Kurban, Swasembada Daging, dan CWLS (1) (Portal Jember, Pikiran Rakyat Media Network, Esai, 14 Agustus 2020)

 

Oleh:

Khairunnisa Musari*

 

Perayaan Idul Adha memang sudah usai. Namun aktivitas sejumlah lembaga amil zakat (LAZ) masih berkutat dengan pembagian daging kurban. Bahkan mungkin hingga menjelang Idul Adha tahun depan dengan membagikannya dalam bentuk makanan kaleng.

Memang, salah satu bentuk optimalisasi daging kurban adalah mengolahnya dalam bentuk makanan kaleng agar dapat digunakan dalam waktu yang lebih panjang. Hal ini bisa diwujudkan dalam bentuk kornet, rendang, abon, sosis, dendeng, dan lainnya.

Untuk memperluas nilai maslahat, Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 37 Tahun 2019 memperbolehkan daging kurban didistribusikan secara tunda (ala al-tarakhi) dengan cara diolah, diawetkan atau dikalengkan. Dengan cara ini, daging dapat disimpan dalam waktu tertentu agar dapat dimanfaatkan dan didistribusikan kepada yang lebih membutuhkan dengan syarat tidak ada kebutuhan mendesak.

Tidak ada kegiatan atau perayaan sepanjang tahun yang mampu memobilisasi daging dalam skala besar sebagaimana saat Idul Adha. Merujuk data Direktorat Jenderal (Ditjen) Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian (Kementan), jumlah pemotongan hewan kurban secara nasional pada Idul Adha 2020 diprediksi sejumlah 1,8 juta ekor, terdiri dari 541.568 ekor sapi, 15.653 ekor kerbau, 853.212 ekor kambing, dan 392.185 ekor domba.

Pada Idul Adha 2019, jumlah pemotongan hewan kurban secara nasional mencapai 1.346.712 ekor, terdiri dari 376.487 ekor sapi, 12.958 ekor kerbau, 716.089 ekor kambing dan 241.178 ekor domba. Sedangkan pada 2018, jumlah pemotongan hewan kurban sebanyak 1.224.284 ekor yang terdiri dari 342.261 ekor sapi, 11.780 ekor kerbau, 650.990 ekor kambing, dan 219.253 ekor domba.

Dengan asumsi prediksi Ditjen PKH Kementan tidak tercapai karena daya beli yang menurun akibat pandemi Covid-19 dan menggunakan jumlah hewan kurban tahun 2019 sebagai acuan, maka perputaran ekonomi kurban tahun ini minimal mencapai Rp 6,1 triliun. Angka ini diperoleh dengan asumsi harga kambing dan domba standar Rp 1,5 juta serta harga sapi dan kerbau standar Rp 12 juta.

Nilai perputaran ekonomi kurban ini setara dengan 60 persen dana zakat, infak, dan sedekah (ZIS), serta dana sosial keagamaan lainnya (DSKL) yang dihimpun Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota maupun LAZ sepanjang tahun 2019 yang mencapai Rp 10 triliun.

Mengambil pesan dari kisah Nabi Yusuf as. saat Mesir mengalami tujuh tahun masa makmur dan tujuh tahun masa paceklik, maka pemotongan hewan kurban seyogyanya dioptimalkan agar dapat bertahan lebih lama. Terlebih pada situasi pandemi saat ini yang belum dapat dipastikan kapan berakhirnya.

Dengan asumsi berat sapi standar 170-210 kg, umumnya dapat memproduksi keluaran kornet sekitar 350 kaleng atau rendang sekitar 250 kaleng dengan masing-masing seberat 200 gram. Artinya, bila 50 persen saja dari 1.346.712 ekor sapi diolah dan dikalengkan, maka Idul Adha tahun ini minimal dapat diperoleh 235.674.600 kaleng kornet atau 168.339.000 kaleng rendang.

Sebelum terjadi pandemi, angka kemiskinan di Indonesia tercatat 9,22 persen. Kementerian Sosial memprediksi pandemi menyebabkan kemiskinan bertambah menjadi 13,22 persen. Sedangkan Bank Indonesia memproyeksikan angka kemiskinan naik 11,25 persen menjadi 30,3 juta orang. Distribusi daging olahan Idul Adha tentu lebih bermaslahat bila disebar kepada kelompok masyarakat tersebut untuk beberapa waktu ke depan.

 

Swasembada Daging

Peringatan Food and Agriculture Organization (FAO) tentang ancaman krisis pangan global mungkin dapat dipatahkan oleh sebagian pengamat ekonomi pertanian. Namun demikian, mengantisipasinya tentu lebih baik. Apalagi, hingga saat ini, angka yang terinfeksi Covid-19 terus menunjukkan pertambahan. Peringatan bahwa pandemi berpotensi menimbulkan kerawanan pangan global seyogyanya juga tidak boleh diabaikan.

Sejumlah negara sempat menyikapi peringatan kerawanan pangan global dengan pemberlakuan pembatasan ekspor. Vietnam, Kamboja, dan Myanmar termasuk negara eksportir beras yang sempat memberlakukan larangan ekspor beras. Thailand juga sempat memberlakukan larangan ekspor telur.

Belajar dari krisis harga pangan pada 12-13 tahun lalu, pembatasan perdagangan ekspor pangan memicu kenaikan harga. Terlebih sejumlah negara secara terbuka menyatakan negaranya sudah memasuki jurang resesi. Hal ini mengindikasikan dampak pandemi bagi perekonomian pada gilirannya dapat memengaruhi daya beli per kapita yang secara agregat dapat berujung pada krisis pangan pada kelompok masyarakat tertentu.

Krisis pangan yang ditandai salah satunya dengan lonjakan harga daging sejatinya bukan soalan baru. Banyak faktor yang menyebabkan lonjakan harga daging. Selain soalan distribusi, juga dipicu oleh oknum-oknum yang melakukan penimbunan dan juga ketidakseimbangan penawaran-permintaan di pasar domestik. Berbagai peristiwa menjadikan hal ini kerap berulang. Kran impor umumnya menjadi solusi jangka pendek untuk menjamin pasokan daging. Perlu upaya lain yang berorientasi jangka panjang untuk menjaga stabilitas harga yang berkesinambungan. Pilihannya tentu tidak lain melalui swasembada daging.

Pemerintah Indonesia menargetkan swasembada daging sapi pada 2026. Namun, Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) menyangsikan karena masih banyak kebijakan kontraproduktif dalam mewujudkannya. Apa yang bisa dihadirkan oleh ekonomi dan keuangan syariah untuk ikut menguatkan industri peternakan? Tulisan selanjutnya akan mendiskusikannya.

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)