Beranda Bisnis SuaraIndonesia.Info (10 April 2008)

“Red Code” Dan Keadilan

Oleh: Khairunnisa Musari

“Mudah-mudahan akhir dari kasus aliran dana Bank Indonesia (BI) ini seperti kisah film A Few Good Men. Si Prajurit yg melaksanakan perintah “Red Code” dibebaskan dari sanksi pidana, namun tetap dipecat sebagai prajurit (marinir). Karena bagaimanapun mereka sadar bahwa perintah “Red Code” tersebut adalah perintah salah, namun mereka tetap melaksanakan. Dan akhirnya, Komandan yg memerintahkanlah yg diajukan ke pengadilan dan diputuskan salah. Semoga…”

Itulah sebuah komentar yang masuk terkait dengan artikel opini Aliran Dana BI ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di sebuh media cetak nasional. Sejak 14 Februari, 2 pegawai BI ditahan sebagai tersangka kasus tersebut. Masa penahanan semula 20 hari kemudian diperpanjang 60 hari hingga 13 April mendatang. Kini, Calon Gubernur BI sudah terpilih. Gubernur BI Burhanuddin Abdullah pun telah ditahan. Waktu sudah beranjak 2 bulan. Tapi, masih belum ada tersangka baru. Bahkan belum ada satupun anggota DPR yang ditahan. Bagaimana perkembangan kasus itu?
Naas memang nasib Oey Hoey Tiong, Rusli Simanjuntak, dan Burhanuddin Abdullah. Tidak sedikit yang meyakini bahwa mereka memang dikorbankan. Kasus yang sarat muatan politis itu membuat mereka harus menelan pahit dan meringkuk di tahanan. Loyalitas terhadap institusi dan pimpinan, membuat mereka harus menjadi tumbal. Adilkah jika mereka yang harus mempertanggungjawabkan ini semua? Begitu sulitkah mencari siapa penyusun skenario dan oknum-oknum dari rangkaian cerita ini?
Jika mau mengakui, begitu banyak kejanggalan, kebenaran, sekaligus ketidakbenaran yang terbaca dari kasus aliran dana BI. Dalam susunan kepanitian Panitia Sosial Kemasyarakatan, Oey Hoey Tiong dan Rusli Simanjuntak memang berkapasitas sebagai ketua dan wakil ketua. Namun, mereka memiliki 2 orang koordinator yang jelas-jelas memiliki wewenang lebih untuk mengatur kepanitiaan. Kepanitiaan itupun terbentuk melalui sebuah mekanisme Rapat Dewan Gubernur (RDG). Jika dianalogikan, seorang pembantu menjalankan perintah yang tidak benar dari majikan, adilkah jika harus pembantu itu saja yang bertanggungjawab?
Menurut Undang-Undang (UU) yayasan, berbagai pengeluaran dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) jelas merupakan pelanggaran. Pengurus yayasan telah mengeluarkan dana yasasan untuk hal-hal yang di luar maksud dan tujuan pendirian yayasan. Lantas, mengapa tidak ada petinggi yayasan tersebut yang ikut bertanggung jawab terhadap uang yang dikeluarkan? Dalam kasus ini, tugas terberat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah menemukan indikasi penerimaan dana. Anggota DPR yang diceritakan menerima dana tersebut, menolak hasil rekonstruksi pengakuan dari pejabat BI yang tengah ditahan. Alhasil, KPK tidak memiliki petunjuk ke mana aliran dana berikutnya. Jika 2 pegawai BI ini memang berbohong terkait penyaluran dana tersebut, seharusnya Dewan Gubernur BI sejak awal memberikan sanksi kepada mereka. Haruskah KPK hanya menunggu pengakuan dari anggota-anggota DPR atau petinggi-petinggi BI untuk bisa menemukan petunjuk aliran dana tersebut? Jika ini yang terjadi, ibarat seorang otak perampokan yang diminta untuk berkenan mengakui tindakannya.
Ditingkatkannya kasus BI dari hanya sekedar penyelidikan kasus korupsi atau penyelewengan aliran dana menjadi kasus suap atau gratifikasi kepada anggota DPR, harusnya menjadi pembuktian kredibilitas KPK. Tapi jika kasus ini hanya berujung dengan ditahan atau bahkan dihukumnya 3 pejabat BI itu saja, jelas ada yang tidak benar dan tidak adil dari penyelesaian kasus ini.

Mencari keadilan
Banyak yang meyakini bahwa kepentingan 2009-lah yang menjadi think tank dalam kasus aliran dana BI. Strategisnya posisi Gubernur BI membuat banyak kepentingan bermain, berkompromi, dan mengarahkan kemudinya untuk mendukung keberhasilan kepentingan 2009. Bahkan, tidak mustahil, internal BI maupun anggota DPR ada yang menjadi ‘prajurit bayangan’.
Jadi, bagaimana kelanjutan kasus ini, semua masih menunggu tindak lanjut KPK. Semoga, terpilihnya Gubernur BI baru tidak meredam atau membuat lupa KPK atau siapa pun terhadap kasus aliran dana BI yang sudah ‘memakan korban’ ini. Tampaknya, tiga pejabat BI yang sedang ditahan harus banyak bersabar dan berbesar hati menerima kenyataan. Semoga saja jajaran Dewan Gubernur BI atau mantan petingginya atau anggota DPR atau penguasa negeri atau siapa saja yang terkait dengan kasus ini, tergugah untuk memberikan kebenaran dan memperjuangkan keadilan bagi keduanya. Semoga masih ada nurani...
*Peneliti Intitute of Strategic Economics and Finance (INSEF)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)