, paham kompetitivisme mendorong semangat bertarung, sehingga menimbulkan “restless society” ataupun “stressful society”.

Dalam Ekonomi Islam
Dalam ekonomi Islam, globalisasi yang berwujud pasar bebas sesungguhnya sudah sejak lama terjadi. Sejarah membuktikan bahwa praktek globalisasi dan pasar-bebas sudah terjadi sejak lampau dan bukan baru terjadi hari ini. Dari proses itulah kita bisa menyaksikan bagaimana Islam menyebar ke berbagai belahan dunia.

Jika kita membaca kisah Rasulullah SAW, perdagangan merupakan pekerjaan yang digeluti Rasulullah sejak kecil. Bahkan kesaksian tanda-tanda kenabian Beliau oleh seorang Pendeta juga terjadi kala Rasulullah sedang melakukan perjalanan berdagang. Dari sini, kita bisa melihat bahwa praktek globalisasi dan pasar-bebas sudah terjadi bahkan sebelum Rasulullah diangkat menjadi Nabi. Setelah Rasulullah diangkat menjadi Nabi, barulah nilai-nilai etik-religius dari Islam masuk ke dalam ranah perdagangan dan bidang lainnya.
Dalam konteks kekinian, praktek globalisasi dan pasar-bebas di masa lampau berbeda dengan praktek globalisasi dan pasar-bebas saat ini. Globalisasi dan pasar-bebas di masa lampau tercipta karena mekanisme alamiah penawaran dan permintaan. Sedangkan paradigma globalisasi dan pasar-bebas sebagaimana yang kita pahami saat ini adalah buah dari pemikiran kaum Neoklasikal untuk melegitimasi berbagai kepentingannya. Paham globalisasi dan pasar-bebas dalam konteks kekinian sesungguhnya dicipta sebagai pembenaran terhadap kebijakan politik dan ekonomi dari paham mereka yang kerap tidak berkeadilan.

Dalam ekonomi Islam, Rasulullah mengajarkan agar segala perilaku ekonomi dalam memenuhi kesejahteraan haruslah untuk kebahagiaan di dunia dan akherat. Titik tolak ini tentu akan membawa proses dan dampak di depan yang berbeda. Itu pula sebabnya, kesejahteraan dalam Islam dimaknai sebagai “well-being” dan bukan “welfare”. Untuk menciptakan “well-being”, keadilan merupakan keniscayaan yang harusnya sudah inheren dalam segala perilaku ekonomi yang Islami.

Globalisasi untuk Nasionalisme
Globalisasi sejatinya bukan dimaknai dengan terbukanya pasar tanpa batas sehingga seluruh komoditi ekonomi bebas dimasuki asing. Globalisasi seharusnya dipahami sebagai kebebasan untuk melakukan pertukaran kepentingan ekonomi yang saling menguntungkan. Jika terdapat praktek transaksi ekonomi yang merugikan, salah satu pihak seyogyanya diberi kebebasan untuk melindungi kepentingan domestiknya.

Untuk bisa melindungi kepentingan domestik, pembangunan ekonomi Indonesia hendaknya melakukan pemihakan. Pembangunan perekonomian rakyat mempunyai peran sebagai sebuah strategi pembangunan. Membangun fundamental ekonomi dalam negeri adalah sebuah keharusan. Hanya dengan demikian, perekonomian Indonesia lebih mampu mandiri, tidak rapuh, dan tidak tergantung pada perekonomian luar negeri.

Dengan dasar pemihakan dan peran strategi tersebut, arah kebijakan ekonomi nasional harus ditujukan kepada sektor-sektor yang sarat dengan kepentingan rakyat, terkait dengan potensi dan kapasitas rakyat, serta sesuai dengan tersedianya sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) nasional. Sektor yang menjadi pilihan strategis hendaknya dipilih yang berbasis SDM dan SDA dalam negeri (domestic resource-based), bertitik sentral pada rakyat (people-centered), dan mengutamakan kepentingan rakyat (putting people first). Wallahu’alam bishawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)