Sindo Edisi Sore-Opini Sore (26 Maret 2008)

Mengoreksi Globalisasi dan Pasar Bebas

Oleh: KHAIRUNNISA MUSARI

’’...mekanisme pasar merupakan pelayan yang rajin bagi yang kaya, tetapi tak peduli pada yang miskin… mekanisme pasar mendorong perbuatan yang tidak bermoral, hal mana tidak hanya merupakan suatu kegagalan ekonomi, tetapi juga merupakan suatu kegagalan moral….’’ (Robert Heilbroner & Lester C Thurow, 1994).

Menarik membaca artikel ’’Globalisasi dan Kepentingan Nasional’’ (SINDO, 5 Maret 2008) yang mempertanyakan mengapa perluasan pasar yang terjadi akibat liberalisasi dan integrasi antarnegara yang semakin meningkat kini digugat di sana-sini. Tampaknya, pertanyaan tersebut patut direnungkan para petinggi negeri ini. Mungkin benar yang disampaikan, bisa jadi banyak dari kita terobsesi untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi tinggi, yang membutuhkan injeksi modal besar besaran sehingga modal asing harus dibuat tertarik untuk masuk. Mungkin juga benar, banyak dari kita mengikuti doktrin ekonomi yang keliru, yang oleh para ekonom pembangunan diajarkan bahwa globalisasi harus dihadapi dengan strategi membuka diri melalui liberalisasi dan privatisasi besar-besaran.

Ketika calon-calon presiden Amerika Serikat (AS) dari Partai Demokrat menyampaikan pandangan tentang keharusan AS untuk menghitung lebih cermat tentang biaya dan manfaat globalisasi,tampaknya sejumlah ekonom negeri ini mulai terbuka. Setelah sejumlah akademisi Barat, mantan praktisi World Bank dan International Monetary Fund (IMF), serta pemenang Nobel Ekonomi meneriakkan keadilan global dan mengecam perilaku predatori dan eksploitatori dari negara-negara maju, barulah ekonom ini berkenan merenungkan dampak globalisasi dan pasar bebas bagi kedaulatan rakyat.

Peluang dan Ancaman
Manfred B Steger (2002) mengatakan,’’…dalam globalisasi...masyarakat di berbagai belahan dunia terkena pengaruh besar dari perubahan transformasi struktur sosial dan lingkungan kultur.Globalisasi telah memberikan kekayaan dan kesempatan besar bagi sekelompok kecil masyarakat,sementara itu memerosokkan sangat banyak orang ke dalam keterhinaan sebagai orang miskin dan tanpa harapan apa-apa….’’

Memang, globalisasi dan pasar bebas dapat menjadi peluang sekaligus ancaman. Itu semua tergantung pada bagaimana pemerintah melaksanakan tata kelola perekonomian. Melihat rekam jejak Indonesia, boleh jadi pemerintah selama ini termasuk dalam kelompok neoklasik yang mengusung liberalisme dan privatisasi. Kurikulum barat banyak diadopsi dan diterjemahkan sepenuhnya ke dalam kebijakan publik.

Keinginan besar untuk menjadi bagian dari dunia Barat menyebabkan kepentingan dan kesejahteraan rakyat terabaikan. Tidak bisa dimungkiri, ketimpangan struktural terjadi di negeri ini. Peraturan Presiden (Perpres) No 111/2007 merupakan salah satu contoh sumber potensi yang menguatkan itu. Peraturan tersebut memberi keleluasaan bagi asing untuk memiliki aset-aset yang menguasai hajat hidup orang banyak. Investor asing boleh menguasai hingga 99% saham perbankan, maksimum 95% untuk air minum, maksimum 85% untuk sewa guna usaha, maksimum 80% untuk perusahaan asuransi, dan maksimum 65% untuk telekomunikasi.

Jika aset-aset tersebut banyak dikuasai asing, pihak asinglah yang menyetir roda ekonomi sesuai kepentingan dan kebutuhan. Tidak bisa dimungkiri, orientasi keuntungan masih menjadi prioritas utama bagi investor asing dalam ekspansi bisnisnya. Padahal, dalam hal-hal tertentu, rakyat membutuhkan intervensi pemerintah guna memenuhi kebutuhan. Jika semua sudah dikomersialkan dan tak tertanggung oleh rakyat, pemerintah baru campur tangan melalui berbagai macam subsidi. Namun, subsidi itu pun dibebankan kembali kepada rakyat untuk menanggungnya.

Merekonstruksi Paradigma dan Pola Pikir
Upaya peningkatan kesejahteraan rakyat sudah dicanangkan sejak lama. Sewajarnya, pemerintah memiliki kebijakan demikian. Namun, buah implementasi merupakan bukti nyata dari kesungguhan pemerintah dalam melaksanakannya. Merekonstruksi paradigma dan pola pikir merupakan keniscayaan awal untuk mewujudkan. Semua bermuara dari sana. Mungkin masih diperlukan banyak tokoh populer dari Barat lagi yang bisa mengingatkan pemerintah bahwa globalisasi dan pasar bebas kerap merugikan masyarakat lemah di banyak negara.

Di Indonesia, persentase masyarakat miskin yang hidup di pedesaan lebih tinggi daripada di perkotaan. Dapat diduga, sebagian besar dari mereka memiliki kegiatan di bidang pertanian/kehutanan/kelautan atau yang terkait dengannya. Setelah berpuluh-puluh tahun merdeka, nasib kelompok masyarakat ini masih tidak beranjak. Jurang pemisah antara kaya dan miskin semakin dalam. Pertumbuhan ekonomi yang digaungkan sebagai yang tertinggi di dunia selalu menjadi tameng kemajuan ekonomi Indonesia. Keinginan mencapai pendapatan per kapita USD 5.000 sebagai bukti kekuatan ekonomi tidak akan ada artinya jika dikuasai segelintir orang. Semoga pemerintah kita tidak termasuk ke dalam kelompok predatori dan eksploitatori bagi rakyatnya sendiri. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)