Perdesaan, Penjaga Pertumbuhan Ekonomi saat Pandemi (Portal Jember, Esai, 1 Oktober 2020)
Oleh: Abdul Mu'is dan Khairunnisa Musari
Dampak pandemi terhadap perekonomian semakin
masif. Stimulus di perdesaan dibutuhkan untuk
menyelamatkan sektor pangan dan berbagai ikutannya.
Sektor pangan
selain memenuhi final needs bagi rumah
tangga, juga menjadi input bagi sejumlah sektor usaha. Sementara
ini, pilihan kebijakan pemerintah masih berupa bantuan sosial (bansos), relaksasi
kredit, dan subsidi bunga kredit untuk sektor pertanian.
Selama pandemi, masyarakat perdesaan diresahkan salah
satunya oleh ketidaksediaan pupuk bersubsidi. Setidaknya di wilayah
Bondowoso, Jember, dan sekitarnya, para
petani dihadapkan pada mahalnya harga pupuk di pasaran.
Masalah ketersediaan pupuk bersubsidi
sebenarnya bukan masalah baru. Namun, situasi pandemi semakin menggelisahkan. Selain harganya yang melambung tinggi, juga stok
pupuk di tingkat pengecer menipis.
Selain masalah distribusi,
tampaknya kebijakan Kartu Tani menjadi salah satu pemicu soalan. Kartu ini diberlakukan untuk mengakses pupuk bersubsidi. Tujuannya baik, agar penyaluran tepat sasaran dan sesuai alokasi pemerintah.
Namun, implementasinya tentu perlu dikawal, Pada tataran inilah kerap
terjadi penyimpangan.
Dengan Kartu Tani, petani tidak bisa membeli pupuk bersubsidi melebihi
kebutuhan. Kebijakan ini diberlakukan bertahap dan ditarget
rampung di seluruh wilayah Pulau Jawa pada akhir September 2020.
Sebagaimana diketahui, kebijakan pupuk bersubsidi adalah program ketahanan pangan nasional melalui peningkatan produksi komoditas
pertanian.
Pada situasi pandemi, ketahanan pangan menjadi salah satu diskursus publik,
terutama setelah peringatan Food and Agriculture Organization (FAO) bahwa 27 negara terancam
krisis pangan karena pandemi.
Petani dan Kemiskinan
di Perdesaan
Masalah ketahanan pangan perdesaan tentu saja bukan hanya masalah pupuk
bersubsidi. Petani, sebagai pelaku produksi bahan pangan, justru menjadi pihak
yang paling rentan dalam ancaman krisis ini. Begitu pula penduduk miskin perdesaan.
Jumlah penduduk
miskin daerah perdesaan pada Maret 2020 tercatat sebanyak 15,26 juta orang, naik
333,9 ribu orang dari 14,93 juta orang pada September 2019.
Di perkotaan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2020 sebanyak 11,16 juta
orang, naik sebanyak 1,3 juta orang dari 9,86 juta orang pada September 2019.
Saat pandemi, pertambahan
jumlah penduduk miskin di perkotaan jauh lebih besar daripada di perdesaan. Adanya
kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diduga menjadi pemicu utama.
Padahal, sebelum
pandemi, sejak 1990-an, disparitas kemiskinan desa-kota menganga. Di perkotaan,
penurunan jumlah penduduk miskin lebih cepat daripada perdesaan.
Demikian pula dengan Gini Ratio. Maret 2020 tercatat Gini Ratio di
daerah perkotaan sebesar 0,393, meningkat dibanding Gini Ratio September 2019 yang
sebesar 0,391.
Sementara itu, Gini Ratio di perdesaan pada Maret 2020 tercatat 0,317,
meningkat dibanding Gini Ratio September 2019 yang sebesar 0,315. Meski
sama-sama terjadi peningkatan Gini Ratio, disparitas di perkotaan lebih tinggi
daripada di perdesaan.
Petani dan kemiskinan memang menjadi ironi bagi perdesaan. Namun
demikian, secara fundamental, perdesaan sejatinya adalah tulang punggung
perekonomian nasional.
Pandemi menjadi momentum bagi pemerintah untuk memberi stimulus bagi
perdesaan guna menjaga pertumbuhan ekonomi.
Salah satu wujudnya adalah memprioritaskan anggaran untuk ketersediaan
berbagai input produksi perdesaan yang berorientasi pada ketahanan ekonomi dan
pangan.
Pandemi, Momentum
Kebangkitan Desa
Saat pandemi, perdesaan adalah penjaga pertumbuhan
ekonomi. Meski mobilitas perdesaan tidak setinggi perkotaan, namun kebijakan
pembatasan sosial relatif minim.
Pembatasan sosial di perdesaan umumnya diberlakukan
ketika banyak warga asli yang berada di perkotaan melakukan arus balik ke
perdesaan.
Di satu sisi, hal ini menjadikan perdesaan rentan
terhadap penyebaran Covid-19. Namun, jika pemerintah desa menerbitkan kebijakan
untuk mencegah penyebaran, tentu hal tersebut dapat mereduksi risiko yang ada.
Di sisi lain, ada potensi yang bisa dikembangkan
dengan bermunculannya warga pendatang ke perdesaan. Yaitu terjadi transfer
informasi, pengetahuan, keterampilan, dan teknologi bagi perdesaan.
Salah satu potensi kelembagaan desa yang layak untuk diberdayakan saat
pandemi adalah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan lumbung desa. Keduanya
adalah ujung tombak ketahanan ekonomi dan pangan. Ikutannya tidak hanya untuk
ekonomi perdesaan, tetapi juga ekonomi nasional.
Potensi lain yang harus dikembangkan adalah teknologi. Digitalisasi
adalah keniscayaan untuk mentransformasi proses produksi di perdesaan.
Selain akan membantu mengurangi resiko penyebaran Covid-19, juga
teknologi pertanian akan membantu penguatan kapasitas petani dan sektor
pertanian.
Juga, akan membantu percepatan peningkatan hasil produksi pertanian.
Ketika ekonomi perdesaan menggeliat, pada saat itulah perdesaan mengawal
pertumbuhan ekonomi nasional. Sekaligus mengawal ketahanan pangan nasional.
Wallahua’lam bish showab.
*Mahasiswa Prodi
Ekonomi Syariah FEBI IAIN Jember
Komentar
Posting Komentar