(Catatan Refleksi 1 Juni Hari Lahir Pancasila) Ekonomi Nano, Ekonomi Kerakyatan Pasca Pandemi (Portal Jember, Opini, 1 Juni 2020)
https://portaljember.pikiran-rakyat.com/opini/pr-16392575/refleksi-hari-lahir-pancasila-1-juni-ekonomi-nano-ekonomi-kerakyatan-pasca-pandemi
Oleh:
“Jadi ada tiga kunci untuk pemulihan ekonomi saat new normal, yaitu digitalisasi
bagi UMKM, kemudian membangun ekonomi daerah, dan ekonomi kreatif….”
Demikian disampaikan Ketua Umum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI)
yang juga Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, dalam Silaturahmi ISEI dan
Halal Bihalal Idul Fitri 1441H/2020 dihadapan 600 lebih pengurus ISEI dari
seluruh Indonesia secara virtual.
Sebelum Pak Perry menyampaikan tiga resep pemulihan ekonomi pada era new normal, para pelaku
usaha di daerah telah mulai mengadopsinya. Upaya beradaptasi dengan situasi pandemi
membawa sejumlah perubahan dalam kegiatan ekonomi di masyarakat.
Setidaknya di daerah saya, Lumajang, kini telah hadir aplikasi Bantu
Ibu yang membantu para pedagang di pasar tradisional untuk berjualan secara digital.
Barang jualannya mulai dari berbagai jenis ikan asin, cumi-cumi, udang, tahu,
tempe sampai cabai, bawang putih dan merah, serta aneka buah-buahan.
Bagi para Ibu di rumah, terutama para Ibu pekerja, tentu sangat
terbantu dengan aplikasi Bantu Ibu sehingga waktunya lebih hemat.
Inilah usaha nano yang berpadu dengan teknologi yang merupakan wujud
ekonomi kerakyatan pada era new normal.
Usaha Nano
Ya, saya menyebutnya demikian. Belum ada kriteria baku untuk mengidentifikasi
usaha nano yang terkadang disebut juga sebagai usaha super mikro atau ultra
mikro.
Usaha nano umumnya memiliki nilai kekayaan bersih paling banyak Rp10 juta,
tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, dan/atau hasil penjualan tahunan
paling banyak anggap saja Rp 100juta.
Merujuk Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2008, usaha mikro memiliki kriteria
nilai kekayaan bersih paling banyak Rp50 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300 juta.
Realita di lapangan, terlebih di daerah, banyak usaha yang kerap
disebut usaha mikro tetapi aset dan hasil penjualannya jauh dibawah kriteria UU
Nomor Tahun 2008 tersebut. Pada konteks inilah, usaha mikro jika diklasifikasikan
lebih spesifik sesungguhnya dapat memunculkan kategori baru, yaitu usaha nano, bahkan
juga usaha piko.
Tidak ada yang memungkiri, krisis yang terjadi sebagai dampak ikutan
dari pandemi Covid-19 menjadikan usaha mikro kecil menengah (UMKM) sebagai
sektor usaha yang paling terpukul. Di masa lalu, saat krisis terjadi, UMKM
justru yang menjadi lokomotif dalam pemulihan perekonomian.
Namun demikian, melalui riset sederhana dengan menggunakan accidental sampling pada media
sosial maupun dunia nyata ketika harus ke luar rumah, bermunculan usaha-usaha
nano baru berbasis digital. Bahkan, menariknya, usaha-usaha nano tampak lebih bertahan
ketimbang usaha-usaha yang termasuk kategori UMKM.
Ada dua hipotesis yang mengerucut dari riset sederhana pada kegiatan ekonomi
yang bergerak pada usaha nano saat pandemi tersebut.
Pertama, berbelanja di warung tetangga kini menjadi pilihan.
Kedua, usaha nano yang memanfaatkan digital cenderung survive, dan meluas pasarnya.
Belakangan, bahkan bermunculan
wajah lain usaha nano pada era new normal berupa kegiatan ekonomi rumah
tangga untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga itu sendiri dalam rangka menjaga ketahanan
pangan dan keuangan keluarga yang terdampak pandemi. Jika persediaan berlebih,
mereka kemudian membagikannya kepada tetangga.
Pembiayaan Nano
Seperti halnya usaha nano, istilah pembiayaan
nano (nanofinance) juga belum banyak dikenal. Nanofinance adalah paradigma baru. Kehadirannya melengkapi keterbatasan microfinance dalam menjangkau kelompok
masyarakat miskin. Misi utamanya adalah menghindarkan mereka terjerat
rentenir, mendorong untuk mandiri dan mampu memenuhi kebutuhan minimum serta
menjalani kehidupan yang layak.
Bagi masyarakat miskin, keterbatasan mengakses fasilitas perbankan menghadirkan tiga opsi ketika
berhadapan dengan kebutuhan darurat.
Pertama, mencari pinjaman kepada saudara atau teman.
Kedua, mencari pinjaman pada lembaga keuangan mikro (LKM).
Ketiga, mencari pinjaman kepada lembaga nonformal atau individu yang memang
menawarkan jasa pinjaman.
Bila opsi pertama terpenuhi, masalah sementara
mungkin akan selesai. Bila opsi pertama tidak terpenuhi, maka mereka akan
berpindah ke opsi kedua atau ketiga.
Sejumlah studi di beberapa negara Asia, termasuk di
Indonesia, menunjukkan bahwa opsi ketiga adalah pilihan yang kerap ditempuh
oleh masyarakat miskin. Kelompok masyarakat menengah juga kerap memilih
pembiayaan dari opsi ketiga.
Pada tataran inilah yang menjadi sinyal bahwa LKM tidak sepenuhnya menjadi jalan keluar bagi
kelompok masyarakat menengah ke bawah.
Kerap kali pula, kebutuhan
dana mereka tidak mencapai nilai minimal pembiayaan mikro yang disediakan LKM
atau perbankan.
Ekonomi Nano untuk New
Normal
Berkenaan dengan Peringatan
1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila, salah satu yang mungkin dapat
direfleksikan adalah memberi perhatian kepada ekonomi nano sebagai wujud ekonomi
kerakyatan new normal yang dapat menjawab pemulihan ekonomi pasca pandemi.
Sejatinya ekonomi nano memang bukanlah benar-benar
baru. Sektor usaha ini sudah ada sejak lama dan sudah dilaksanakan oleh sebagian besar
masyarakat Indonesia, terutama masyarakat pedesaan. Sayang, keberadaannya
sering tidak tampak dan terabaikan.
Ya, pandemi ternyata membawa
cerita tentang ekonomi nano yang menjadi ujung tombak ekonomi keluarga.
Untuk itu, ekonomi nano yang termasuk didalamnya
adalah usaha dan pembiayaan nano, dapat menjadi agenda tambahan dalam menyusun strategi
pemulihan ekonomi pada era new normal dengan memfokuskan pada penguatan
ekonomi rumah tangga.
Jelas, ketahanan keluarga adalah modal bagi ketahanan
sosial. Pada akhirnya, ketahanan sosial akan membawa ketahanan ekonomi yang merupakan
modal pembangunan.
Wallahua’lam bish showab.
Komentar
Posting Komentar