Menakar Peluang Sukuk Putih untuk SDGs (Bisnis Indonesia, Opini, 7 Januari 2020. Hlm. 2)
Oleh: Khairunnisa Musari
Selain menargetkan penerbitan dua varian sukuk baru pada 2020, yaitu Sukuk
Ritel Diaspora dan Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS), Kementerian Keuangan juga
menargetkan penerbitan kembali Sukuk Hijau Global untuk membiayai
proyek-proyek ramah lingkungan. Dalam rangka Ekonomi Hijau, selain Sukuk Hijau,
pemerintah Indonesia juga sebelumnya telah mengkaji Sukuk Biru sebagai inovasi pembiayaan
untuk kelestarian laut. Lalu, bagaimana peluang Sukuk Putih?
Melalui Paris Agreement, Indonesia berkomitmen
turut serta dalam mengatasi perubahan iklim dan dampak negatifnya melalui
Ekonomi Hijau. Ekonomi Hijau adalah solusi untuk mengurangi emisi karbon yang
menjadi penyebab utama terjadinya efek rumah kaca. Sukuk Hijau adalah bentuk
inovasi green financing yang juga menjadi alternatif pembiayaan untuk pencapaian
sustainable development goals (SDGs).
Selain Sukuk Hijau, pemerintah Indonesia juga mengkaji
Sukuk Biru. Masih dalam rangka mencapai SDGs, Sukuk Biru diharapkan dapat
menjadi inovasi instrumen pembiayaan untuk memenuhi kesenjangan anggaran dalam
rangka menjaga ekosistem laut. Menjaga ekosistem laut merupakan bagian dari kajian
Ekonomi Biru.
Sebagai salah satu turunan dari Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2018
tentang Penanganan Sampah Laut serta Rencana Aksi Nasional Penanganan Sampah Laut
2018-2025, Ekonomi Biru adalah konsep
pengembangan ekonomi berkelanjutan pada sektor perikanan dan kelautan di seluruh
dunia. Kegiatan konservasi, optimalisasi
produk perikanan dan kelautan serta pembangunan infrastruktur kelautan dapat
menjadi underlying project bagi penerbitan Sukuk Biru.
Ekonomi Biru, Ekonomi Langit
Dalam pengertian luas, sejatinya Ekonomi Biru tidak melulu identik
dengan sektor perikanan dan kelautan semata. Ekonomi Biru dapat ditafsirkan sebagai sumber daya langit
yang juga berwarna biru karena molekul oksigen dan nitrogen di atmosfer bumi
lebih banyak menyebarkan gelombang biru yang memiliki panjang gelombang lebih pendek.
Merujuk Undang-Undang (UU) Surat Berharga
Syariah Negara (SBSN), yang dimaksud aset SBSN adalah “objek pembiayaan SBSN
dan/atau barang milik negara yang memiliki nilai ekonomis, berupa tanah
dan/atau bangunan maupun selain tanah dan/atau bangunan, yang dalam rangka
penerbitan SBSN dijadikan sebagai dasar penerbitan SBSN”. Dengan demikian,
langit di wilayah Indonesia sejatinya adalah aset negara yang berpotensi
menjadi objek pembiayaan SBSN karena memiliki nilai ekonomis.
Langit memiliki spektrum frekuensi yang dimanfaatkan oleh sektor telekomunikasi dan penyiaran. Telekomunikasi adalah
kegiatan pemancaran, pengiriman dan/atau penerimaan dari setiap informasi melalui
radio, sistem optik, kawat atau sistem elektromagnetik lainnya. Sedangkan
penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran/transmisi
di darat, laut atau antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui
udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak oleh
masyarakat dengan perangkat penerima siaran.
Tidak hanya itu. Langit juga sejatinya adalah infrastruktur
alam yang menjadi lalu lintas transportasi udara. Lalu lintas transportasi udara di wilayah Indonesia
dapat dioptimalkan pula sebagai underlying asset untuk pengembangan infrastruktur
penerbangan.
Dalam mengawasi lalu lintas penerbangan, teknologi radar Indonesia dipandang
belum sebaik negara tetangga. Pengawas penerbangan di
Indonesia membutuhkan
waktu lebih lama untuk berkoordinasi dan memberi izin pada pilot maskapai bila terjadi perubahan cuaca atau ketinggian. Pembiayaan teknologi radar berpeluang untuk menjadi underlying project.
Sukuk Putih dan ‘Hat-Trick
Sukuk’
Ya, infrastruktur langit berpotensi menjadi underlying bagi penerbitan
Sukuk Putih. Bila Sukuk Biru berorientasi pada sektor perikanan dan kelautan,
maka Sukuk Putih berorientasi pada sektor telekomunikasi, penyiaran,
penerbangan, termasuk proyek ramah lingkungan udara yang menjadi bagian dari
Ekonomi Hijau. Kegiatan-kegiatan pengendalian emisi dan pengurangan polutan
seperti penyemprotan air ke atmosfer melalui sprinkler pada
gedung-gedung pencakar langit dapat menjadi underlying project.
Dalam rangka green financing, Indonesia
berpeluang memperoleh predikat sebagai penerbit ‘hat-trick sukuk’ untuk SDGs.
Indonesia sudah didaulat sebagai negara pertama di dunia yang menerbitkan Sukuk
Hijau. Meski sudah ada Seychelles yang tercatat sebagai negara penerbit Obligasi
Biru pertama di dunia, tapi masih belum ada negara yang menerbitkan Sukuk Biru,
apalagi Sukuk Putih.
Melihat animo investor terhadap instrumen Sukuk
Hijau, Sukuk Biru dan Sukuk Putih punya peluang. ‘Hat-trick sukuk’ dapat
menarik lebih banyak investor untuk mengakselerasi pencapaian SDGs dalam
mengatasi perubahan iklim global melalui instrumen keuangan berkelanjutan. Memang
tidak mudah menerbitkan sukuk jenis ini. Selain harus menyusun Kerangka Kerja
dan memperoleh fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI),
pemerintah berkewajiban pula menyusun special report yang mengukur output
dan outcome terhadap pengurangan emisi karbon.
Namun demikian, ditengah perlambatan ekonomi global
yang membuat ruang fiskal dan moneter kian terbatas, Sukuk Putih dapat melengkapi
Sukuk Hijau dan Sukuk Biru sebagai alternatif pembiayaan pembangunan dan pencapaian
SDGs. Instrumen sukuk dan optimalisasi sumber daya domestik sebagai underlying
menjadi opsi lebih bermartabat daripada mencari utang luar negeri.
Ke depan, konsep CWLS
dapat diadopsi sebagai skema penerbitan ‘hat-trick sukuk’ untuk membiayai
proyek sosial ramah lingkungan. Selain membantu pemerintah mendapat dana
murah, kesinambungan fiskal juga terjaga. Dengan menjadi alternatif
investasi bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam mendukung pembangunan
nasional, ‘hat-trick sukuk’ dengan konsep CWLS juga semakin mendukung market
deepening keuangan syariah yang inklusif untuk SDGs. Wallahua’lam
bish showab.
Komentar
Posting Komentar