BANDARA NOTOHADINEGORO, MULTIPLIER EKONOMI JATIM (KOMPAS JATIM, 4 SEPTEMBER 2008)

Oleh: Khairunnisa Musari*
Mahasiswa S3 Unair dan Peneliti INSEF

Baru dua kota di Jawa Timur yang memiliki bandara dan sudah mengoperasikannya secara komersial. Setelah Surabaya dan Malang, kini Jember segera menyusul. Kehadiran Bandara Notohadinegoro diharapkan mampu menjadi pengungkit bagi ekonomi daerah di wilayah tapal kuda. Lebih jauh, bandara tersebut diharapkan mampu menjadi multiplier ekonomi Jawa Timur (Jatim).

Mengacu data Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam buku Evaluasi Tiga Tahun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009, pencapaian kinerja transportasi udara terus mengalami peningkatan. Pada 2007, jumlah penumpang angkutan udara dalam negeri meningkat 6,23 persen dari tahun sebelumnya yang sebesar 34,01 juta orang menjadi 36,13 juta (angka sementara posisi Nopember 2007). Pada periode yang sama, jumlah penumpang angkutan udara luar negeri juga meningkat sebesar 11,91 persen dari 13,93 juta orang menjadi 12,75 juta orang. Hal yang sama terjadi pula pada angkutan kargo dalam negeri yang meningkat 8,5 persen dan untuk angkutan kargo luar negeri meningkat 7,93 persen.

Dari data di atas, dapat ditengarai bahwa pasar transportasi udara, baik secara nasional maupun internasional, terus mengalami peningkatan. Hal tersebut mengindikasikan adanya kebutuhan yang semakin besar terhadap fungsi transportasi udara. Ke depan, kebutuhan ini tentu akan semakin besar. Terlebih lagi dalam mendukung sektor riil. Untuk itu, pembangunan infrastruktur trasnportasi udara merupakan keniscayaan.

Bandara Notohadinegoro
Di Jatim, ada sekitar 5 kabupaten/kota yang diproyeksikan akan memiliki bandara yang melayani penerbangan umum, yaitu Sumenep, Banyuwangi, Jember, Bawean dan Gresik. Berdasarkan hasil evaluasi Direktorat Jenderal (Dirjen) Perhubungan Udara (Perhub), Bandara Notohadinegoro di Jember yang dinilai telah memenuhi syarat minimal untuk dioperasikan sebagai bandara perintis.

Dalam aturan Departemen Perhubungan (Dephub), bandara yang memuat rute perintis berfungsi untuk menghubungkan daerah terpencil, pedalaman, dan sukar dihubungi oleh moda transportasi lain. Meskipun Jember secara riil bukanlah daerah terpencil, pedalaman, dan sukar dihubungi oleh moda transportasi lain, namun dari sisi sarana, kesiapan armada/operator, dan aspek prasarana kesiapan fasilitas bandar udara tampaknya sudah dinilai memenuhi syarat minimal.

Selan itu, tampaknya Dephub juga mempertimbangkan aspek ekonomi dan sosial dari Jember. Jika disimak dari sisi ekonomi, Jember juga memiliki potensi untuk dikembangkan, merangsang pertumbuhan potensi daerah, dan berpeluang untuk menunjang pengembangan pembangunan daerah di wilayah tapal kuda. Dari sisi sosial, Jember juga dapat membuka daerah-daerah di sekitar wilayah tapal kuda dan menghubungkannya dengan ibukota provinsi. Di samping itu, selama ini masih belum ada moda transportasi lain yang mampu menawarkan waktu yang lebih cepat untuk menghubungkan Jember dan sekitarnya dengan ibukota provinsi.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kehadiran Bandara Notohadinegoro memiliki multiplier ekonomi yang tidak hanya bagi Kabupaten Jember semata, tetapi juga pada kabupaten/kota sekitarnya yang masuk wilayah tapal kuda. Hal ini pada gilirannya akan berdampak langsung pada ekonomi Jatim.

Adanya pendapat selama ini yang mengatakan bahwa beban biaya transportasi udara sangat besar, hal tersebut sesungguhnya tidak sepenuhnya tepat. Fakta yang ada menunjukkan pesawat terbang selain mampu memberikan nilai tambah kecepatan, harga yang ada saat ini pun dipandang masih bersaing dan wajar jika dibandingkan dengan jenis transportasi lain.

Langkah ke depan
Tidak diragukan lagi, infrastruktur memegang peranan penting sebagai salah satu roda penggerak pertumbuhan ekonomi dan menjadi fondasi bagi pembangunan ekonomi selanjutnya. Keberadaan infrastruktur yang memadai sangat diperlukan untuk menopang geraknya sektor riil.

Ke depan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jember tidak boleh berpuas diri. Termasuk pula Pemkab/Pemerintah Kota (Pemkot) di wilayah tapal kuda. Pekerjaan besar menanti. Pasalnya, seiring komersialisasi Bandara Notohadinegoro maka diperlukan pembangunan infrastruktur berkelanjutan untuk membenahi jalan menuju bandara, jalan-jalan ke sejumlah obyek wisata, membenahi obyek wisata potensial, dan menggelar kegiatan yang dapat mengundang turis mancanegara dan nusantara. Selain itu, perlu digerakkan pula pengusaha sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk semakin kreatif dan inovatif dalam menghasilkan barang dan jasa guna menampilkan keunggulan dan keunikan produk-produk setempat di bidang perdagangan, kerajinan, dan makanan.

Lebih jauh, semua pihak yang terkait dengan pembangunan transportasi udara Bandara Notohadinegoro harus selalu mengingat bahwa sasaran pembangunan transportasi udara adalah terjaminnya keselamatan, kelancaran, dan kesinambungan pelayanan. Untuk itu, perlu dipenuhinya standar keamanan dan keselamatan penerbangan yang dikeluarkan oleh International Civil Aviation Organization (ICAO). Selain itu, perlu pula diciptakan iklim persaingan usaha di industri penerbangan yang wajar, transparan, dan akuntabel sehingga perusahaan penerbangan yang ada mempunyai landasan yang kokoh untuk kesinambungan operasi penerbangannya dan tidak ada pelaku bisnis di bidang angkutan udara yang memiliki monopoli.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)