Omnibus Law, Peluang dan Tantangan Sukuk Daerah (Portal Jember, Pikiran Rakyat Media Network, Esai, 5 Desember 2020)
Salah satu muatan aturan dalam Undang-Undang (UU)
Cipta Kerja adalah Perubahan UU Nomor 9 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas
UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang telah memasukan sukuk
daerah sebagai instrumen pembiayaan infrastruktur dan/atau investasi yang dapat
diterbitkan kepala daerah.
Oleh
karena itu, pemerintah daerah kini kian memiliki landasan hukum yang kuat untuk
menggunakan sukuk daerah sebagai instrumen pembiayaan dan/atau investasi.
Demikian
salah satu bahasan dari Dr. Taufik Hidayat, M.Ec, Direktur Jasa Keuangan
Syariah Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) saat saya
mendampingi beliau sebagai moderator dalam webinar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Islam (FEBI) IAIN Madura bekerjasama dengan Komisariat Ikatan Ahli Ekonomi
Islam Indonesia (IAEI) IAIN Madura.
KNEKS
memang memiliki kepentingan untuk menyampaikan hal tersebut.
Sebagai wadah koordinasi, sinkronisasi, dan sinergi arah
kebijakan dan program strategis pembangunan nasional di sektor ekonomi dan keuangan syariah, KNEKS diharapkan
mewujudkan quick wins sektor ekonomi
dan keuangan syariah yang diantaranya berupa penerbitan sukuk daerah.
Alternatif
Pembiayaan
Saat awal dibentuknya KNEKS yang saat itu masih
bernama Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS), sukuk daerah menjadi salah
satu agenda yang diharapkan pemerintah untuk dikawal Manajemen Eksekutif KNKS.
Sebagaimana diketahui, pembiayaan pembangunan di daerah
selama ini cenderung mengandalkan penerimaan transfer yang bersumber dari
pemerintah pusat daripada pendapatan daerahnya sendiri.
Sukuk daerah digadang menjadi alternatif untuk
mengatasi keterbatasan anggaran dalam mendorong akselerasi pembangunan daerah.
Secara
teoretis, sukuk berpotensi untuk menghindari ketergantungan terhadap utang. Jika
obligasi menggunakan pendekatan utang, sukuk menggunakan pendekatan investasi.
Opsi
penerbitan sukuk jelas lebih baik daripada opsi mencari pinjaman.
Sukuk
menyerap dan mendayagunakan potensi dana menganggur, baik di dalam maupun luar
negeri, untuk membiayai proyek-proyek pemerintah pusat maupun daerah.
Selain
penerbitannya harus berbasis underlying
asset, sukuk dituntut untuk menyalurkan dana pada sektor riil melalui
pembiayaan infrastruktur atau proyek fisik lainnya.
Penerbitan
sukuk daerah sejatinya akan mengakselerasi inklusivitas pembangunan dan
diversifikasi instrumen pasar modal serta meningkatkan transparansi pengelolaan
keuangan dan pembangunan di daerah.
Banyak daerah yang sebenarnya secara finansial baik
dan memiliki kemampuan investasi.
Namun, banyak belanja modal daerah yang belum
berorientasi investasi untuk pembangunan di wilayahnya.
Untuk menerbitkan sukuk daerah, Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) mewajibkan pemerintah daerah menyampaikan Pernyataan
Pendaftaran.
Selain
itu, OJK juga mensyaratkan pemerintah daerah memperoleh persetujuan Kementerian
Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD).
Untuk aturan, OJK sudah berinisiatif menetapkan tiga Peraturan
OJK (POJK) tentang obligasi daerah dan/atau sukuk daerah untuk meningkatkan
sumber pembiayaan pembangunan.
Yaitu, POJK Nomor 61/POJK.04/2017 tentang Dokumen
Penyertaan Pendaftaran dalam Rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah dan/atau
Sukuk Daerah.
Lalu, POJK Nomor 62/POJK.04/2017 tentang Bentuk dan
Isi Prospektus dan Prospektus Ringkas dalam Rangka Penawaran Umum Obligasi
Daerah dan/atau Sukuk Daerah.
Juga, POJK
Nomor 63/POJK.04/2017 tentang Laporan dan Pengumuman Emiten Penerbit Obligasi
Daerah dan/atau Sukuk Daerah.
Dengan tiga POJK tersebut, Pemerintah Daerah tidak
lagi hanya mengandalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan
sebagai sumber pendapatan daerah, tapi juga dari pasar modal melalui penerbitan
obligasi daerah dan/atau sukuk daerah.
Tantangan
Sukuk Daerah
Kehadiran Omnibus Law UU Cipta Kerja semakin melegitimasi untuk
diterbitkannya sukuk daerah.
Namun demikian, tantangan yang dihadapi juga tidak sedikit.
Tantangan terbesar sejatinya adalah pada tataran teknis.
Selain kompleksitas birokrasi penerbitan, juga kelembagaan daerah
belum sebaik dan sesiap pemerintah pusat, utamanya yang terkait dengan
infrastruktur sumber daya manusia (SDM).
Tidak hanya masalah kompetensi dan kapasitas, tetapi juga masalah
literasi.
Selain itu, bagi pemerintah daerah, lazimnya pendanaan dari pasar
modal cenderung lebih mudah dilakukan oleh badan usaha milik daerah (BUMD).
Target untuk merealisasikan penerbitan sukuk daerah juga tidak boleh
hanya berhenti pada penerbitan semata. KNEKS dan pemerintah pusat juga harus
memastikan daerah mampu mengelola dana dan risiko hingga jatuh tempo.
Jelas, penerbitan sukuk daerah akan menjadi agenda berat dan
melelahkan.
Namun, agenda ini sejatinya bukan hanya menjadi tanggung jawab KNEKS,
pemerintah pusat atau pemerintah daerah.
Tetapi, menjadi tanggung jawab kita semua, utamanya para penggiat
ekonomi dan keuangan syariah bersama jaringan asosiasi-asosiasinya maupun
perguruan tinggi-perguruan tinggi yang memiliki program studi rumpun ekonomi
syariah.
Tentu saja yang kita harapkan sukuk daerah dapat menjadi jawaban
dalam membantu daerah mengatasi
keterbatasan anggaran guna mendorong akselerasi pembangunan.
Dan bukan berujung pada gagal bayar yang kemudian menjadi beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena pemerintah pusat harus menalangi.
Wallahua’lam bish
showab.
Komentar
Posting Komentar