Sindo Edisi Sore - Opini Sore (10 Maret 2008)

Defisit Anggaran dan Utang LN

Oleh: Khairunnisa Musari

Pemerintah berencana meningkatkan nilai utang program sebesar Rp 4,7 triliun menjadi Rp 23,7 triliun atau sekitar USD 2,6 juta untuk membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2008. Dalam ekonomi normatif syariah, kebijakan defisit anggaran dan utang luar negeri (LN) yang hampir selalu diambil pemerintah Indonesia ini seharusnya menjadi perilaku yang dihindari.

Kebijakan defisit anggaran memang kerap dilakukan pemerintah Indonesia. Pilihan kebijakan ini diambil dengan argumen untuk menjaga kebijakan fiskal agar sesuai tingkat pertumbuhan ekonomi yang diharapkan. Pemerintah mendesain kebijakan defisit anggaran untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi. Cara umum yang diambil pemerintah untuk menambal defisit anggaran adalah menaikkan pajak, menambah pinjaman luar negeri, pinjaman program, atau pinjaman proyek.

Dalam APBN Perubahan (APBN-P) 2007, utang LN ditetapkan sebesar Rp 42,4 triliun atau bertambah Rp 2,1 triliun dari APBN 2007 yang sebesar Rp 40,3 triliun. Akibat penambahan itu, rasio utang Indonesia terhadap Produk DOmestik Bruto (PDB) 2007 naik dari 35,25% menjadi 35,61%. Untuk 2008, utang LN dalam Rancangan APBN (RAPBN) mencapai Rp 42,9 triliun. Dana terbesar diharapkan berasal dari utang kebijakan pembangunan dan utang pembangunan infrastruktur senilai USD 1,8 miliar. Untuk utang program yang berkenaan dengan perubahan iklim, diharapkan memperoleh USD 300 juta–400 juta.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), pemerintah menetapkan target penurunan rasio utang terhadap PDB sebesar 31,8% pada 2009. Mengecilnya target rasio ini bukan berarti pemerintah ke depan akan menghentikan utang. Namun, pemerintah mengungkapkan akan lebih selektif terhadap utang-utang yang ditawarkan.

Ekonomi Normatif Syariah
Dapat dipahami bahwa defisit anggaran maupun utang LN yang terjadi dalam kebijakan fiskal Indonesia merupakan pilihan lazim pemerintah. Hal ini bukan terjadi tanpa disengaja, melainkan memang disusun sedemikian rupa guna mencapai tujuan- tujuan yang ingin dicapai negara. Dalam ekonomi syariah, negara berkewajiban menjamin seluruh kebutuhan hidup rakyatnya. Rasulullah mengajarkan bahwa kemandirian sebuah negara tergantung kepada kesanggupan pemerintahnya mengumpulkan penerimaan dan mengatur pengeluaran serta mendistribusikannya secara merata guna memenuhi kebutuhan bersama. Dalam menyusun belanja negara, prinsip-prinsip utama yang dipegang Rasulullah, di antaranya: kriteria utama untuk semua alokasi pengeluaran adalah sejahteranya masyarakat, penghapusan kesulitan hidup, kepentingan mayoritas yang lebih besar harus diutamakan daripada kepentingan segolongan minoritas, suatu pengorbanan atau kerugian pribadi dapat dilakukan untuk menyelamatkan pengorbanan atas kerugian umum (Chapra,1999).

Dalam mengalokasikan belanja negara, Rasulullah menetapkan beberapa pos prioritas, yaitu: penyebaran Islam, pengembangan pendidikan dan kebudayaan, membangun ilmu pengetahuan, pembangunan infrastruktur, membangun pertahanan keamanan (hankam), serta penyediaan layanan kesejahteraan sosial (Karim,2006).

Adapun, instrumen kebijakan keuangan negara yang digunakan Rasulullah meliputi peningkatan pendapatan nasional dan tingkat partisipasi kerja, pemungutan pajak untuk terciptanya kestabilan harga dan mengurangi tingkat inflasi, pengaturan anggaran, dan kebijakan fiskal khusus. Dalam mengelola keuangan negara, Rasulullah hanya akan menganggarkan pengeluaran bila ada penerimaan. Rasulullah mengharamkan monopoli, riba, transaksi kali bi kali, mengecam sikap boros, meningkatkan efisiensi sektor swasta, serta meningkatkan penawaran total dan kesejahteraan ekonomi. Rasulullah sangat menghindari utang. Kalaupun berutang, jangka waktu yang ditetapkannya pendek. Hampir tidak pernah terjadi defisit dalam pemerintahan Rasulullah. Dengan tidak ada defisit, berarti tidak ada uang baru yang dicetak dan tidak terjadi inflasi yang disebabkan ekspansi moneter.

Mengubah Paradigma
Ekonomi positif yang dilakukan Rasulullah dapat pula diterapkan pemerintah Indonesia. Paling tidak, norma-norma yang ada bisa menjadi semangat dalam mengelola keuangan negara. Sampai kapan bangsa ini hidup dari utang?

Pembayaran utang LN memakan porsi besar dari APBN. Jika PDB dihabiskan untuk membayar utang, bangsa ini tidak pernah memiliki kemandirian. Jika pembayaran pokok dan bunga utang melampaui anggaran pembangunan dan memakan penerimaan pajak, pembangunan kesejahteraan manusia akan sulit dicapai.
Kebijakan defisit anggaran terus berulang, tapi kemiskinan masih mendera bangsa ini. Hal yang semakin terbukti adalah defisit anggaran meningkatkan utang. Kini, tinggal komitmen dan keberpihakan pemerintah berupaya keras mengubah paradigma defisit anggaran sebagai stimulus pertumbuhan. Jika menambal defisit dengan utang LN yang mematok bunga, bangsa ini akan terus terpuruk. Semoga bangsa ini masih punya malu untuk menjadikan budaya berutang sebagai identitas diri.(*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)