Mewaspadai Properti Syariah Bodong (Jawa Pos Radar Jember, Perspektif, 6 Maret 2020)





“Bu Is, tolong telpon saya diangkat…”

            Demikian Pak M. Fathorrazi, Ketua Program Studi (Kaprodi) Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Jember (Unej) yang juga Sekretaris Umum Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) Jawa Timur, memberi pesan pada grup media sosial sekitar pukul 9 malam. Handphone saya memang hampir selalu dalam keadaan silent. Juga hampir selalu dalam keadaan off saat di rumah. Namun, hari itu, saya menjanjikan untuk aktif 24 jam agar teman-teman IAEI dan media dapat menghubungi saya bila membutuhkan data atau informasi terkait siaran pers yang kami sebarluaskan.
Selang setengah jam kemudian, usai membaca pesan, saya menghubungi Pak Rozi, demikian beliau kerap dipanggil. Pak Rozi mengatakan bahwa handphone beliau tidak berhenti berdering sejak siang hingga malam lantaran nama beliau dijadikan salah satu personal in contact (PIC) pada siaran pers IAEI Jawa Timur tentang “Sikap dan Rekomendasi IAEI Jawa Timur terhadap Kasus Properti Syariah”. Mereka yang menghubungi beliau, ada yang mendukung, juga ada yang keberatan. Tidak tanggung-tanggung, yang menghubungi Pak Rozi bukan saja pihak-pihak yang berada di wilayah Jawa Timur, tapi juga yang berada di sekitaran Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek).
Ya, sebagaimana diduga, siaran pers yang dirumuskan dan disepakati dalam focus group discussion (FGD) pengurus DPW dan komisariat-komisariat IAEI Jawa Timur hari itu mengandung konsekuensi. Syukurlah, dua hari berselang, Real Estate Indonesia (REI) Jawa Timur menyelenggarakan Dialog Properti Syariah dengan mengundang sejumlah media. Berikutnya, Pimpinan Wilayah (PW) Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Jawa Timur juga mengirimkan surat kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur dan REI Jawa Timur tentang sikap dan rekomendasi terkait kasus properti syariah. Apa yang diuraikan oleh REI Jawa Timur dan MES Jawa Timur senada serta menguatkan sikap dan rekomendasi IAEI Jawa Timur.

Kasus Properti Syariah

Apa yang dilakukan IAEI Jawa Timur, REI Jawa Timur, dan MES Jawa Timur adalah respon atas bermunculannya sejumlah kasus penipuan properti syariah di sekitaran Jabodetabek yang kemudian meluas hingga ke Jawa Timur. Dalam rangka menyikapi keresahan masyarakat atas pemberitaan tersebut, juga mempertimbangkan maraknya penawaran properti syariah di berbagai wilayah Jawa Timur, maka IAEI Jawa Timur merasa perlu hadir untuk menyampaikan sikap dan rekomendasi guna meredakan dan meluruskan persoalan tersebut. 
Industri Properti Syariah memang menggeliat dalam lima tahun terakhir. Hingga pada penghujung 2019, Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya mengungkap dua kasus penipuan penjualan rumah syariah. Sebagaimana pemberitaan, bulan November 2019, kasus pertama menipu 270 orang dengan total kerugian mencapai Rp 23 miliar. Perumahan syariah dijanjikan akan dibangun di lima lokasi, yakni dua perumahan di kawasan Bogor, satu di Bekasi, satu di Bandung, dan satu perumahan di Lampung. Bulan Desember 2019, kasus kedua menipu 3.680 korban dengan total kerugian mencapai Rp 40 miliar. Perumahan syariah pada kasus kedua ini rencananya akan dibangun di daerah Tangerang Selatan dan Banten.
 Membuka 2020, penggiat ekonomi syariah di Jawa Timur dikejutkan kembali oleh kasus penipuan properti syariah di Sidoarjo. Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Surabaya mengungkap status lahan yang dipasarkan untuk pembangunan perumahan merupakan milik orang lain yang disewa oleh pelaku penipuan. Bahkan, sebagian lahan tersebut masih berupa rawa, sementara sisanya sudah dilapisi paving block.   
Hasil FGD IAEI Jawa Timur menemukan tindak promosi yang banyak digunakan oleh developer properti syariah diantaranya adalah ‘Murah’, ‘Berkonsep Syariah’, ‘Bebas Riba’, ‘Pembelian Angsuran’, ‘Tidak Ada Bunga Kredit’, ‘Tidak Melibatkan Bank’, ‘Tidak ada BI Checking’, ‘Tidak Ada Denda Keterlambatan’ dan ‘Tidak Mengenal Sita’. Ya, umumnya operasi properti syariah tidak melibatkan pihak ketiga, baik itu pemerintah maupun lembaga keuangan. Developer properti syariah tidak memakai modal dari perbankan. Mereka mengelola cash flow dari dana booking fee, uang muka, angsuran, dan sebagainya untuk membangun rumah. Mereka bekerjasama dengan pemilik lahan dan menjanjikan bagi hasil dari keuntungan penjualan rumah. Proses jual beli langsung dilakukan antara pembeli dengan developer.

Meningkatkan Literasi

IAEI Jawa Timur menghimbau kepada masyarakat untuk meningkatkan literasi terkait ekonomi dan bisnis syariah, termasuk didalamnya adalah perumahan atau properti syariah. Masyarakat ke depan diharapkan memperhatikan reputasi dan legalitas developer sebagai bentuk kehati-hatian meski produk yang ditawarkan berlabel syariah.
Selain itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diharapkan juga ikut hadir untuk meningkatkan literasi investasi terkait properti syariah kepada masyarakat dan mendorong bank syariah untuk berpartisipasi dalam pembiayaan properti syariah, baik komersil dan bersubsidi. Yang terpenting, OJK hadir dalam rangka perlindungan konsumen sesuai amanat Undang-Undang (UU) OJK.
Kepada Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) diharapkan untuk menerbitkan fatwa DSN-MUI tentang perumahan atau properti syariah dan investasi yang terkait dengannya. Ke depan, diharapkan DSN-MUI juga menerbitkan sertifikasi bagi developer dan agen perumahan syariah serta mewajibkan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) bagi developer perumahan atau properti syariah.
Kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), diharapkan pula ikut mengedukasi masyarakat tentang prosedur pembelian properti syariah, menetapkan persyaratan kualifikasi bagi developer properti syariah serta mempublikasi developer yang legal.
Ya, pesatnya perkembangan ekonomi syariah membuka peluang untuk terjadinya moral hazard. Terlebih, gaya hidup halal kini menjadi tren dan menjadi pasar prospektif. Masyarakat perlu memiliki literasi bahwa ekonomi syariah tidak cukup hanya memiliki embel-embel ‘Syariah’. Syariah sejatinya menawarkan keamanan dan perlindungan. Kasus bodong berlabel ‘Syariah’ sudah menciderai gerakan-gerakan ekonomi syariah yang selama ini dibangun. Untuk itu, mari saling menjaga agar tidak sampai nila setitik membuat rusak susu sebelanga. Wallahu’alam bish showab.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)