Bersahabat dengan Air (RadarJember, Perspektif, 27 Maret 2010, Hlm. 1)

Oleh: Khairunnisa Musari

Pada 22 Maret lalu, bangsa-bangsa di dunia memperingatinya sebagai Hari Air. Konon, peringatan ini ditujukan sebagai upaya menarik perhatian publik untuk memahami pentingnya air bersih dan bagaimana mengelola air bersih secara berkelanjutan.

Menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Pusat, jumlah volume air total di bumi sekitar 1,4 miliar km3. Dari jumlah yang sangat besar itu, ternyata hanya 2,7 persen yang dapat dimanfaatkan manusia.

Dilaporkan pula oleh Water Supply & Sanitation Collaborative Council (2007), hampir 1 miliar penduduk dunia nyaris tidak mendapatkan akses air sama sekali dan sekitar 2,6 miliar penduduk dunia tidak memiliki akses untuk mendapatkan sanitasi dasar.

Di Indonesia, diperkirakan ada 24 juta penduduk yang tidak memiliki akses terhadap ketersediaan air bersih. Angka ini jauh melampaui negara Asia Tenggara lainnya. Lalu bagaimana dengan Lumajang, Jember, dan Bondowoso?

Air Bersih dan Sanitasi
Setahun lalu, dalam suatu kegiatan saya singgah ke Desa Wonoayu, Kecamatan Ranuyoso, Kabupaten Lumajang. Ketika hendak berwudhu di rumah seorang penduduk, saya diajak ke sebuah kamar mandi terbuka dengan bak besar yang kosong berdebu. Di pinggir bak terdapat satu buah ember berisi air dan gayung. Selidik penuh selidik, bak mandi terbuka itu dimaksudkan untuk menampung air kala hujan. Sedangkan air dalam ember itu diambil dari sumur hydran yang jaraknya sekitar 2 km dan ditempuh dengan sepeda motor. Desa tersebut memang berada di dataran tinggi sehingga air sulit untuk naik. Bahkan kabarnya tidak hanya desa itu saja yang bergantung pada sumur tersebut, tapi ada 4 desa!!! Hmfhhh, mengenaskan bukan...

Kisah lainnya saya peroleh di Desa Wotgaleh, Kecamatan Yosowilangun, masih di Kabupaten Lumajang. Ketika singgah di rumah seorang penduduk, saya baru mengetahui bahwa rumah tersebut tidak memiliki tempat pembuangan. Alhasil, jika ingin buang hajat harus bersembunyi di semak-semak dan kemudian menanamnya dengan bantuan cangkul. Ahhh, menyedihkan sekali bukan di hari begini hal tersebut masih terjadi...

Satu lagi di Desa Sumber Agung, Kecamatan Sumber Baru, Kabupaten Jember. Masih setahun yang lalu ketika saya berkunjung ke sana. Saat itu musim hujan dan sungai meluap memasuki rumah-rumah penduduk. Sawah-sawah pun tergenang. Yang terlihat ini bukan jaminan bahwa desa tersebut tidak sulit air. Sebab, ketika musim kemarau, ternyata sebagian penduduk desa tersebut sulit memperoleh air. Sumur mereka sampai kesat. Jadi desa tersebut mengalami banjir ketika hujan dan mengalami kekurangan air ketika kemarau.

Air dan Kemiskinan
Air dan kemiskinan adalah suatu paradoks. Semakin miskin seseorang, maka semakin mahal ia mengakses air. Semakin kecil pendapatan seseorang, maka semakin besar biaya yang harus dikeluarkannya untuk memenuhi kebutuhan air. Sebuah riset menunjukkan rumah tangga yang termiskin di negara berkembang menghabiskan hampir 10 persen dari pendapatan mereka untuk memenuhi kebutuhan air.

Dilihat dalam makna luas, air dapat diinterpretasikan tidak hanya sebagai pemenuh kebutuhan hidup manusia sehari-hari, tetapi juga dapat memiliki beragam fungsi sebagai pemenuh kebutuhan kegiatan ekonomi. Seperti halnya bahan pangan dan energi, air berpotensi pula menjadi pemicu konflik dan memiliki contagion effect signifikan dalam mempengaruhi ekonomi masyarakat. Jika berkepanjangan dapat mengancam ketahanan ekonomi dan keamanan nasional.

Dalam ekonomi Islam, manusia diposisikan berserikat dalam memenuhi kebutuhan air. Air dipandang sebagai kebutuhan dasar umat manusia. Islam menempatkan sumber-sumber air sebagai kepemilikan umum (dan bukan milik negara), di mana negara difungsikan sebagai pengelolanya. Sayang, tata kelola sektor air di Indonesia masih belum memenuhi harapan. Mismanajemen adalah salah satu kunci persoalan yang pada akhirnya berdampak dengan munculnya berbagai ketimpangan dan penyimpangan.

Bersahabat dengan Air
Air adalah sumber kehidupan. Sudah seharusnya kita bersahabat dengan air. Sayang, karena ulah kita, air dapat menjadi kawan, tetapi dapat juga menjadi lawan. Di musim penghujan seperti saat ini, air kerap kali menjadi lawan. Banjir di berbagai daerah bukan lagi berita baru. Sementara di musim kemarau, kekeringan dan ancaman kekeringan juga menjadi berita sehari-hari. Ribuan hektar lahan pertanian kerap mengalami ancaman puso.

Jika disimak, persoalan air bukan semata persoalan kita, tetapi juga menjadi persoalan dunia saat ini. Hanya saja, yang menjadi sumber munculnya persoalan di setiap negara berbeda-beda. Ke depan, Pemkab seyogyanya membuat perencanaan strategis jangka panjang, menengah, dan pendek. Perlu disusun cetak biru pengelolaan, diversifikasi, dan pelestarian sektor air di daerah. Belanja daerah yang lazimnya jor-joran dikeluarkan pada akhir tahun untuk hal-hal yang unmultiplier effect, tentu akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk memperbaiki dan membangun irigasi, sumur, sanitasi, dan infrastruktur lainnya.

Satu hal lagi, semoga saja gairah privatisasi air tidak menjadi mimpi bagi para elit di daerah. Tentu bagi Lumajang, Jember, dan Bondowoso yang masih banyak memiliki hutan, kebun, dan lahan-lahan pertanian memiliki sumber-sumber air. Privatisasi terkesan menjadi jalan pintas dan mudah. Padahal sesungguhnya kita mampu membangun prasarana dan sarana air yang memadai. Tinggal mau atau tidak...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)