QRIS, Behavioral Economics, dan Literasi Keuangan Digital (Banjarmasin Post, Tribun Forum, 11 Februari 2020. Hlm. 6)

 Baca Koran

Oleh: Khairunnisa Musari*

Bank Indonesia telah resmi memberlakukan Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS) pada 1 Januari 2020. QRIS adalah QR code berstandar nasional yang berfungsi sebagai alat pembayaran. QRIS adalah jawaban Bank Indonesia atas perkembangan inovasi teknologi dan maraknya kanal pembayaran berbasis QR code.
Seiring kian beragamnya alternatif sistem pembayaran digital, hal yang tidak boleh diabaikan oleh Bank Indonesia adalah meningkatkan literasi keuangan digital. Berlakunya QRIS dapat menjadi momentum untuk digiatkannya literasi keuangan digital. Literasi ini bukan sekedar agar masyarakat melek tentang alat-alat pembayaran non tunai digital semata, tetapi juga tentang bagaimana menghadapi era keuangan digital, termasuk mengelola dompet digital dan menjaga keamanan data serta perangkat keuangan digital.
Melihat perkembangan peer-to-peer (P2P) lending berbasis teknologi digital yang memakan sejumlah korban, maka sistem pembayaran digital perlu pula mengantisipasinya. Merujuk behavioral economics, manusia dapat tidak rasional dan kerap memasukkan unsur emosi dalam mengambil keputusan ekonomi. Sementara, berbagai kemudahan dalam sistem keuangan digital berpeluang mengubah atau menggeser perilaku penggunanya dengan cepat. Pertanyaannya, perilaku tersebut akan mengarah pada perilaku seperti apa?

Behavioral Economics

Behavioral economics adalah cabang baru dalam ilmu ekonomi yang membantu menjelaskan mengapa pengambilan keputusan ekonomi dapat saja dikacaukan oleh bias atau kesalahan berpikir yang berulang karena terperangkap kekeliruan atau tertipu oleh ilusi. Behavioral economics menunjukkan bahwa manusia nyatanya tidak selalu rasional dan objektif.
Dalam cabang ilmu ekonomi ini dikenal herd behavior. Yaitu, perilaku mengambil keputusan yang didasarkan atas perilaku orang lain. Manusia ternyata punya kecenderungan untuk bersikap latah. Pilihan-pilihan individu terkadang diambil karena meniru individu lain. Hal ini pula yang mungkin dapat menjelaskan mengapa tingkat literasi keuangan di Indonesia jauh lebih rendah daripada tingkat inklusi keuangan.
Selain itu, terdapat survivor bias. Yaitu, perilaku mengambil keputusan yang didasarkan atas data yang tidak valid. Kesimpulan yang diambil merujuk pada kepalsuan statistik sehingga menggeneralisirnya. Hal ini juga yang mungkin dapat menjelaskan mengapa investasi bodong atau P2P lending ilegal tetap dapat memikat masyarakat berdasarkan testimoni satu atau dua orang meski korban yang berjatuhan jauh lebih banyak.
Terkait dengan sistem pembayaran digital, masyarakat harus diedukasi untuk dapat menentukan pilihan alat pembayaran yang sesuai dengan kebutuhan dan karakter diri. Pada prinsipnya, semua alternatif alat pembayaran bertujuan untuk memudahkan masyarakat bertransaksi keuangan. Namun, ketidaktepatan menentukan alat pembayaran justru dapat mempersulit diri, bahkan dapat menimbulkan ketidakbaikan bagi penggunanya.
Penggunaan alat pembayaran digital terkadang bukan berlatar faktor kebutuhan atau kesadaran karena pemahaman yang memadai, melainkan herd behavior atau survivor bias sehingga cukup iming-iming promo atau cashback membuat penggunanya langsung mengambil keputusan bertransaksi. Jelas, berbagai kemudahan alat pembayaran digital dengan sejumlah alternatifnya bukan tidak mengandung resiko. Salah satunya adalah kemungkinan memanfaatkan pembiayaan berbasis teknologi digital untuk mengisi dompet digital.
Ya, aplikasi penyedia jasa sistem pembayaran (PJSP) kerap bekerja sama dengan pihak ketiga untuk menyediakan dana talangan. Pembayaran dengan menggunakan dana talangan ini sebenarnya adalah kredit. Pengguna alat pembayaran digital yang memanfaatkan pihak ketiga ini jika tidak diikuti oleh rasionalitas dan objektifitas dapat terjerat pada jebakan utang digital.
Behavioral economics membantu mengingatkan bahwa pesan otoritas terhadap QRIS dan layanan non tunai digital tetap memiliki peluang untuk diterjemahkan berbeda oleh sebagian masyarakat. Secara prinsip, transaksi tunai dan non tunai adalah sama-sama melakukan pembayaran, hanya prakteknya yang berbeda. Meski hal ini sangat mudah dipahami, namun secara psikologis terdapat perbedaan ketika melakukan pembayaran secara tunai dan non tunai berbasis digital. Hal ini yang menjadikan kebijakan tidak boleh bekerja sendiri, tetapi juga harus bersinergi dengan para pemangku kepentingan berupaya meningkatkan literasi.

Literasi Keuangan Digital

Kehadiran teknologi digital terus menawarkan alternatif baru yang semakin efisien dalam transaksi pembayaran. Layanannya cenderung lebih murah, lebih praktis, lebih transparan, mengurangi friksi transaksi, dan konektivitas yang lebih luas. Namun, dalam konteks Indonesia, kehadiran layanan non tunai digital bersifat opsional meski ke depan terus didorong untuk membesar porsinya karena kebermanfaatannya yang lebih besar.
Namun, lagi-lagi behavioral economics mengingatkan bahwa pesan layanan non tunai digital dapat diterjemahkan berbeda oleh sebagian masyarakat. Selain dimungkinkannya terjadi pengambilan keputusan karena herd behavior atau survivor bias, juga implikasi ketika terjadi kerugian akan menimbulkan loss aversion sehingga mengalami keraguan atau ketakutan untuk mengambil keputusan strategis ke depannya.
Jelas, teknologi pembayaran digital berpotensi menimbulkan fragmentasi baru pada industri sistem pembayaran. Cara pembayaran ini mendorong efisiensi perekonomian, memajukan usaha mikro kecil menengah (UMKM), dan mempercepat keuangan inklusif sehingga akseptasi pembayaran non tunai nasional yang lebih efisien akan tercapai.
Tetapi, literasi keuangan digital tidak boleh diabaikan. Jika masyarakat paham, bijak, dan dapat mengelola alat pembayaran digital dan keuangan digital, tentu manfaat yang akan banyak diperoleh. Namun, bila sebaliknya yang terjadi, maka akan dengan mudah justru terjebak pada perangkap keuangan digital. Wallahua’lam bish showab. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

Belajar dari Wu Da Ying (1) (Jawa Pos Radar Jember, Perspektif, 7 Juli 2017, Hlm. 21 & 31)