Belajar dari Aceh, Pembiayaan Syariah untuk Pembangunan Daerah (Portal Jember, Pikiran Rakyat Media Network, Esai, 8 Oktober 2020)
https://portaljember.pikiran-rakyat.com/opini/pr-16812784/belajar-dari-aceh-pembiayaan-syariah-untuk-pembangunan-daerah
Oleh: Khairunnisa Musari*
Dalam Festival Ekonomi Syariah (FESyar) Regional
Jawa menuju Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) 2020 tanggal 5-10
Oktober 2020, salah satu diskusi yang mencuat dalam Sharia Forum adalah Aceh
yang tengah menginisiasi cash waqf linked sukuk (CWLS) untuk membiayai
pembangunan.
Sebagaimana diketahui, Aceh akan menjadi provinsi
pertama yang mengadopsi CWLS setelah penerbitan perdana CWLS Seri SW001 oleh
pemerintah pusat bulan Maret 2020 lalu.
CWLS Aceh ditujukan untuk program wakaf produktif guna
penguatan usaha mikro kecil menengah (UMKM). Terdapat dua proyek yang akan
digarap, yaitu bidang kargo dan agro.
Pada bidang kargo, dana CWLS direncanakan akan dibelikan
pesawat kargo untuk mengangkut berbagai komoditas ekspor unggulan Aceh,
terutama yang tidak bisa tahan lama di perjalanan.
Pada bidang argo, dana CWLS direncanakan untuk
pengembangan usaha komoditas berbasis pertanian atau perkebunan. Termasuk
diantaranya untuk pembelian lahan dan membangun rumah sederhana untuk petani
atau pekebun.
Melalui CWLS, para mauquf ‘alayh juga akan
menerima manfaat dari diskon dan kupon berwujud gaji dan berbagai layanan
kesehatan, pendidikan, serta berbagai program sosial lainnya.
KPBU Syariah
Selain CWLS, Aceh juga sudah mengimplementasikan skema
kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) berbasis syariah.
Selain sebagai Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD) Syariah
pertama di Indonesia, RSUD dr. Zainoel Abidin di Banda Aceh ternyata mendanai pengembangan
prasarana dan sarana melalui skema KPBU syariah.
Proyek ini menjadi proyek KPBU pertama di Aceh, proyek
KPBU pertama untuk sektor kesehatan, sekaligus juga proyek KPBU syariah pertama
di Indonesia
KPBU umumnya dikenal dengan istilah public private partnership (PPP). PPP adalah skema penyediaan infrastruktur publik yang melibatkan
peran swasta.
PPP diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama
Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Insfrastruktur. Perpres ini
kemudian diperbarui menjadi Perpres Nomor 38 Tahun 2015.
Semangat skema KPBU sejatinya sejalan
dengan prinsip ekonomi syariah. Antara pemerintah dan badan usaha berbagi tanggung jawab dan risiko.
Selain itu, kontrak KPBU secara alamiah bebas dari spekulasi, dapat menggunakan
lembaga keuangan syariah (LKS), dan proyek investasi yang berkaitan dengan alkohol,
narkoba, judi, dan hal lain yang dilarang syari’at tidak menjadi fokus pada
sektor KPBU.
Dari sisi pemerintah, skema ini banyak memberi manfaat. Terutama dalam membantu
mengurangi tekanan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bagi pemerintah
pusat maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bagi pemerintah
daerah.
Di RSUD dr. Zainoel Abidin, pembangunan gedung dan penyediaan peralatan dilakukan oleh Badan Usaha
Pelaksana (BUP) menggunakan akad ijarah maushufah fi al-zimmah (IMFZ)
dengan karakter ijarah muntahiya bit tamlik (IMBT).
Selanjutnya, akad kafalah atau kafalah bil ujrah digunakan. Dalam
hal ini, PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) menjadi penjamin (kafiil)
dengan BUP sebagai penerima jaminan (makful lahu) dan pemerintah Aceh
sebagai terjamin (makful ‘anhu).
Pada saat terjadi klaim penjaminan, PT PII membayarkan kewajiban (makful
bih) Gubernur Aceh selalu Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) kepada
BUP. Untuk pembayaran tersebut, PT PII berhak memperoleh dain kafalah
dari PJPK.
Untuk memperoleh pembiayaan dari LKS, BUP dapat menggunakan akad berbasis
bagi hasil seperti musyarakah, mudharabah atau musyarakah mutanaqisah
(MMQ).
Juga, dapat menggunakan akad jual beli dengan istisna’ atau akad
berbasis sewa dengan IMFZ berkarakter IMBT.
Pada KPBU syariah RSUD dr. Zainoel
Abidin, tanah dimiliki
dan dicatat sebagai aset PJPK. BUP menyediakan gedung dan fasilitasnya. Sedangkan
peralatan kesehatan disewakan kepada PJPK dalam bentuk layanan.
Selama periode kerjasama, gedung dan peralatan penunjang serta peralatan kesehatan
dicatat sebagai aset BUP. Pada akhir periode, semuanya barulah dialihkan kepada
PJPK.
Alternatif
Pembiayaan
CWLS dan KPBU syariah adalah produk keuangan syariah
yang dapat menjadi alternatif untuk mengatasi keterbatasan anggaran dalam membiayai
pembangunan daerah.
Keduanya
berpeluang mengakselerasi inklusivitas pembangunan, meningkatkan transparansi
pengelolaan keuangan dan pembangunan di daerah, serta mendiversifikasi
instrumen pasar modal syariah.
Ya,
KPBU syariah juga dapat mendorong diversifikasi instrumen pasar modal syariah.
Selain dari LKS, BUP juga dapat memperoleh pendanaan dari penerbitan project-based
sukuk atau penerbitan saham biasa melalui initial public offering (IPO)
terbatas.
Selain
CWLS, varian sukuk lainnya yang dapat digunakan adalah green sukuk. Green
sukuk dapat menjadi alternatif mendanai pembangunan ramah lingkungan.
Untuk menerbitkan sukuk daerah, Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) mewajibkan pemerintah daerah menyampaikan Pernyataan Pendaftaran
dan mensyaratkan persetujuan Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri,
serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Untuk aturan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah
berinisiatif menetapkan tiga Peraturan OJK (POJK) tentang obligasi daerah dan/atau
sukuk daerah untuk meningkatkan sumber pembiayaan pembangunan, yaitu POJK Nomor
61/POJK.04/2017, POJK Nomor 62/POJK.04/2017, dan POJK Nomor 63/POJK.04/2017.
Dengan POJK tersebut, pemerintah daerah kini tidak hanya
mengandalkan pendapatan asli daerah (PAD) dan dana perimbangan sebagai sumber
pendapatan daerah, tapi juga dari pasar modal melalui penerbitan sukuk daerah.
CWLS, KPBU syariah, green sukuk adalah salah
satu solusi untuk membiayai pembangunan daerah melalui instrumen keuangan
syariah.
Terlebih, akibat pandemi, APBN diprediksi hanya mampu
memenuhi 30 persen dari pendanaan yang dibutuhkan untuk membiayai kebutuhan
investasi infrastruktur. Wallahua’lam
bish showab.
Komentar
Posting Komentar