Dana Haji Perkuat Rupiah, Mengapa Tidak? (Portal Jember, Pikiran Rakyat Media Network, Opini, 14 Juni 2020)


 

Oleh: 

Khairunnisa Musari* 

Pasca Kementerian Agama (Kemenag) mengumumkan pembatalan pemberangkatan haji Indonesia tahun 2020, isu yang kemudian menguak adalah penggunaan dana haji tersebut oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) untuk memperkuat rupiah.

BPKH adalah otoritas pengelola dana haji sesuai amanat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 110 Tahun 2017 yang merupakan turunan dari Undang Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji.  

Dari sisi pemerintah, dalam hal ini Kemenag, selain masih dalam situasi pandemi, ketidakpastian dari Arab Saudi dan waktu yang semakin sempit menjadi dasar keputusan tersebut.

Situasi ini senada dengan tahun 2017. Saat itu, isu ramai tentang penggunaan dana haji untuk pembangunan. Setoran awal jemaah haji diwacanakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur.

Bila isu penggunaan dana haji dapat memperkuat rupiah itu benar, sejatinya hal tersebut dapat dipahami sebagai konsekuensi logis bila instrumen investasi yang dipilih oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) berdenominasi rupiah.

Sebab, salah tugas BPKH adalah melakukan pengembangan keuangan haji.

BPKH dituntut untuk memiliki strategi investasi karena tantangan terbesar BPKH adalah mengatasi currency mismatch dan terus meningkatnya biaya haji.

Sementara, sumber keuangan haji terbatas hanya dari setoran jemaah yang cenderung tetap.

Saat menerima dana haji, portofolio dana kelola BPKH didominasi oleh rupiah dan hanya sebagian kecil saja yang berupa valas. Sebaliknya, saat mengalokasikan pengeluaran dana haji, valas yang mendominasi.

Itulah sebabnya, dasar penghitungan biaya perjalanan ibadah haji (BPIH) mengacu nilai mata uang dollar AS (USD) dan Arab Saudi (SAR).

Dan itu pula sebabnya instrumen investasi yang dipilih BPKH ada yang berdenominasi rupiah maupun valas. Sebab, instrumen berdenominasi valas dibutuhkan dalam rangka mengelola currency mismatch.

Ketika terjadi pembatalan haji, maka dana BPIH dalam bentuk valas maupun rupiah tentunya akan dikembalikan pada BPKH untuk dikelola.

Secara normatif, opsi yang dihadapi BPKH adalah menentukan instrumen likuiditas yang tinggi dengan risiko yang rendah serta memberikan imbal hasil yang optimum.

Untuk itu, surat berharga syariah negara (SBSN) atau sukuk negara menjadi pilihan.

Sejak 2009, pemerintah telah menempatkan dana haji pada sukuk negara melalui penerbitan Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI).

SDHI adalah sukuk negara yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kepada Kemenag selaku investor pemegang dana haji dan dana abadi umat (DAU) melalui private placement.

Dana haji memang adalah dana murah bagi pemerintah untuk membiayai pembangunan. SDHI pun sejatinya adalah instrumen bagi pemerintah untuk menjembatani dana haji dengan sektor riil.

Pada tataran inilah, sukuk negara memainkan peran strategis sebagai instrumen investasi bagi Kemenag untuk memperoleh bagi hasil atau nilai manfaat, sekaligus menjadi sumber keuangan bagi Kemenkeu untuk membiayai pembangunan.

Selama 2017 hingga 2019, nilai manfaat yang diterima BPKH atas dana kelola haji terus meningkat.

Secara berturut-turut, dana kelola sebesar Rp 98 triliun, Rp 113 triliun, dan Rp 125 triliun menghasilkan nilai manfaat sebesar Rp 5 triliun, Rp 5,8 triliun, dan Rp 7,2 triliun yang diberikan kembali kepada jemaah dalam bentuk insentif dan fasilitas.

Tahun 2020, diperkirakan dana kelola haji mencapai Rp 142 triliun dengan nilai manfaat sebesar Rp 8 triliun. Hingga Mei 2020, dana jemaah haji yang dikelola BPKH sudah mencapai Rp 135 triliun.

Pada 2019, nilai manfaat dana haji dialokasikan untuk operasional BPKH sebesar Rp 335 miliar, operasional BPIH sebesar Rp 5,83 triliun, untuk jemaah tunggu sebesar Rp 1,08 triliun, dan efisiensi untuk operasional BPIH sebesar Rp 1,2 triliun.

Pada 2020, alokasi BPIH diprediksi menembus Rp 14-15 triliun dengan kebutuhan valuta asing (valas) sekitar USD 575 juta.

Ketika dana valas untuk perjalanan ibadah haji tidak digunakan, maka bila BPKH kemudian menempatkan dana tersebut pada sukuk negara berdenominasi rupiah, pada saat itulah dana haji mempengaruhi penguatan nilai tukar rupiah.

Hingga Maret 2020, Bank Indonesia membeli hampir Rp 192 triliun surat berharga negara (SBN) yang dilepas asing untuk menjaga stabilitas rupiah.

Pada Mei 2020, pemodal asing memborong SBN sebanyak Rp 7,21 triliun (meski terjadi capital outflow pada pasar saham sebesar Rp 3,04 triliun) yang membuat nilai tukar rupiah perkasa pada level Rp 14.840.

Hal ini menunjukkan bahwa valas untuk perjalanan ibadah haji jemaah tahun 2020 akan turut memperkuat rupiah ketika ditempatkan kembali pada instrumen berdenominasi rupiah, termasuk pada sukuk negara.

Demikian pula bila dana haji yang ditempatkan pada sukuk negara digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur.

Dari perspektif keuangan syariah, opsi ini lebih baik daripada opsi berutang ke luar negeri atau menerbitkan obligasi untuk penguatan rupiah atau untuk pembangunan proyek infrastruktur. Wallahua’lam bish showab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)