YUK, MENABUNG SAMPAH!!! (Radar Jember, Perspektif, 9 Oktober 2010)


Oleh: Khairunnisa Musari

Tanyalah pada saya, apa yang ingin bisa saya lakukan di masa depan. Saya bisa pastikan bahwa salah satunya adalah mendirikan bank sampah. Hehehe, jangan ketawa. Ini serius. Cukup suami saya saja yang selalu berkerenyit, kemudian tersenyum simpul sembari geleng-geleng kepala, lalu terkekeh-kekeh mendengar daftar keinginan saya yang ‘aneh-aneh’.

Ya, saya tertarik dengan urusan persampahan ini karena tak tega melihat botol kaca, botol plastik, kertas, dan lain-lainnya yang terbuang begitu saja. Padahal, jika mau kreatif, sampah-sampah tersebut bisa dimanfaatkan. Untuk sampah-sampah organik, saya biasa menguburnya di halaman rumah. Metode biopori coba saya terapkan dengan menggunakan versi saya sendiri. Tanah digali secara random, kemudian sampah-sampah organik saya kubur. Saya membayangkan, metode ini sudah cukuplah untuk ikut serta menghijaukan bumi. Binatang-binatang di bawah tanah dapat makanan sehingga mereka dapat bekerja menyuburkan tanah dan tanaman.

Ya, gara-gara ingin bisa mendirikan bank sampah suatu hari nanti, saya jadi tertarik mencari tahu seluk beluk persampahan. Saya juga tertarik untuk berkenalan dengan orang-orang yang berinteraksi dengan sampah. Salah satunya adalah seorang alumni teknologi pertanian Universitas Jember. Ceritanya, dia mengolah limbah kopi menjadi kompos blok. Melalui riset pribadi, limbah kopi tersebut dicampur dengan sejumlah zat sehingga dengan komposisi yang ada dapat meningkatkan produktifitas tanaman. Kabarnya, dia juga mengajak petani di Kecamatan Silo untuk ikut mengembangkan kompos blok berbasis limbah kopi tersebut. Keren kan!!! Keren dong!!! Kalau tidak keren, mana mungkin ide itu bisa membawanya menjadi finalis Duta Lingkungan Hidup Bayer 2010...!!!

Nah, sekarang kembali pada bank sampah. Saya mau cerita sedikit tentang apa dan bagaimana bank sampah. Banyak definisi yang bisa digunakan untuk menjelaskan bank sampah ini. Ada banyak istilah juga yang bisa dipakai untuk menyebutkannya, misal yang lazim kita dengar adalah pengepul. Dari sekian banyak definisi dan istilah tersebut, intinya adalah sama yaitu bagaimana mengelola limbah menjadi bermanfaat. Pada tataran tertentu, kegiatan bank sampah dan pengepul terdapat perbedaan. Kita tengok yuk, bank sampah di beberapa kota berikut.

Di Yogyakarta, tepatnya di Dusun Badekan, Trirenggo, Bantul. Berawal dari kesadaran pribadi untuk mengumpulkan sampah di rumah, warga di sana kemudian menyetorkan ke Bengkel Kerja Kesehatan Lingkungan yang sering disebut bank sampah Gemah Ripah. Sesuai namanya, bank ini memang tempat menabung sampah. Masyarakat menabung dalam bentuk sampah yang sudah dikelompokkan berdasar jenisnya. Mereka mendapat nomor rekening dan buku tabungan. Pada buku tabungan mereka, tertera nilai rupiah dari sampah yang sudah mereka setorkan.

Secara ringkas, aktivitas bank sampah di sana meliputi: penimbangan, pencatatan, dan penentuan harga sampah sesuai berat dan jenisnya. Bank sampah memotong dana 15 persen dari nilai sampah yang disetor nasabah. Dana itu digunakan untuk membiayai kegiatan operasional, seperti fotokopi, pembuatan buku tabungan, dan biaya lainnya. Bank sampah bekerjasama dengan pengepul barang-barang plastik, kardus, dan sebagainya, untuk bisa menyalurkan tabungan sampah masyarakat. Juga dengan pengolah pupuk organik untuk menyalurkan sampah organik yang ditabungkan.

Setelah tiga tahun berselang, bank sampah ini sudah tidak melulu menjual sampah pada pihak ketiga. Mereka mulai memisahkan sampah yang bisa diproduksi kembali. Diantaranya adalah sampah styrofoam yang diolah menjadi hiasan kotak penyangga bendera atau bekas bungkus makanan dan minuman yang disulap menjadi barang kerajinan.

Di Jakarta, tepatnya di Kampung Beting Indah, Semper Barat, Cilincing, praktek bank sampah juga senada dengan yang di Yogyakarta. Sampah yang tidak bernilai itu bisa menjadi uang dengan cara ditukarkan di bank sampah. Bank sampah di Jakarta ini malah bekerja layaknya seperti bank yang melakukan simpan pinjam, setoran, penarikan, dan tabungan. Semua transaksi itu bisa dilakukan asal ada sampahnya.

Di sini, masyarakat yang menyetorkan sampah diberi opsi untuk menjual tunai atau menabungkan hasil jualannya. Semua transaksi akan tercatat di buku tabungan. Jika A minta uang tunai, maka petugas akan langsung memberi uang tunai senilai penjualannya. Jika tidak, maka nilai tersebut akan disaldokan di buku tabungan. Kebanyakan warga biasanya akan menabung dulu uang jual sampahnya hingga jumlahnya cukup lumayan untuk diambil.

Menariknya dari bank sampah di Jakarta ini, bank memberikan fasilitas simpan pinjam maksimal Rp 300 ribu. Cara pembayaran kreditnya dengan menyetor sampah hingga nilainya melunasi pinjaman tersebut. Lebih menariknya lagi, fasilitas simpan pinjam ini tanpa jaminan, tanpa bunga, dan bisa dibayar dengan sampah.

Di Bogor, ada juga bank sampah. Mulai beroperasi tahun 2009. Sekolah Alam di Tanah Baru, Bogor Utara, yang mengembangkan dan nasabahnya adalah ratusan siswa sekolah tersebut. Setiap hari, para siswa menyetorkan sampah dari rumah ke bank sampah di sekolahnya. Mereka akan mendapatkan koin untuk setiap sampah yang disetor. Ada kurs atas berat dan jenis sampah yang diserahkan. Misal, kurs koran bekas berbeda dengan kurs botol minuman plastik. Nah, setiap bulan jika dirata-rata, setiap siswa bisa menukarkan koin hingga senilai Rp 50 ribu.

Dengan demikian, secara sederhana dapat kita gambarkan bahwa kegiatan bank sampah adalah memilah berbagai jenis sampah. Berikutnya, bank sampah akan menyalurkan sampah-sampah tersebut kepada para agen, pengepul, pabrik, petani organik atau malah mengolahnya sendiri untuk menjadi bahan baku industri.

Bayangkan, jika di daerah kita bisa didirikan bank sampah yang demikian. Ada bank sampah induk dan ada bank sampah cabang. Setiap cabang berkonsentrasi pada wilayah-wilayah kecil yang membangun jejaring nasabah dari sekolah-sekolah atau kampung-kampung atau komunitas pengajian/arisan/dasawisma ibu-ibu. Jika ini bisa terwujud, sampah bukan lagi momok bagi pemerintah dan masyarakat. Dengan sendirinya, kita bisa membangun sistem ekonomi daerah yang pro-poor, pro-growth, pro-employment, dan tentu saja pro-environment. Wallahu a’lam bish showab.

Komentar

  1. terus terang saya tertarik ingin membuka bisnis bank sampah karena bs dibilang di tempat saya (Jakarta) banyak peluang akan bahan baku yang bisa di dapat.
    hanya saja tempatnya terbatas dan orang-orangnya yang masih gengsi

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)