Rentannya Implementasi Sukuk di Indonesia (Republika Online, 1 September 2008)
Oleh: Khairunnisa Musari
Mahasiswa S3 Prodi Ekonomi Islam Unair dan Peneliti INSEF
Masa penawaran umum dua seri Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) telah berakhir. Pemerintah memenangkan penawaran sebesar Rp 4,699 triliun. Menurut rencana dana tersebut akan digunakan untuk menambal defisit anggaran. Pertanyaannya, benarkah sukuk bisa menjadi solusi bagi defisit anggaran?
Dari target indikatif semula yang sebesar Rp 5 triliun, pemerintah akhirnya hanya berhasil menghimpun dana SBSN atau sukuk sebesar Rp 4,699 triliun. Melalui tiga agen penjual emisi sukuk, pemerintah memenangkan penawaran Rp 2,714 triliun untuk sukuk seri IFR-0001 bertenor tujuh tahun dan Rp 1,985 triliun untuk sukuk seri IFR-0002 bertenor 10 tahun. Untuk yield tertinggi yang dimenangkan masing-masing sebesar 11,80 persen dan 11,95 persen.
Sejauh ini pemerintah tampaknya cukup puas dengan emisi perdana sukuk. Untuk ukuran emisi perdana, kehadiran dua seri sukuk ini dinilai sudah cukup berhasil memperoleh kepercayaan pasar, baik investor syariah maupun nonsyariah.
Meskipun ada sejumlah calon investor yang membatalkan order pembelian sukuk, hal tersebut dipandang tidak signifikan. Hal ini pun dapat dimaklumi mengingat sedang naiknya yield obligasi negara konvensional dan tiadanya ekstrapremi dari sukuk.
Bukan penambal defisit
Di Indonesia kehadiran sukuk sangat strategis mengingat pesatnya perkembangan pasar syariah sebagai salah satu pilar penguatan ekonomi nasional. Dengan disahkannya Undang-Undang (UU) SBSN, instrumen di pasar keuangan pun menjadi kian terdiversifikasi.
Pemerintah kini menempatkan sukuk sebagai salah satu instrumen untuk mengelola keuangan negara dan sumber pemenuh kebutuhan defisit anggaran. Tidak bisa dimungkiri sukuk memiliki struktur investasi dan tingkat transparansi yang lebih pasti dibanding surat utang negara (SUN). Hal ini tecermin dari adanya mekanisme underlying asset, penghitungan bagi hasil, dan kepastian proyek-proyek yang akan dibiayai.
Meski demikian, implementasi sukuk bukannya tidak memiliki kelemahan. Dalam tataran normatif, sukuk bisa saja menjadi solusi pembiayaan yang berkeadilan serta jauh dari syubhat, maisyir, dan gharar. Tetapi, dalam konteks keindonesiaan, implementasi sukuk sebenarnya cukup rentan. Hal ini mengingat dalam perspektif ekonomi Islam, kondisi dan paradigma tata kelola fiskal di Indonesia sudah banyak terjadi ketidaktepatan dan ketidakbenaran.
Ada beberapa indikasi. Pertama, kebijakan defisit anggaran harusnya menjadi kebijakan yang dihindari. Defisit anggaran menunjukkan sebuah perilaku yang besar pasak daripada tiang. Ekonomi Islam menuntun agar belanja anggaran disesuaikan dengan besarnya penerimaan dan bukan mencari-cari sumber penerimaan untuk memenuhi belanja anggaran. Dengan demikian, rutinitas defisit anggaran di Indonesia sebenarnya menyalahi prinsip dasar tata kelola keuangan negara.
Kedua, utang sebagai pemicu terjadinya defisit anggaran. Setiap tahun, sekitar 30-40 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dihabiskan untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang. Hal ini menunjukkan utang Indonesia sudah menjadi ‘virus’ yang menggerogoti APBN dan kehadiran sukuk bukan obat bagi defisit anggaran. Pasalnya, penyakit defisit anggaran bukanlah pada tiadanya pembiayaan pembangunan, tetapi justru pada utang yang menyerap belanja anggaran.
Ketiga, proyek pembangunan di Indonesia kerap kali bermasalah dan berpeluang menimbulkan wanprestasi. Jika ini terjadi pada pembangunan yang dibiayai sukuk, maka sangat mungkin akad menjadi batal dan terjadi penyitaan underlying asset. Ini berarti sukuk memberikan konsekuensi logis jika terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan. Pertanyaannya, siapkah kita menerimanya? Hal ini mengingat sebuah tool yang baik bisa menjadi tidak baik jika masuk sistem yang tidak terdesain dengan baik. Jangan-jangan jika terjadi penyitaan, kita malah menuding sukuknya yang salah dan bukannya sistem yang kita lihat sebagai biang kesalahan.
Keempat, adanya pola pikir yang melihat potensi sukuk dapat menggantikan semua utang Indonesia. Jika dalam konteks tersebut memandang sukuk sebagai alat pembayar utang, maka pemikiran tersebut jelas mendegradasi keberadaan sukuk yang sebenarnya. Ini karena sukuk harusnya digunakan untuk hal-hal yang produktif. Bagaimana mungkin sukuk dapat memberi bagi hasil jika dana yang ada digunakan untuk konsumtif? Jika ini terjadi, maka hal tersebut menunjukkan adanya penyimpangan dan penyalahgunaan dari manfaat sukuk.
Mahasiswa S3 Prodi Ekonomi Islam Unair dan Peneliti INSEF
Masa penawaran umum dua seri Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) telah berakhir. Pemerintah memenangkan penawaran sebesar Rp 4,699 triliun. Menurut rencana dana tersebut akan digunakan untuk menambal defisit anggaran. Pertanyaannya, benarkah sukuk bisa menjadi solusi bagi defisit anggaran?
Dari target indikatif semula yang sebesar Rp 5 triliun, pemerintah akhirnya hanya berhasil menghimpun dana SBSN atau sukuk sebesar Rp 4,699 triliun. Melalui tiga agen penjual emisi sukuk, pemerintah memenangkan penawaran Rp 2,714 triliun untuk sukuk seri IFR-0001 bertenor tujuh tahun dan Rp 1,985 triliun untuk sukuk seri IFR-0002 bertenor 10 tahun. Untuk yield tertinggi yang dimenangkan masing-masing sebesar 11,80 persen dan 11,95 persen.
Sejauh ini pemerintah tampaknya cukup puas dengan emisi perdana sukuk. Untuk ukuran emisi perdana, kehadiran dua seri sukuk ini dinilai sudah cukup berhasil memperoleh kepercayaan pasar, baik investor syariah maupun nonsyariah.
Meskipun ada sejumlah calon investor yang membatalkan order pembelian sukuk, hal tersebut dipandang tidak signifikan. Hal ini pun dapat dimaklumi mengingat sedang naiknya yield obligasi negara konvensional dan tiadanya ekstrapremi dari sukuk.
Bukan penambal defisit
Di Indonesia kehadiran sukuk sangat strategis mengingat pesatnya perkembangan pasar syariah sebagai salah satu pilar penguatan ekonomi nasional. Dengan disahkannya Undang-Undang (UU) SBSN, instrumen di pasar keuangan pun menjadi kian terdiversifikasi.
Pemerintah kini menempatkan sukuk sebagai salah satu instrumen untuk mengelola keuangan negara dan sumber pemenuh kebutuhan defisit anggaran. Tidak bisa dimungkiri sukuk memiliki struktur investasi dan tingkat transparansi yang lebih pasti dibanding surat utang negara (SUN). Hal ini tecermin dari adanya mekanisme underlying asset, penghitungan bagi hasil, dan kepastian proyek-proyek yang akan dibiayai.
Meski demikian, implementasi sukuk bukannya tidak memiliki kelemahan. Dalam tataran normatif, sukuk bisa saja menjadi solusi pembiayaan yang berkeadilan serta jauh dari syubhat, maisyir, dan gharar. Tetapi, dalam konteks keindonesiaan, implementasi sukuk sebenarnya cukup rentan. Hal ini mengingat dalam perspektif ekonomi Islam, kondisi dan paradigma tata kelola fiskal di Indonesia sudah banyak terjadi ketidaktepatan dan ketidakbenaran.
Ada beberapa indikasi. Pertama, kebijakan defisit anggaran harusnya menjadi kebijakan yang dihindari. Defisit anggaran menunjukkan sebuah perilaku yang besar pasak daripada tiang. Ekonomi Islam menuntun agar belanja anggaran disesuaikan dengan besarnya penerimaan dan bukan mencari-cari sumber penerimaan untuk memenuhi belanja anggaran. Dengan demikian, rutinitas defisit anggaran di Indonesia sebenarnya menyalahi prinsip dasar tata kelola keuangan negara.
Kedua, utang sebagai pemicu terjadinya defisit anggaran. Setiap tahun, sekitar 30-40 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dihabiskan untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang. Hal ini menunjukkan utang Indonesia sudah menjadi ‘virus’ yang menggerogoti APBN dan kehadiran sukuk bukan obat bagi defisit anggaran. Pasalnya, penyakit defisit anggaran bukanlah pada tiadanya pembiayaan pembangunan, tetapi justru pada utang yang menyerap belanja anggaran.
Ketiga, proyek pembangunan di Indonesia kerap kali bermasalah dan berpeluang menimbulkan wanprestasi. Jika ini terjadi pada pembangunan yang dibiayai sukuk, maka sangat mungkin akad menjadi batal dan terjadi penyitaan underlying asset. Ini berarti sukuk memberikan konsekuensi logis jika terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan. Pertanyaannya, siapkah kita menerimanya? Hal ini mengingat sebuah tool yang baik bisa menjadi tidak baik jika masuk sistem yang tidak terdesain dengan baik. Jangan-jangan jika terjadi penyitaan, kita malah menuding sukuknya yang salah dan bukannya sistem yang kita lihat sebagai biang kesalahan.
Keempat, adanya pola pikir yang melihat potensi sukuk dapat menggantikan semua utang Indonesia. Jika dalam konteks tersebut memandang sukuk sebagai alat pembayar utang, maka pemikiran tersebut jelas mendegradasi keberadaan sukuk yang sebenarnya. Ini karena sukuk harusnya digunakan untuk hal-hal yang produktif. Bagaimana mungkin sukuk dapat memberi bagi hasil jika dana yang ada digunakan untuk konsumtif? Jika ini terjadi, maka hal tersebut menunjukkan adanya penyimpangan dan penyalahgunaan dari manfaat sukuk.
Kelima, menurut UU SBSN sukuk memang diperuntukkan menutup defisit APBN dan pembiayaan proyek negara. Padahal, dalam ekonomi Islam defisit anggaran harus dihindari dan hakikat sukuk adalah solusi pembiayaan. Titik tolak yang berbeda ini jelas akan membawa konsekuensi yang berbeda pula ke depannya. Meskipun denominasi sukuk saat ini tidak begitu signifikan dalam menutup defisit APBN, ke depan pemerintah tentu akan terus berupaya memperoleh capaian yang lebih besar lagi guna meningkatkan peran sukuk dalam menambal defisit anggaran. Jika itu terjadi, sukuk bukan lagi sebagai solusi pembiayaan, tetapi sudah menjadi mesin pencetak uang untuk menambal defisit anggaran. Hal ini akan menjadi fatal karena pemerintah nantinya bukan berupaya menghindari defisit anggaran, tapi malah semakin mencari-cari cara untuk menambah kemampuan menambal defisit anggaran.
Dengan segala kerentanannya mengingat kondisi APBN saat ini, sukuk dapat menjadi solusi pembiayaan lebih baik daripada utang. Namun, hal ini harus pula diiringi dengan terus berupaya membangun kemandirian dan menghindari defisit anggaran. Terpenting lagi adalah membangun sistem yang baik dan menjamin berlangsungnya keadilan dan kemerataan belanja pembangunan.
Dengan segala kerentanannya mengingat kondisi APBN saat ini, sukuk dapat menjadi solusi pembiayaan lebih baik daripada utang. Namun, hal ini harus pula diiringi dengan terus berupaya membangun kemandirian dan menghindari defisit anggaran. Terpenting lagi adalah membangun sistem yang baik dan menjamin berlangsungnya keadilan dan kemerataan belanja pembangunan.
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut