Beranda Bisnis SuaraIndonesia.Info (10 April 2008)
Menuju Swasembada Kedelai
Oleh Khairunnisa Musari
Oleh Khairunnisa Musari
Upaya yang dilakukan Asosiasi Petani Padi dan Palawija Indonesia (AP3I) di Jember beberapa waktu lalu patut dihargai. Banyaknya wacana dan realita kelangkaan kedelai ditindaklanjuti dengan langkah nyata. Ini awal yang baik untuk meretas diri menuju swasembada kedelai.
Pemerintah memprediksi bahwa krisis pangan berpeluang terjadi pada 2017. Untuk mengantisipasi, Departemen Pertanian (Deptan) pada 2007 membuka lahan persawahan baru seluas 20.000 hektar, terutama di luar Pulau Jawa. Pada 2008, direncanakan akan ada penambahan seluas 50.000 hektar. Namun demikian, mengingat laju pertumbuhan penduduk sekitar 1,3-1,5 persen, tetap saja kemampuan Indonesia dikhawatirkan tidak akan mampu memenuhi kebutuhan pangan 10 tahun mendatang. Saat ini saja, Indonesia secara perlahan dan pasti sudah mengalami krisis pangan (INSEF, 2008).
Bagi Indonesia, kompleksitas ketersediaan pangan tidak dapat dipandang sebelah mata. Fenomena krisis pangan menggugat banyak pihak. Potensi konflik ketimpangan dapat memicu krisis sosial. Banyak masalah komoditas dengan mudah masuk ke dalam ranah ekonomi politik. Krisis pangan dengan segala ikutannya, menegaskan bahwa ekonomi pangan Indonesia membutuhkan kebijakan campur tangan pemerintah.Salah satu penyebab rendahnya kualitas dan kuantitas ekonomi pangan adalah tingkat kesejahteraan petani yang rendah. Secara umum, faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya kesejahteraan tersebut adalah: pertama, sebagian petani miskin karena memang tidak memiliki faktor produksi apapun kecuali tenaganya. Kedua, luas lahan petani sempit dan mendapat tekanan untuk terus terkonversi. Ketiga, terbatasnya akses terhadap dukungan layanan pembiayaan. Keempat, terbatasnya akses terhadap informasi dan teknologi yang lebih baik. Kelima, infrastruktur produksi yang tidak memadai. Keenam, struktur pasar yang tidak adil dan eksploitatori terhadap hasil pertanian (Modjo, 2008).
Membangun kemandirian
Hasil penelitian Food and Agriculture Organization/FAO (2000) menunjukkan bahwa suatu negara dengan jumlah penduduk lebih dari 100 juta orang tidak mungkin atau sulit untuk menjadi maju dan makmur, bila kebutuhan pangannya bergantung pada impor.Hal ini terbukti dengan kelangkaan dan meroketnya harga komoditas pangan di Indonesia atas sejumlah bahan baku utama yang berbasis impor, termasuk kedelai. Indonesia dan hampir semua negara di dunia sangat tergantung pada Amerika Serikat (AS) yang merupakan produsen kedelai terbesar di dunia.
Miris karena Indonesia yang memiliki potensi alam berlimpah tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Tidak bisa tidak, Indonesia sudah sangat mendesak untuk memperbaiki kebijakan kedelai. Perlu reformasi budaya yang membangun kemandirian. AP3I mencoba menuntaskan masalah tersebut dengan meretas Jatim sebagai lumbung swasembada kedelai.
Diperkirakan, kebutuhan kedelai dalam negeri diperkirakan mencapai 2,5 juta ton. Saat ini, hasil produksi kedelai nasional masih berkisar 800 ribu ton (SINDO Jatim, 16 Maret 2008). AP3I menargetkan produksi yang akan dihasilkan 700 ribu ton. Untuk memenuhi kekurangan, AP3I menggandeng petani tebu untuk menanam kedelai di atas lahan tebu dengan sistem tumpangsari. Di Indonesia, diperkirakan ada 400 ribu hektar lahan tebu yang menghasilkan 400 ribu ton kedelai. Dengan varietas kedelai Argopuro, diharapkan mampu mencapai 1 ton. Dengan demikian, pada 2009, Indonesia diproyeksikan menjadi swasembada kedelai.
Memang tidak mudah mewujudkan mimpi indah itu. Beberapa pihak menyangsikan kemampuan pencapaian tersebut. Namun, langkah kongkrit yang dilakukan AP3I untuk menjadikan kedelai sebagai komoditas berekonomi tinggi, patutlah didukung. Untuk itu, peran serta pemerintah sangat besar dalam memberi efek ganda.Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan pemerintah untuk memperbaiki dan meningkatkan ketahanan pangan, termasuk kedelai. Diantaranya: pemerintah perlu mengoreksi kebijakan liberalisasi di sektor pertanian, mengubah paradigma pendorong kemajuan ekonomi, melakukan collective farming, membangun infrastruktur pertanian/perkebunan/kelautan, memberi insentif bagi petani, melakukan reformasi agraria, memperkuat posisi tawar komoditas pangan di pasar internasional, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hijau, membangun jaringan ketahahan pangan, mencegah dan mengurangi laju konversi lahan produktif, mengembangkan sistem informasi pangan, pengembangan program diversifikasi pangan, serta mengembangkan penelitian dan pengembangan.
Salah satu wujud nyata dari strategi tersebut tercermin dari kiprah AP3I. Upaya AP3I untuk membangun semangat petani dalam menanam kedelai menjadi awal yang baik. Membiakkan varietas baru dan meyakinkan petani atas pilihannya menanam kedelai, dilakoni dengan sistem gotong royong. Ini diusung guna membangun kebersamaan agar bangkit serempak. Semoga, sistem tumpangsari tebu dan kedelai dapat menjadi pionir bagi Indonesia untuk menuju swasembada kedelai.
Komentar
Posting Komentar