MEMBIAYAI SEKTOR PERTANIAN (Radar Jember, Perspektif, 20 Februari 2010, Hlm. 1)

Oleh: Khairunnisa Musari

Dalam Annual Banker's Dinner di Kantor Bank Indonesia (KBI) Jember setahun lalu kala mendampingi Direktur Indef yang diundang menjadi pembicara, saya mendapati kinerja intermediasi perbankan di wilayah kerja KBI Jember yang menarik untuk disimak.

Tercatat rata-rata pertumbuhan kredit, loan to deposit ratio (LDR), dan non performing loan (NPL) perbankan di wilayah KBI yang menaungi Jember, Bondowoso, Situbondo dan Banyuwangi pada 2008 masing-masing sebesar 20,18% (yoy), 94,57%, dan 4,18%. NPL mengalami penurunan minus 32,03% (yoy). Data ini menunjukkan, dana pihak ketiga (DPK) yang berhasil dihimpun perbankan di wilayah kerja ini hampir sepenuhnya dikembalikan pada masyarakat melalui penyaluran kredit dan diimbangi dengan kualitas kredit yang membaik. Capaian ini juga menunjukkan kinerja intermediasi yang melampaui kinerja Jatim dan nasional.

Berikutnya, dari total kredit yang diberikan, porsi terbesar menurut sektor ekonomi tersalurkan pada Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran (PHR) sebesar 41,03% dengan kenaikan kredit 43,95% (yoy). Sementara, sektor pertanian hanya menikmati sekitar 7,33% dengan kenaikan kredit 8,69% (yoy).

Sektor Pertanian
Pada daerah-daerah di selatan Jatim, sektor pertanian sesungguhnya adalah kekuatan ekonomi dan pengungkit utama perekonomian regional. Hal ini tercermin dari kontribusi sektor pertanian pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) masing-masing kabupaten.

Sepanjang 2006-2008, sektor pertanian masih mempertahankan posisinya sebagai kontributor terbesar. Di Jember, sektor pertanian menyumbang sekitar 44,05%, di Bondowoso 48,43%, dan di Banyuwangi 49,32%. Hanya di Situbondo yang kontribusi sektor pertaniannya berimbang dengan sektor PHR, yaitu sekitar 32,15%. Sedangkan di Lumajang berkisar 34%.

Secara keseluruhan, hal tersebut menunjukkan bahwa sektor pertanian nyata-nyata memberi sumbangsih besar dalam menggerakkan perekonomian daerah. Perlu diketahui, bahwa yang dimaksud sektor pertanian dalam konteks PDRB tersebut meliputi: tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan, peternakan dan hasilnya, perkebunan, serta perikanan. Dengan demikian, jelas sekali terlihat bahwa kabupaten-kabupaten di sekitar tapal kuda ini dianugerahi potensi sumber daya alam pertanian yang begitu besar.

Pemetaan dan Inovasi
Dalam Rakernas Pembangunan Pertanian 2010-2014 awal Februari lalu, Menteri Pertanian menyampaikan bahwa pihaknya mengusulkan pada bank sentral untuk memberi kemudahan akses pembiayaan sektor pertanian, khususnya pengembangan komoditas pangan. Bank diusulkan untuk tidak lagi mensyaratkan agunan sebagai jaminan kredit.

Saya kira kita harus menyambut baik usulan tersebut. Harus diakui, perbankan memiliki peran strategis dalam jaring ketahanan pangan. Sayang, persoalan klasik terus membayang. Sektor pertanian kerap kali tidak dapat memenuhi persyaratan feasible dan bankable lantaran terikat regulasi. Hal ini pulalah yang diduga menyebabkan minimnya porsi kredit perbankan terhadap sektor pertanian.

Sembari menanti terealisasinya upaya Menteri Pertanian dalam berkoordinasi dengan otoritas moneter, perbankan di daerah hendaknya sudah mulai memetakan potensi sektor pertanian unggulan yang harus digarap. Semisal di Kabupaten Jember, lumbung padi terbesar berada di Kecamatan Sumber Baru. Lalu produsen jagung dan cabe besar di Ambulu. Kedelai di Bangsalsari. Durian di Panti. Jeruk siam di Semboro, Umbulsari, dan Jombang. Kemudian sapi potong di Silo dan Sumberjambe serta hasil laut di Puger. Lalu kayu rimba di Silo dan lain sebagainya.

Selain itu, perbankan juga ada baiknya mulai mempermudah persyaratan kredit dan menurunkan bunga kredit dengan cara menekan biaya dana, biaya operasional, premi risiko, dan margin keuntungan. Selayaknya perbankan mendukung sektor pertanian melalui peningkatan porsi pembiayaan.

Selanjutnya, pada saat yang sama, Pemkab dan otoritas moneter di daerah seyogyanya juga mulai berkoordinasi untuk merumuskan paket kebijakan yang sistematis, komprehensif, dan berorientasi jangka panjang. Jika otoritas moneter membuat kajian skim pembiayaan pertanian dan penjaminan kredit, maka Pemkab dapat membuat kajian “APBD Hijau” dan merumuskan sistem pertanian berkelanjutan serta memikirkan perluasan akses pada sumber modal.

Secara keseluruhan, ini semua adalah pekerjaan besar yang menjadi tantangan bersama. Saya kira ini bukan masalah bisa atau tidak bisa, tapi lebih pada mau atau tidak mau. Rasanya kita juga tidak bisa hanya menanti terealisasinya asa itu dari pemerintah pusat. Adanya otonomi daerah seharusnya memberi kita banyak kesempatan untuk berinovasi dalam membuat kebijakan yang pro-poor, pro-growth, pro-employment, dan pro-environment bagi pembangunan di daerah. Wallahu’alam bishowab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)