Asuransi Syariah Menjelang Spin-Off 2024, Peluang dan Tantangan (INSIGHT, Bulletin of KNEKS, Edition 9, February 2020. Hlm. 17-20_
Oleh:
Mencuatnya
kasus gagal bayar yang dialami perusahaan asuransi
berpelat merah berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap industri
asuransi, termasuk Asuransi Syariah. Untuk itu, pemerintah berencana
mengubah sejumlah undang-undang (UU) di
sektor keuangan, termasuk aturan pada
bidang asuransi. Hal
ini menjadi hikmah bagi Asuransi Syariah. Pasalnya, meski sudah
terdapat sejumlah regulasi yang memadai, namun keberadaannya masih belum cukup
untuk terus mendorong pertumbuhan industri asuransi. Terlebih
bagi Asuransi Syariah yang membutuhkan penguatan regulasi dan kelembagaan menjelang
spin-off 2024.
Berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, Pasal 87 menyebutkan perusahaan
perasuransian yang menjalankan sebagian kegiatan usaha dengan prinsip syariah
diwajibkan untuk melakukan spin-off tepat 10 tahun setelah UU tersebut
ditetapkan atau jika dana tabarru' dan dana investasi peserta Unit
Syariah telah mencapai paling sedikit 50% dari total nilai dana asuransi, dana tabarru',
dan dana investasi peserta pada perusahaan induknya. Artinya, mulai 2024, sudah tidak ada lagi Unit Syariah di Indonesia. Semua Unit
Syariah harus
bertransformasi menjadi Perusahaan Asurasi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah atau mentransfer
portofolio syariahnya pada perusahaan perasuransian syariah lain
dan mengembalikan ijin Unit Syariah kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) .
Spin-off bagi
perusahaan perasuransian bukan hal mudah, terutama bagi perusahaan yang memiliki Unit Syariah kecil
atau yang perusahaan induknya bukan perusahaan besar. Pasalnya, perusahaan
harus melakukan penambahan modal terhadap perusahaan perasuransian syariah baru
hasil spin-off. Merujuk
Peraturan
OJK (POJK)
Nomor 67 Tahun
2016, Perusahaan Asuransi Syariah baru harus memiliki modal
disetor sejumlah Rp100 miliar dan
Perusahaan Reasuransi Syariah sejumlah Rp175 miliar pada
saat pendirian. Ekuitas Perusahaan Asuransi Syariah hasil spin-off
setelah menerima pengalihan portofolio dari Unit Syariah minimum Rp50 miliar dan Perusahaan Reasuransi Syariah minimum
Rp100 miliar. Belum lagi ketentuan lain yang harus dipenuhi
sebagai suatu perusahaan yang berdiri
sendiri atau terpisah dari perusahaan induknya.
Meski spin-off tampaknya
menyulitkan dan berpotensi memperamping industri perasuransian syariah,
namun aturan ini sejatinya
membuka jalan bagi
penguatan industri melalui penambahan modal dan pengalihan portofolio yang dapat
meningkatkan size perusahaan. Hampir 70% Perusahaan Asuransi Syariah di Indonesia memiliki
modal < Rp50 miliar. Dengan spin-off, Perusahaan Asuransi Syariah ke depan diharapkan dapat lebih
mandiri dan lebih fokus dalam memperluas bisnis dan menjalankan
operasionalnya.
Lalu, bagaimana sebenarnya kinerja
industri Asuransi Syariah saat
ini? Apa dasar dan legitimasi perlu dihadirkannya Asuransi Syariah? Bagaimana
peluang dan tantangan industri Asuransi Syariah menjelang berlakunya spin-off?
Tulisan ini akan mencoba
menguraikannya.
Kinerja
Pada Industri Keuangan
Non-Bank (IKNB) Syariah di Indonesia, pangsa pasar
industri Asuransi Syariah menguasai hingga 58,8% sekaligus menempati peringkat
pertama. Disusul Lembaga Pembiayaan Syariah menempati peringkat kedua dengan
pangsa sebesar 32,1%.
Statistik IKNB Syariah per November 2019 menunjukkan aset Perusahaan Asuransi Syariah telah menembus Rp44.751 miliar dengan kontribusi Asuransi
Jiwa Syariah sebesar 82,6%, Asuransi Umum Syariah 13%, dan sisanya Reasuransi Syariah
4,4%. Berdasarkan
sumber data yang sama, diketahui investasi
Asuransi Syariah sebagian besar disalurkan pada Pasar Modal, terutama pada
Saham Syariah, Sukuk Negara, dan Sukuk Korporasi.
Nilai investasi Asuransi Syariah pada Pasar Modal mencapai 81,4% yang
didominasi Saham Syariah hingga 45,2% dan Sukuk Negara sebesar 20,6%. Sedangkan nilai
investasi Asuransi Syariah pada Perbankan Syariah sebesar 17,9% dan seluruhnya
dalam bentuk deposito. Investasi Asuransi Syariah lainnya sebesar 0,7%
tersalurkan diantaranya pada emas murni, penyertaan langsung atau bangunan dengan
hak strata atau tanah dengan bangunan untuk investasi.
Merujuk data Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) per Juli 2019,
terdapat 63 Perusahaan Asuransi Syariah, Reasuransi Syariah maupun Unit Syariah
dari Asuransi dan Reasuransi di Indonesia. Data tersebut juga
menunjukkan masih ada 50 Unit Syariah yang harus melakukan spin-off dalam kurun waktu
4 tahun ke depan.
Tentu saja ini merupakan pekerjaan rumah yang cukup
besar bagi industri Asuransi Syariah.
Jumlah
Pemain Asuransi Syariah
Per Juli
2019
No.
|
Perusahaan
|
Total
|
1
|
Perusahaan
Asuransi Jiwa Syariah
|
7
|
2
|
Perusahaan
Asuransi Umum Syariah
|
5
|
3
|
Unit Syariah
Asuransi Jiwa
|
23
|
4
|
Unit Syariah
Asuransi Umum
|
25
|
5
|
Perusahaan
Reasuransi Syariah
|
1
|
6
|
Unit Syariah
Reasuransi
|
2
|
Total
|
63
|
Sumber: AASI (2019)
Dasar dan Legitimasi
Pertanyaan atau perdebatan
apakah Asuransi Syariah bertentangan dengan ajaran Islam, maka hal ini sejatinya sudah selesai dengan hadirnya Fatwa Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman
Umum Asuransi Syariah. Fatwa ini memang hadir untuk memenuhi kebutuhan dan menjawab
pertanyaan masyarakat Muslim tentang Asuransi, termasuk untuk meluruskan pandangan tentang Asuransi Syariah yang dinilai tidak
berbeda dengan Asuransi Konvensional.
Merujuk Fatwa DSN-MUI Nomor
21 tersebut, Asuransi Syariah adalah usaha
saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui
investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola
pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai
dengan syariah. Adapun akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud adalah
yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian),
riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan
maksiat. Fatwa ini menyetarakan asuransi syariah dengan ta’min (melindungi), takaful
(saling menjamin) atau tadhamun (saling menanggung).
Perintah Allah dalam QS.
al-Hasyr [59]: 18 menjadi rujukan pertama dalam Fatwa DSN-MUI yang menimbang
perlunya Asuransi Syariah, “Hai orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap
diri memperhatikan apa yang telah dibuat untuk hari esok (masa depan). Dan
bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” DSN-MUI menilai
bahwa menyongsong masa depan dan upaya mengantisipasi kemungkinan terjadinya
resiko dalam kehidupan ekonomi yang akan dihadapi, maka perlu dipersiapkan
sejumlah dana tertentu sejak dini. Salah satu upaya untuk memenuhi hal tersebut
adalah melalui Asuransi.
Peluang Asuransi Syariah
Meski banyak yang harus disiapkan,
namun sejatinya spin-off akan mendorong industri Asuransi Syariah menjadi lebih fokus, sehat, dan mandiri serta dengan
sendirinya akan meningkatkan
kapasitas industri Asuransi Syariah. Menjelang berlakunya spin-off, sedikitnya terdapat lima peluang berarti bagi industri Asuransi Syariah.
Pertama, potensi pasar syariah yang besar.
Hal ini didukung oleh dua faktor, yaitu jumlah penduduk Muslim yang besar dan market share Asuransi
Syariah
yang masih kecil. Dengan jumlah penduduk Muslim mencapai 85% dari populasi atau sekitar 207 juta
orang, maka Indonesia merupakan pasar Asuransi Syariah yang masih sangat luas. Potensi bisnis yang prospektif ini yang harus digarap oleh perusahaan Asuransi
Syariah.
Selain itu, merujuk data AASI per Juli 2019, market share Asuransi Syariah masih
berada pada kisaran 5%.
Hal ini juga mengindikasikan masih besarnya peluang pasar Asuransi
Syariah.
Market Share Asuransi Syariah terhadap Total Asuransi
Per Juli 2019.
Indikator
|
Syariah
|
Konvensional
|
+/-
|
Aset
|
42.280
|
1.119.801
|
3,78%
|
Kontribusi
|
6.303
|
120.043
|
5,25%
|
Investasi
|
37.102
|
949.010
|
3,91%
|
Sumber: AASI (2019)
Kedua, dukungan pemerintah/regulator.
Banyak hal yang telah dilakukan oleh pemerintah/regulator untuk memajukan industri Keuangan Syariah, termasuk Asuransi Syariah. Diantaranya adalah
pembentukan lembaga seperti Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) sebagai
komitmen pemerintah untuk mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah di
Indonesia dengan melibatkan
seluruh pemangku kepentingan. Kehadiran KNKS diharapkan dapat menjadi katalisator dalam upaya
mempercepat, memperluas, dan memajukan
pengembangan ekonomi syariah dalam rangka mendukung pengembangan ekonomi
nasional.
Bagi Asuransi
Syariah, juga sudah banyak regulasi yang mengatur agar industri ini dapat
berkembang baik dengan tetap memenuhi aspek kehati-hatian sehingga tercipta
praktik industri yang sehat yang dapat melindungi penyedia jasa asuransi maupun
nasabah. Yang terbaru adalah disahkannya Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun
2018 tentang Kepemilikan Asing pada Perusahaan Perasuransian. PP ini memberi
kepastian
hukum bagi asuransi patungan (joint venture) mengenai aspek
permodalan (kepemilikan asing) terkait dengan spin-off.
Peraturan tersebut menyebutkan bahwa berkaitan dengan spin-off Unit Syariah
menjadi Perusahaan Asuransi Syariah, maka batasan
kepemilikan asing pada Perusahaan Asuransi Syariah mengikuti batasan
kepemilikan asing perusahaan asuransi (induknya). Hal ini mengecualikan dari
ketentuan kepemilikan asing maksimum 80% dalam pengaturan sebelumnya.
Ketiga, penetrasi Asuransi Syariah masih rendah. Dibandingkan gross
domestic product (GDP), merujuk Statistik OJK November 2019, penetrasi Asuransi Syariah
masih pada kisaran 0,1%. Angka ini sangat rendah,
namun juga mengindikasikan peluang yang sangat
besar untuk dikembangkan dengan sinergi mensosialisasikan
Asuransi Syariah kepada
masyarakat
Keempat, meningkatnya kelas menengah. Peningkatan kelas
menengah yang menjadi target Asuransi Syariah
juga merupakan peluang yang harus digarap dengan baik oleh Asuransi Syariah.
Industri Asuransi Syariah harus menyiapkan produk-produk yang sesuai
dengan kebutuhan segmen ini. Untuk itu, Perusahaan
Asuransi Syariah harus memahami karakteristik kelas menengah, terutama yang Muslim, untuk dapat menyediakan produk yang diminati.
Kelima, gaya hidup halal. Gaya hidup halal kian marak digaungkan.
Penyedia produk halal juga semakin banyak dan beragam. Dari mulai makanan, fashion, wisata hingga produk keuangan
yang halal. Gaya hidup halal belakangan bahkan menjadi tren pada
anak
muda Indonesia dan masyarakat saat ini. Hal ini
tentu menguntungkan industri Keuangan Syariah, termasuk Asuransi Syariah, yang harus segera menyambut pasar ini dengan baik
Tantangan yang Dihadapi
Setidaknya terdapat 10 tantangan yang dihadapi industri Asuransi
Syariah di Indonesia menjelang spin-off
2024. Pertama, menyiapkan sumber daya insani (SDI) yang
unggul dan profesional termasuk profesi-profesi pendukungnya seperti
broker asuransi syariah, agen, dan adjuster. Tidak bisa dipungkiri, bertambahnya
perusahaan Asuransi Syariah di Indonesia belum diikuti dengan ketersediaan SDI,
baik secara kuantitas maupun kualitas. Ini juga yang menyebabkan produk dan
layanan Asuransi Syariah kadang masih tertinggal dari konvensional. Melalui spin-off, maka Unit Syariah yang akan menjadi
perusahaan terpisah dari induknya memerlukan manajemen (direksi, komisaris, dewan
pengawas syariah/DPS), karyawan
maupun tenaga pemasar yang cukup banyak untuk mendukung operasionalnya.
Kedua, mengatasi minimnya
modal atau dana. Harus diakui, salah satu
penyebab relatif
rendahnya pasar Asuransi Syariah adalah minimnya ketersediaan dana untuk melakukan promosi,
sosialisasi, dan edukasi bagi masyarakat. Ditambah lagi dengan
persyaratan modal bagi Perusahaan Asuransi Syariah untuk meningkatkan size bisnis dari Unit Syariah menjadi Perusahaan
Asuransi Syariah.
Ketiga, menyediakan inovasi produk dan layanan yang
memberi nilai tambah atas manfaat dan keterjangkauan untuk seluruh
lapisan masyarakat, terutama yang
bersumber dari akad atau konsep syariah. Hal yang utama bagi penyedia produk Asuransi
Syariah adalah produk yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, bersaing dengan
produk konvensional, dan tentu saja
memenuhi prinsip-prinsip syariah. Tidak hanya itu, dengan perkembangan teknologi saat ini, Asuransi Syariah juga dituntut memberikan layanan yang
mudah, simple, dan digital
based.
Keempat, literasi Asuransi Syariah untuk
meningkatkan pemahaman masyarakat. Saat
ini pemahaman masyarakat terhadap Asuransi Syariah masih rendah. Untuk itu, diperlukan sosialisasi, promosi, dan edukasi kepada masyarakat. Namun, hal ini kerap terbentur dana. Maka, sinergi
antar lembaga Asuransi Syariah menjadi jalan keluar. Jelas, meningkatkan
literasi masyarakat menjadi salah satu kunci untuk meningkatkan inklusi Asuransi
Syariah sehingga masyarakat paham bahwa industri keuangan sudah menyediakan solusi
pengelolaan risiko yang sesuai syariah.
Kelima, menghadapi pasar bebas Association
of Southeast Asian Nations (ASEAN)
yang berimplikasi dibukanya cabang-cabang baru oleh Perusahaan Asuransi asing di Indonesia
dengan membawa produk-produk digital yang kedepan akan semakin
marak. Padahal, industri Asuransi Syariah di Indonesia masih dihadapkan pada keterbatasan
infrastruktur jaringan, kantor cabang maupun teknologi untuk menjangkau nasabah
asuransi.
Keenam, mendorong penguatan
regulasi yang
menjadi bukti dukungan pemerintah untuk
membangun industri Asuransi Syariah yang kuat.
Termasuk mendorong UU tentang Asuransi Syariah sebagaimana UU Perbankan
Syariah dan UU Surat Berharga Syariah Negara (SBSN),
juga penguatan Fatwa DSN-MUI yang diharapkan dapat mengakselerasi pertumbuhan industri
Asuransi Syariah di Indonesia.
Ketujuh,
mendorong insentif agar industri
Asuransi Syariah dapat
berekspansi dan berkembang lebih cepat. Insentif ini
terutama terkait dengan beban
iuran OJK yang diharapkan tidak dihitung berdasarkan total aset Asuransi
Syariah dan aturan perpajakan yang mewajibkan pembayaran pajak ditambah dengan
kewajiban pembayaran zakat sebesar 2,5% dari total laba yang diperoleh. Terlebih
adanya keinginan agar industri Asuransi ikut mendorong tersedianya sumber dana
pembiayaan jangka panjang, termasuk untuk infrastruktur. Maka, insentif dapat
diberikan kepada perusahaan maupun nasabah melalui pemotongan pajak atas kupon
surat utang dan pemotongan pajak penghasilan (PPh).
Kedelapan, menjalin kerjasama dengan perusahaan
asuransi induk (shared service). Unit Syariah yang telah
bertransformasi menjadi Perusahaan Asuransi Syariah pasca spin-off diharapkan
tetap bekerjasama dengan perusahaan induk. Hal ini penting untuk menjamin standarisasi
layanan bagi nasabah Asuransi Syariah antara sebelum dan sesudah spin-off. Terutama dalam hal information technology (IT) yang membutuhkan investasi sangat besar jika membangun dari awal.
Kesembilan, mencegah kebocoran objek pertanggungan dari bisnis
syariah ke pertanggungan Asuransi Konvensional. Hal ini terkait dengan komitmen Perusahaan Asuransi dalam mengembangkan industri Asuransi Syariah. Tidak
bisa dipungkiri, kerap kali objek
pertanggungan bisnis syariah diproteksi oleh Asuransi Konvensional dengan
alasan kapasitas, ketersediaan produk maupun insentif bagi tenaga penjual.
Kesepuluh, mendorong segera dibentuknya lembaga yang
menyelenggarakan program penjaminan polis sebagaimana amanat UU Perasuransian. Kasus
gagal bayar dari perusahaan berpelat merah menjadi peringatan pentingnya risk-based supervision untuk mitigasi sehingga dapat diambil langkah-langkah yang diperlukan secara cepat
dan tepat sebelum berdampak sistemik.
Namun demikian, belajar dari perusahaan
pelat merah yang tidak hanya diawasi oleh OJK, tetapi juga oleh Kementerian
Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dapat mengalami gagal bayar setelah dua tahun
berturut-turut memiliki risk
based capital (RBC) -282%
pada 2018 dan kemudian menembus -805% per 30 September 2019, mengindikasikan
pentingnya pengawasan yang
lebih intensif. Juga, perlunya dihadirkan lembaga penjamin polis untuk memastikan adanya perlindungan
konsumen dari gagal bayar asuransi. Untuk itu, dibutuhkan
segera kajian lebih lanjut tentang aspek kesyariahan dari penjaminan polis. Hal
ini mengingat akad-akad Asuransi Syariah sangat spesifik dan mengusung
konsep ta’awun
(saling menolong) pada sesama peserta Asuransi
Syariah. Wallahu a’lam bish showab.
*Sharia
Strategic and Governance Head PT Allianz Life Indonesia, Pengurus Pusat
Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Pengurus Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia
(AASI) dan Islamic Insurance Society (IIS)
Komentar
Posting Komentar