PASAR KEUANGAN ISLAM PASCAKRISIS AS DAN EROPA (Majalah SHARING, Edisi 59 Tahun IV November 2011, Hlm. 40-41
Oleh: Khairunnisa
Musari
Para
pelaku keuangan Islam dari Middle East, Europe, North Africa, Southeast Asia,
dan North America berkumpul dalam Islamic Finance News (IFN) Asia Forum di
Kuala Lumpur selama 17-19 Oktober 2011. Salah satu isu hangat yang
diperbincangkan dalam forum tersebut adalah tentang bagaimana masa depan pasar
keuangan Islam pascakrisis finansial Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Secara keseluruhan,
perhelatan IFN Asia Forum 2011 ini membawa pesan bahwa industri keuangan Islam masih
memiliki peluang besar di tengah volatilitas pasar.
Rentetan krisis keuangan global, terutama yang menghantam AS dan
Eropa, menjadi salah satu isu utama yang didiskusikan dalam IFN Asia Forum
2011. Meski ada yang mengkhawatirkan, namun sebagian besar pelaku keuangan
Islam dari berbagai belahan dunia ini cukup optimistis dengan masa depan pasar
keuangan Islam. Meski ada yang tidak menutup kemungkinan bahwa pasar keuangan
Islam akan terseret oleh krisis di AS dan Eropa, namun sebagian besar memandang
bahwa inilah momentum bagi kebangkitan pasar keuangan Islam.
Menurut Dwi Irianti Hadiningdyah, Kasubdit Peraturan & Evaluasi
Kinerja Direktorat Pembiayaan Syariah Direktoral Jenderal Pengelolaan Utang
(DJPU) Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu RI), pihaknya cukup
optimistis dengan pasar keuangan Islam tahun depan. Pada Sharing, Dwi Irianti menjelaskan, “Dengan adanya krisis finansial di AS dan Eropa, saya justru melihat
bahwa ini menjadi momentum bagi kita untuk dapat mengalihkan dana-dana dari
instrumen konvensional pada instrumen keuangan Islam.”
Hal senada juga disampaikan Ijlal Ahmed Alvi, Chief Executive Officer (CEO) International
Islamic Financial Market (IIFM). Ijlal mengatakan pada Sharing, pihaknya telah mengadakan research berdasarkan database
yang mereka miliki. Report-nya
menyimpulkan bahwa prospek pasar keuangan Islam di tahun 2012 cukup cerah meski
mungkin tren penerbitan sukuk ke depan bergantung pada kondisi ekonomi global
ke depan.
Ditemui terpisah di ruang kerjanya, Prof. Abbas Mirakhor, First Holder of INCEIF Chair of Islamic Finance, juga
menyampaikan keyakinannya pada Sharing
bahwa prospek pasar keuangan Islam yang cerah. Sebagai mantan Executive Director of International Monetary
Fund (IMF), Prof. Abbas bahkan meyakini bahwa instrumen keuangan Islam
seharusnya dapat diadopsi oleh banyak negara miskin atau negara berkembang
untuk pembangunan di negaranya. Terkait dengan sukuk sebagai instrumen
pembiayaan pembangunan, Prof. Abbas mengatakan bahwa instrumen tersebut akan
sangat membantu percepatan pembangunan.
Prof. Abbas menyarankan, dalam mengatasi persoalan
keuangan, pemerintah dapat menerbitkan macromarket instrument yang akan berguna untuk keuangan mereka dan menjadi sumber yang
signifikan bagi pembiayaan berbasis nonbunga
sembari mempromosikan risk sharing. Disampaikannya, banyak bukti di seluruh dunia yang menunjukkan bahwa sekuritas yang diterbitkan pemerintah untuk kebijakan
moneter dapat mempengaruhi secara signifikan mekanisme transmisi kebijakan moneter yang semula terganggu.
AS dan Eropa masih Kuat
Selayaknyalah instrumen
keuangan Islam dapat menampilkan performansi yang berkinerja keadilan.
Selayaknya pula, instrumen-instrumen ini dapat menjadi alat untuk
mendistribusikan kekayaan dari negara-negara Islam yang kaya pada negara-negara
Islam yang miskin.
Saat ini, instrumen keuangan Islam masih belum mampu menjadi alat
yang dapat mentransfer kekayaan dari Si Kaya pada Si Miskin. Negara-negara yang
tergabung dalam Gulf Cooperation Council (GCC)
nyatanya lebih menyukai untuk mendistribusikan kekayaannya justru pada AS dan
Eropa. Kritik keras terlontar dari paparan Prof. DR. Malik Muhammad Al Awan, Shariah Advisor dari Hong Leong MSIG
Takaful dan Hong Leong Islamic Bank. Profesor Malik yang juga mantan Dekan
Fakultas dan Chief Academic Officer INCEIF
menampik proyeksi banyak pihak bahwa krisis finansial akan menumbangkan AS dan
Eropa.
Dalam perbincangan
bersama Sharing, Prof. Malik
menjelaskan bahwa AS dan Eropa masih akan bertahan karena
negara-negara tersebut sesungguhnya ditopang oleh kekuatan dana dari
negara-negara GCC. Idealnya
dana-dana GCC mengalir pada negara-negara Islam yang miskin atau sedang
berkembang. Tetapi faktanya, dana mereka justru kembali mengalir pada pasar
keuangan AS dan Eropa.
Prof. Malik tidak
mengelak, negara-negara GCC tentu bukan tanpa alasan memiliki kecenderungan
melakukan hal demikian. “Ya, karena
begitu banyak persoalan di negara-negara miskin atau negara berkembang.
Indonesia, Pakistan, Nigeria, dan yang lainnya, memiliki utang yang besar.
Mereka sulit untuk membayar utang. Ditambah lagi penyakit korupsi yang sudah
begitu kronis, selain persoalan regulasi dan kebijakan pemerintah yang masih
belum begitu meyakinkan investor GCC.”
Profesor Keuangan
Internasional dari Johnson & Wales University ini menekankan agar instrumen
keuangan Islam dapat menjalankan apa yang menjadi filosofinya, yaitu bagaimana
menjadi alat distribusi keadilan. Untuk dapat menarik dana dari negara-negara
GCC ke negara-negara Islam berkembang atau miskin, maka dapat melalui ownershipment.
“Negara-negara berkembang atau miskin memiliki utang yang
besar. Mereka masih punya kewajiban untuk membayarnya. Agar negara-negara GCC
mau mengalihkan dana Petrodollar-nya dari AS dan Eropa, maka ciptakanlah
ownership agar mereka mau berinvestasi ke negara-negara ini. Dorong pemerintah
agar dapat mengendalikan tindak korupsi yang kronis agar investor percaya.” papar Profesor Emeritus
dari National University of Science and
Technology Pakistan ini.
Alat Distribusi yang Berkeadilan
Alat Distribusi yang Berkeadilan
Menurut Ijlal Ahmed Alvi, CEO IIFM, instrumen keuangan Islam dapat
menjadi alat untuk mentransfer
pendapatan dari negara kaya ke negara berkembang atau negara miskin jika
beberapa hal terkait dengan hukum dan regulasi sudah jelas di negara-negara
tersebut. Dan yang tidak kalah penting, penerbitan instrumen keuangan Islam di
negara-negara tersebut harus juga ditopang oleh kondisi aset yang bagus dan
jelas sehingga lembaga rating dapat memberikan rating yang bagus.
Terlepas dari situasi pasar global yang tidak menentu saat ini, Ijlal
menekankan pentingnya seperangkat aturan dan regulasi yang mengatur pasar dalam
rangka memberikan kepastian. Dalam pidatonya, Ijlal menyoroti perlunya
pendekatan terpadu ketika hendak menerbitkan regulasi dari produk baru.
Sebagai alat
distribusi yang berkeadilan, Assoc. Prof. Dr Asyraf Wajdi Dusuki, Head of Research Affairs International
Shari'ah Research Academy for Islamic Finance (ISRA), mengingatkan tentang
pentingnya mengedukasi publik, baik issuer, obligor, maupun rating agency mengenai syari’ah sebagai
cerminan keadilan. Dikatakannya, semua produk keuangan Islam ke depan tidak
boleh sampai melepaskan diri dari maqasid
syari’ah.
Mencermati semakin banyak pihak yang
berpartisipasi dalam industri keuangan Islam beberapa tahun belakangan ini, DR
Asyraf memang tampaknya banyak menggarisbawahi implementasi dari produk
keuangan Islam agar terus menjaga etika. Ditegaskannya, semua produk keuangan
Islam harus memenuhi syariah compliance
dan dapat menghindarkannya dari alat spekulasi. Wallahua’lam
bish showab.
Komentar
Posting Komentar