Rentannya Sistem Moneter Kita (Republika, 29 September 2008)

Oleh: Khairunnisa Musari (Mahasiswa S3 Prodi Ekonomi Islam Unair)

Belakangan ini, pasar bursa sarat dengan sentimen negatif. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tertekan hingga level terendah di tahun ini. Anjloknya harga minyak mentah dunia dan pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) menekan pasar. Rupiah bahkan hampir menyentuh level Rp 9.500. Tingginya suku bunga perbankan menyebabkan minimnya likuiditas di pasar. Terlebih lagi, setelah Bank Indonesia (BI) Rate dinaikkan hingga 9,25 persen. Ada apa?

Jika mencermati fenomena tersebut di atas, kita bisa melihat betapa sistem moneter Indonesia dan dunia sesungguhnya rapuh dan rentan terhadap berbagai gejolak. Tidak ada satupun yang mampu mengendalikannya. Sifat sektor moneter akan menuju hal-hal yang bersifat jangka pendek, spekulatif, dan mobile. Siapapun yang mengikuti langgamnya, maka hanya akan menjadi bulanannya.

Jika kita simak, anomali ekonomi mikro-makro dan ”growth paradox” antara sektor keuangan-riil, serta turbulensi faktor eksternal yang mempengaruhi ekonomi domestik, memang makin sering terjadi. Tidak bisa kita mungkiri, hal ini sesungguhnya mencerminkan berbagai kegagalan sistem ekonomi dalam menciptakan kealamiahan mekanisme pasar yang stabil, benar, dan adil.

Ketidakbenaran
Dalam ekonomi Islam, sistem moneter kita saat ini memang mengandung banyak ketidakbenaran. Hal ini setidaknya terlihat dari, pertama, fungsi utama uang dalam teori ekonomi saat ini adalah sebagai alat tukar, kesatuan hitung, dan penyimpan nilai kekayaan. Dengan penggunaan uang kertas, fungsi uang sebagai satuan hitung dan penyimpan nilai sudah terpatahkan. Pasalnya, uang kertas yang kita gunakan saat ini memiliki nilai yang selalu berubah karena adanya inflasi yang bisa “menyurutkan” nilai. Dalam ekonomi Islam, fungsi uang hanya sebagai alat tukar dan kesatuan hitung. Mata uang yang dipilih harus bisa menjamin kestabilan nilai.

Kedua, di waktu lalu, sejak dilepasnya sistem crawling-band, Bank Indonesia (BI) menggunakan base-money targeting sebagai kerangka kebijakan moneter. Base-money targeting didasarkan pada teori kuantitas uang. Efektivitas kebijakan ini sangat tergantung stabilitas velocity uang beredar. Penggunaan base-money ini tidak sesuai dengan ekonomi Islam lantaran nilai uang tersebut cenderung berfluktuasi. Ekonomi Islam mengajarkan untuk mencari alat moneter yang menjamin kestabilan. Makanya, emas-perak dipilih sebagai instrumen moneter.

Ketiga, kestabilan nilai rupiah tercermin dari tingkat inflasi dan nilai tukar. Tingkat inflasi tercermin dari naiknya harga barang secara umum. Dalam hal ini, BI memiliki kemampuan untuk mempengaruhi tekanan inflasi yang berasal hanya dari sisi permintaan. Transmisinya dapat melalui berbagai jalur, yaitu suku bunga, kredit perbankan, neraca perusahaan, nilai tukar, harga aset, dan ekspektasi. Jika jalur transmisi tersebut ada yang berinteraksi dengan riba, syubhat, maisyir, dan gharar, maka ini tidak sesuai dengan ekonomi Islam.

Keempat, Inflation Targeting Framework (ITF) yang saat ini menjadi kebijakan moneter BI menggunakan BI Rate sebagai suku bunga instrumen sinyaling. Jelas sekali, cara tersebut bertentangan dengan ekonomi Islam. Pelaksanaan kebijakan moneter Islam tidak memungkinkan penetapan suku bunga sebagai target atau sasaran operasional. Fakta menunjukkan, suku bunga yang digaungkan dapat menjadi media kontrol ternyata juga tak bernyali dalam menstabilkan nilai uang dan moneter.

Kelima, bila dicermati, krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan negara lain, sesungguhnya dipicu oleh “keterikatan” pada mata uang negara lain dan tidak pada dirinya sendiri. Hal inilah yang menyebabkan nilai mata uang kita sulit stabil. Jika hard-currency bergejolak, maka kestabilan mata uang lain pun bergejolak.

Keenam, kenyataan saat ini menunjukkan uang tidak lagi dijadikan alat tukar, tapi juga sebagai komoditi perdagangan dan ditarik bunga dari setiap transaksi peminjaman/ penyimpanan uang. Tidak hanya itu, uang kini juga kerap dijadikan alat spekulasi.

Ketujuh, dalam konsep ekonomi Islam, uang harus mencerminkan sektor riil. Jika ada yang menimbun uang atau dibiarkan tidak produktif, ini berarti mengurangi jumlah uang beredar yang berdampak pada tidak jalannya perekonomian. Kondisi ini berbeda dengan kebijakan BI yang menyerap dana Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan menyimpannya.

Kedelapan, dari aspek kelembagaan, keberadaan bank sentral tidak mempersoalkan adanya entitas individu. Hal ini berbeda halnya dengan ekonomi Islam yang objeknya kepada mukallaf secara individual.

Moneter Islam
Kita meyakini, moneter Islam bisa menjadi solusi semua kekacauan ini. Namun harus diakui, moneter Islam saat ini belum mampu menjawab sepenuhnya berbagai persoalan moneter dunia. Moneter Islam saat ini masih dalam tahap “pencarian” guna kristalisasi diri karena “terlahir” ditengah sistem moneter sosialis kapitalis. Meskipun moneter Islam sudah mulai diimplementasikan di sedikit negara dan juga komunitas-komunitas tertentu, namun moneter Islam masih menghadapi sejumlah persoalan mendasar pada tataran tertentu. Keberadaan moneter Islam tidak cukup dengan hanya membeberkan fakta-fakta historis dengan berbagai filosofi yang terkandung didalamnya. Oleh karena itu, perumusan teori dan praktek moneter Islam memerlukan rekonstruksi teori dan praktek moneter konvensional. Mengawalinya, butuh pendekatan normatif yang kemudian dilengkapi dengan pendekatan empiris, positif, dan induktif. Kita masih menunggu...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

Belajar dari Wu Da Ying (1) (Jawa Pos Radar Jember, Perspektif, 7 Juli 2017, Hlm. 21 & 31)