Emansipasi Perempuan di Tengah Pandemi (Banjarmasin Post, Tribun Forum, 22 April 2020, Hlm. 8)
Oleh: Khairunnisa Musari
Peringatan Hari Kartini tahun ini
menginjak usia ke-141. Kartini direfleksikan sebagai simbol perjuangan
perempuan Indonesia dalam mengangkat harkat martabatnya. Salah satu karakter
Kartini yang cukup menonjol adalah kegemarannya membaca dan menulis. Pada tataran
inilah Kartini memberi teladan bagaimana perempuan yang memiliki pengetahuan dapat
memberi makna lebih baik bagi kehidupan.
Nun jauh berabad-abad sebelum Kartini
lahir, di ujung utara bagian barat Afrika, kehadiran Fatimah al-Fihri juga menjadi
inspirasi bagaimana perempuan mampu menjadi agen peradaban. Jika Kartini membuka
jalan bagi perempuan Indonesia untuk mengakses pendidikan dan berpartisipasi dalam
kegiatan publik, Fatimah membuka jalan bagi berkembangnya tradisi keilmuan
secara kelembagaan melalui institusi perguruan tinggi.
Berawal dari sebuah masjid, Universitas Qarawiyyin
yang dibangun Fatimah menjadi universitas tertua di dunia, jauh lebih tua
daripada Universitas Al Azhar di Mesir, Universitas Bologna di Italia, Universitas
Paris di Perancis, terlebih Universitas Oxford di Inggris.
Perempuan, Emansipasi, dan Ketahanan
Keluarga
Dalam konteks
Indonesia, kehadiran Kartini tidak bisa dipisahkan dari isu emansipasi perempuan.
Emansipasi pada masa Kartini dapat dimaknai sebagai perjuangan untuk mendapat persamaan
hak bagi perempuan.
Mengutip Prof.
Sri-Edi Swasono dalam Bung Hatta Bapak Kedaulatan Rakyat, emansipasi harus
ditegakkan untuk mengakhiri masa jajahan. Masa jajahan adalah masa subordinasi,
diskriminasi, dan humiliasi di segala bidang kehidupan.
Hari ini, emansipasi
dapat dimaknai lebih beragam. Salah satunya adalah proses pemberdayaan kekuatan
diri guna aktualisasi. Dalam situasi pandemi saat ini, emansipasi dapat
dimaknai sebagai pemberdayaan yang muncul dari keinginan masyarakat sendiri untuk
menemukan kekuatan sehingga dapat mengaktualisasikan diri di tengah masyarakat.
Pada tataran
inilah, emansipasi perempuan dalam menghadapi pandemi menjadi pengejawantahan
emansipasi yang diusung Kartini, yaitu menjaga ketahanan keluarga.
Ketahanan keluarga
dapat dimaknai sebagai suatu kondisi kemampuan keluarga untuk memiliki kecukupan
dan keberlanjutan akses terhadap pendapatan dan berbagai sumber daya guna memenuhi
kebutuhan dasar secara mandiri lalu mengembangkannya untuk hidup sejahtera, bahagia,
dan harmonis.
Ketahanan keluarga
kerap diidentikkan pula sebagai ketahanan sosial. Pasalnya, sebagai sistem
sosial terkecil, keluarga adalah pertahanan pertama yang menjadi penangkal atau
pelindung dari berbagai permasalahan atau ancaman, baik dari dalam atau luar
keluarga kepada anggotanya.
Selain itu,
kelembagaan keluarga sesungguhnya adalah modal sosial pembangunan. Itulah sebabnya
tulang punggung pembangunan manusia adalah keluarga. Merujuk maqasid syariah,
setidaknya ada lima indikator yang dapat menjadi dimensi pengukur ketahanan
keluarga. Yaitu, ketahanan akidah, ketahanan jiwa. ketahanan akal, ketahanan keturunan,
dan ketahanan aset atau harta.
Merujuk Peraturan Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
2013 tentang Pelaksanaan Pembangunan Keluarga, ada empat aspek ketahanan untuk
pembangunan keluarga. Yaitu, ketahanan fisik, ketahanan ekonomi, ketahanan
sosial psikologi, dan ketahanan sosial budaya.
Pandemi sebagai
Momentum
Pandemi tidak hanya
membawa cerita indah tentang hubungan keluarga yang semakin hangat karena frekuensi
pertemuan yang intens. Pandemi juga membawa kisah sedih tentang tulang punggung
keluarga yang dirumahkan tanpa gaji, diberhentikan atau berjualan tiada pembeli.
Pandemi kadang juga
menjadi kisah miris tentang kepala keluarga yang justru melakukan kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT) karena bertemu setiap hari dengan anggota keluarga
atau malah memilih jalan pintas karena utang dan biaya hidup yang tak bisa ditanggung.
Bahkan, pandemi
juga menjadi tangis ketika anggota keluarga yang berprofesi sebagai tenaga
medis harus terinfeksi dan meninggalkan keluarga selamanya.
Ya, pandemi Covid-19
memberi banyak makna. Memberi banyak hikmah. Dan memberi banyak ruang untuk
kita menjadi pribadi yang harus beradaptasi dengan situasi baru. Meski pandemi berlangsung
sementara, tetapi proses yang terjadi pada masa tersebut dapat memberi dampak jangka
panjang bagi kehidupan selanjutnya.
Perempuan harus
mengambil peran dalam situasi ini, terutama dalam menjaga ketahanan keluarga.
Kondisi ini tidak mungkin mengandalkan negara semata. Unsur non-negara juga
harus hadir dan mengambil peran, termasuk lembaga keluarga sebagai unit
terkecil dari masyarakat.
Pandemi memberi setidaknya
lima momentum bagi perempuan yang tidak boleh dilewatkan. Pertama,
meningkatkan pengetahuan agama anggota keluarga dan kepatuhannya serta memperbesar
peran agama dalam memaknai situasi yang berlangsung hari ini dan yang akan
datang.
Kedua, merevisi rencana anggaran belanja hingga akhir tahun
dengan memprioritaskan belanja tetap yang tidak mungkin dihilangkan. Termasuk
mengagendakan dana darurat dalam perencanaan keuangan keluarga di masa depan.
Ketiga, meningkatkan interaksi dan komunikasi berkualitas
dalam keluarga untuk memperkuat ikatan hati dan kesepahaman akan visi misi
keluarga, termasuk juga dalam mencegah anggota keluarga terpapar virus Corona
atau penyakit lainnya melalui kesepakatan-kesepakatan yang dibangun bersama
untuk menjaga kesehatan.
Keempat, mengenali potensi krisis bagi keluarga, termasuk
tekanan-tekanan yang terjadi, serta potensi kerentanan bagi anggota keluarga
dalam menghadapi krisis guna mencegah kemungkinan dampak yang lebih jauh.
Kelima, menggali potensi diri, termasuk minat dan
keterampilan, dari anggota keluarga untuk dikembangkan sebagai kompetensi atau
peningkatan kapasitas diri sehingga dapat menjadi jalan keluar atau alternatif
yang dapat dilakukan ketika mata pencarian utama mengalami gangguan.
Wallahua’lam bish showab.
Komentar
Posting Komentar