Omnibus Law, Peluang dan Tantangan Sukuk Daerah (Portal Jember, Pikiran Rakyat Media Network, Esai, 5 Desember 2020)



https://portaljember.pikiran-rakyat.com/opini/pr-161059765/omnibus-law-peluang-dan-tantangan-sukuk-daerah

Oleh: Khairunnisa Musari*

Salah satu muatan aturan dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja adalah Perubahan UU Nomor 9 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang telah memasukan sukuk daerah sebagai instrumen pembiayaan infrastruktur dan/atau investasi yang dapat diterbitkan kepala daerah.

Oleh karena itu, pemerintah daerah kini kian memiliki landasan hukum yang kuat untuk menggunakan sukuk daerah sebagai instrumen pembiayaan dan/atau investasi.

Demikian salah satu bahasan dari Dr. Taufik Hidayat, M.Ec, Direktur Jasa Keuangan Syariah Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) saat saya mendampingi beliau sebagai moderator dalam webinar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) IAIN Madura bekerjasama dengan Komisariat Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) IAIN Madura.

KNEKS memang memiliki kepentingan untuk menyampaikan hal tersebut.

Sebagai wadah koordinasi, sinkronisasi, dan sinergi arah kebijakan dan program strategis pembangunan nasional di sektor ekonomi dan keuangan syariah, KNEKS diharapkan mewujudkan quick wins sektor ekonomi dan keuangan syariah yang diantaranya berupa penerbitan sukuk daerah.

Alternatif Pembiayaan

Saat awal dibentuknya KNEKS yang saat itu masih bernama Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS), sukuk daerah menjadi salah satu agenda yang diharapkan pemerintah untuk dikawal Manajemen Eksekutif KNKS.

Sebagaimana diketahui, pembiayaan pembangunan di daerah selama ini cenderung mengandalkan penerimaan transfer yang bersumber dari pemerintah pusat daripada pendapatan daerahnya sendiri.

Sukuk daerah digadang menjadi alternatif untuk mengatasi keterbatasan anggaran dalam mendorong akselerasi pembangunan daerah.

Secara teoretis, sukuk berpotensi untuk menghindari ketergantungan terhadap utang. Jika obligasi menggunakan pendekatan utang, sukuk menggunakan pendekatan investasi.

Opsi penerbitan sukuk jelas lebih baik daripada opsi mencari pinjaman.

Sukuk menyerap dan mendayagunakan potensi dana menganggur, baik di dalam maupun luar negeri, untuk membiayai proyek-proyek pemerintah pusat maupun daerah.

Selain penerbitannya harus berbasis underlying asset, sukuk dituntut untuk menyalurkan dana pada sektor riil melalui pembiayaan infrastruktur atau proyek fisik lainnya.

Penerbitan sukuk daerah sejatinya akan mengakselerasi inklusivitas pembangunan dan diversifikasi instrumen pasar modal serta meningkatkan transparansi pengelolaan keuangan dan pembangunan di daerah.

Banyak daerah yang sebenarnya secara finansial baik dan memiliki kemampuan investasi.

Namun, banyak belanja modal daerah yang belum berorientasi investasi untuk pembangunan di wilayahnya.

Untuk menerbitkan sukuk daerah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mewajibkan pemerintah daerah menyampaikan Pernyataan Pendaftaran.

Selain itu, OJK juga mensyaratkan pemerintah daerah memperoleh persetujuan Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Untuk aturan, OJK sudah berinisiatif menetapkan tiga Peraturan OJK (POJK) tentang obligasi daerah dan/atau sukuk daerah untuk meningkatkan sumber pembiayaan pembangunan.

Yaitu, POJK Nomor 61/POJK.04/2017 tentang Dokumen Penyertaan Pendaftaran dalam Rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah.

Lalu, POJK Nomor 62/POJK.04/2017 tentang Bentuk dan Isi Prospektus dan Prospektus Ringkas dalam Rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah.

Juga,  POJK Nomor 63/POJK.04/2017 tentang Laporan dan Pengumuman Emiten Penerbit Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah.

Dengan tiga POJK tersebut, Pemerintah Daerah tidak lagi hanya mengandalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan sebagai sumber pendapatan daerah, tapi juga dari pasar modal melalui penerbitan obligasi daerah dan/atau sukuk daerah.   

Tantangan Sukuk Daerah

Kehadiran Omnibus Law UU Cipta Kerja semakin melegitimasi untuk diterbitkannya sukuk daerah.

Namun demikian, tantangan yang dihadapi juga tidak sedikit. Tantangan terbesar sejatinya adalah pada tataran teknis.

Selain kompleksitas birokrasi penerbitan, juga kelembagaan daerah belum sebaik dan sesiap pemerintah pusat, utamanya yang terkait dengan infrastruktur sumber daya manusia (SDM).

Tidak hanya masalah kompetensi dan kapasitas, tetapi juga masalah literasi.

Selain itu, bagi pemerintah daerah, lazimnya pendanaan dari pasar modal cenderung lebih mudah dilakukan oleh badan usaha milik daerah (BUMD).

Target untuk merealisasikan penerbitan sukuk daerah juga tidak boleh hanya berhenti pada penerbitan semata. KNEKS dan pemerintah pusat juga harus memastikan daerah mampu mengelola dana dan risiko hingga jatuh tempo.

Jelas, penerbitan sukuk daerah akan menjadi agenda berat dan melelahkan.

Namun, agenda ini sejatinya bukan hanya menjadi tanggung jawab KNEKS, pemerintah pusat atau pemerintah daerah.

Tetapi, menjadi tanggung jawab kita semua, utamanya para penggiat ekonomi dan keuangan syariah bersama jaringan asosiasi-asosiasinya maupun perguruan tinggi-perguruan tinggi yang memiliki program studi rumpun ekonomi syariah.

Tentu saja yang kita harapkan sukuk daerah dapat menjadi jawaban dalam membantu daerah mengatasi keterbatasan anggaran guna mendorong akselerasi pembangunan.

Dan bukan berujung pada gagal bayar yang kemudian menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena pemerintah pusat harus menalangi.

Wallahua’lam bish showab.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)