Lebaran dan Ekonomi Pulang Kampung (Radar Jember, 9 Oktober 2008)
Oleh: Khairunnisa Musari (Mahasiswa S3 Prodi Ekonomi Islam Unair)
Sepekan terakhir dan sepekan ke depan, bisa dipastikan ekonomi daerah mengalami lonjakan signifikan. Para pemudik dan remitansi tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri (LN) menjadi pengungkit ekonomi daerah. Inilah potret ekonomi pulang kampung di Indonesia yang berpotensi menjadi penggerak pembangunan investasi di daerah.
Setiap kali lebaran, hampir semua sektor bisnis menikmati gurihnya geliat ekonomi. Dapat dipastikan, roda ekonomi bergerak laju. Mulai dari usaha sembako, bisnis ritel, parsel, transportasi, telekomunikasi, hingga industri kreatif hampir semuanya mampu mendulang keuntungan di momen ini.
Yang patut dicermati dalam fenomena lebaran khas Indonesia adalah budaya mudik dan tingginya remitansi TKI. Kedua hal tersebut menyebabkan arus uang masuk dan menyebar ke daerah, serta mendorong geliat ekonomi daerah. Hal ini yang perlu ditangkap pemerintah agar arus uang tersebut tidak habis untuk konsumsi, tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk investasi.
Mudik dan Remitansi
Jumlah pemudik di Indonesia terus meningkat. Hal ini ditandai dengan terus bertambahnya arus kendaraan mudik dan volume penumpang. Dapat diinterpretasikan bahwa jumlah tenaga kerja dari daerah yang bekerja di luar kota atau LN terus meningkat.
Lazimnya budaya mudik di Indonesia, pemudik selalu membawa sejumlah uang untuk dibagi atau dibelanjakan di daerah. Pekerja yang tidak berkesempatan melakukan mudik, umumnya juga melakukan transfer uang untuk dimanfaatkan keluarga di daerah. Uang yang biasanya berputar di kota-kota besar, kini berpindah ke daerah.
Sementara itu, remitansi yang merupakan bagian dari gaji atau penghasilan TKI yang dikirim ke Indonesia dan/atau dibawa pulang oleh TKI yang bersangkutan pada saat pulang ke Indonesia, juga menjadi pemicu geliat ekonomi daerah. Pada 2006, jumlah TKI di LN sudah berkisar 3 juta orang. Remisan yang mereka kirimkan sekitar Rp 24 triliun dan devisa yang mereka hasilkan mencapai Rp 60 triliun.
Pada 2007, jumlah penempatan TKI di LN tercatat sebesar 684 ribu orang atau naik 5 persen dari periode sebelumnya. Dari data tersebut, sebesar 58 ribu atau hampir 10 persen berasal dari Jawa Timur. Dengan jumlah TKI yang mencapai 4,3 juta orang pada periode tersebut, penerimaan devisa dari remitansi diperkirakan sebesar USD 5,9 miliar. Jumlah tersebut mencapai sepertiga aliran masuk penanaman modal asing (inflow-foreign direct investment/FDI) dan melampaui utang LN pemerintah. Pemerintah sejauh ini baru mampu mendata jalur pengiriman remitansi formal yang dilakukan melalui jasa bank, wesel (PT Pos Indonesia), dan perusahaan remitansi (Western Union, Money Gram, Indorem Pratama, Syaftraco, Agung Remittance Global, TikiJNE). Sedangkan jalur pengiriman remitansi non-formal yang biasa dilakukan melalui agen remitansi, jasa perorangan, maupun titip saudara atau teman masih belum dapat diperhitungkan. Dengan demikian, arus masuk uang ke daerah dari remitansi TKI di LN jelas jauh lebih besar dari data resmi yang mampu dihimpun pemerintah.
Pertumbuhan berbasis investasi
Dari dua hal tersebut di atas, yaitu perpindahan uang karena aktifitas mudik dan remitansi, kita bisa menyimak bahwa momen lebaran dapat menjadi peluang ekonomi untuk menggerakkan sektor riil di daerah. Jika selama ini perpindahan uang lebih banyak digunakan untuk konsumsi, maka ke depan perlu dipikirkan untuk memberdayakan dana tersebut ke dalam bentuk kegiatan investasi.
Tidak bisa dimungkiri, arus uang yang masuk ke daerah belum sepenuhnya dikelola dengan baik. Masyarakat masih cenderung memanfaatkan uang yang ada untuk memenuhi kebutuhan dan/atau keinginan konsumsi. Jika demikian, pertumbuhan ekonomi yang terdongkrak sesungguhnya rapuh karena dibangun dengan fondasi konsumsi, bukan dengan fondasi investasi. Pemerintah pusat memang belum mampu mengangkat persoalan ini ke dalam sebuah kebijakan. Namun, pemerintah daerah sesungguhnya dapat mengambil peran tersebut.
Mengawalinya, pemerintah daerah perlu membangun paradigma investasi di kalangan masyarakat. Dalam konteks ini, jangan berpikir melakukan investasi selalu melulu terkait dengan dana yang besar. Investasi dapat dimulai dengan membangun jiwa entrepreneur untuk memanfaatkan dana yang ada untuk diputar di sektor riil. Pemerintah daerah dapat menggandeng pihak ketiga untuk melakukan pendampingan. Pendampingan tidak harus selalu mengarahkan masyarakat untuk mengakses perbankan atapun lembaga keuangan lainnya, namun yang terpenting di sini adalah bagaimana membangun inisiatif dan mengimplementasikan secara kreatif dana yang ada untuk diputar ke sektor riil, seperti membangun warung makanan, toko kelontong, bengkel, cuci sepeda motor, kerajinan tangan, dan lain sebagainya. Meski dana yang ada hanya memungkinkan masyarakat untuk bermain di skala mikro, namun jika ini dilakukan secara kolektif, maka perlahan roda ekonomi daerah setempat akan bergerak. Paling tidak, dana yang ada tidak menjadi idle atau hoarding dan tidak tergerus nilainya oleh inflasi. Dana yang ada akan jauh lebih bermanfaat jika diputar pada kegiatan riil yang hasilnya akan dirasakan langsung oleh masyarakat, terlebih lagi jika dana tersebut dapat diarahkan menjadi kegiatan produksi.
Lebih jauh, sesungguhnya ekonomi pulang kampung tidak hanya meliputi dana mudik atau dana remitansi semata. Ada banyak potensi kegiatan lain yang menimbulkan arus uang masuk ke daerah. Poin penting yang perlu ditekankan dalam hal ini adalah bagaimana agar dana tersebut tidak menguap begitu saja atau berpindah kembali pada pemilik modal besar atau kembali hanya berkonsentrasi di kota besar. Perlu duduk bersama untuk menciptakan mekanisme ini. Jadi, mari kita pikirkan dan mulai mewujudkannya dengan memberi kontribusi sesuai dengan bidang kita masing-masing. Selamat lebaran!
Komentar
Posting Komentar