2020, Tahun Wakaf Produktif (Jawa Pos Radar Jember, Perspektif, 20 Desember 2019, Hlm. 21 & 27)



Oleh:

                                                                                        
“Saya baru baca depannya. Terpikir judul yang lebih greget, ‘CWLS: Gerakan Radikal Membangun Ekosistem Wakaf Produktif di Indonesia’…”

Demikian respon Bu Dwi Irianti Hadiningdyah, Direktur Pembiayaan Syariah Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, atas draf naskah artikel yang akan kami tulis bersama untuk buletin INSIGHT milik Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) edisi Kuartal I 2020. Saya dan Bu Dwi berencana menulis buku Serial Sukuk pada 2020. Mengawalinya, ketika diminta menulis artikel untuk KNKS, saya menawarkan Bu Dwi untuk menulis bersama sebagai pemanasan. Gayung bersambut. Bahkan, Pak Fahrurozi, Komisioner Badan Wakaf Indonesia (BWI), ikut bergabung dalam artikel bersama kami untuk KNKS tersebut.
Ya, sebagai pengambil kebijakan atas penerbitan surat berharga syariah negara (SBSN) di Indonesia, Kementerian Keuangan pada 2020 akan menerbitkan Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS). CWLS telah diluncurkan pada Pertemuan Tahunan International Monetary Fund (IMF) - World Bank di Nusa Dua, Bali, pada 12-14 Oktober 2018. Kemudian, pada 1 November 2018 dilakukan penandatanganan nota kesepahaman antara Kementerian Keuangan, Kementerian Agama, Bank Indonesia, dan BWI untuk pengembangan CWLS. Berkenaan dengan hal itulah, pada 2020, CWLS akan menjadi motor wakaf produktif. Bu Dwi Irianti meyakini CWLS bukan hanya merevolusi, tetapi akan menjadi gerakan radikal dalam pengembangan ekosistem wakaf di Indonesia dan dunia.

CWLS, Inovasi Pembiayaan

CWLS adalah wakaf uang yang ditempatkan pada SBSN atau yang kerap disebut Sukuk Negara untuk pengelolaan wakaf secara produktif. Kesyariahan CWLS telah terpenuhi dengan keluarnya Pernyataan Kesesuaian Syariah Cash Waqf Linked Sukuk dari Dewan Syariah Nasional MUI (DSN-MUI) tanggal 6 Februari 2019. Investasi CWLS aman karena dijamin negara. CWLS produktif karena memberi imbal hasil dari sukuknya. CWLS optimal karena imbal hasil sukuknya kompetitif dan tidak dipotong pajak. CWLS juga berkah karena imbal hasilnya mengalir untuk masyarakat kurang mampu.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, mengembangkan CWLS didorong oleh setidaknya dua alasan utama. Pertama, menjadikan sukuk sebagai alternatif investasi wakaf dengan mengintegrasikan sukuk dan wakaf tunai sebagai instrumen wakaf produktif. Kedua, menjadi inovasi pembiayaan untuk membantu pencapaian sustainable development goals (SDGs).  
Secara umum, CWLS dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu perpetual CWLS dan temporary CWLS. Bagi yang memilih temporary CWLS, maka dana wakaf akan kembali pada tahun yang ditentukan. Bagi yang memilih perpetual CWLS, maka setelah periode sukuk berakhir, dana wakaf akan ditempatkan lagi pada sukuk seri berikutnya atau diinvestasikan pada produk lembaga keuangan syariah atau instrumen keuangan syariah lainnya atau diinvestasikan secara langsung.
Pertanyaan yang kerap mengemuka, apakah investasi wakaf tidak beresiko? Tidak bisa dipungkiri, terdapat beberapa pendapat terkait hal tersebut. Lembaga Fikih Islam menyatakan bahwa resiko dalam investasi tidak mungkin dihilangkan, termasuk pula investasi wakaf. Untuk itu, investasi wakaf harus dilakukan dengan tidak memilih jenis investasi yang beresiko tinggi (high risk). Serta, harus ada jaminan sebagai upaya mitigasi resiko.

Tantangan Wakaf Produktif

Wakaf memiliki akar sejarah panjang. Kelembagaan keuangan Islam ini telah dipraktekkan langsung oleh Rasululah SAW dengan mewakafkan tujuh bidang kebun kurma di Madinah. Demikian juga dengan para sahabat seperti Umar bin Khatab dengan tanah Khaibar, Utsman bin Affan dengan sumur Raumah, juga Ali bin Abi Thalib dengan tanah Yanbu’.
Pada hadis “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara yaitu; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa’anak yang saleh(HR. Muslim), sedekah jariyah dapat dimaknai sebagai wakaf. Wakaf sejatinya bermakna produktif itu sendiri karena esensinya mengandung keberlanjutan atau kesinambungan. Rasulullah mengatakan, “Tahan pokok hartanya dan salurkan hasilnya” (HR. Nasa’i). Dari hadis tersebut, pengelolaan wakaf didorong untuk menghasilkan keuntungan yang nantinya dapat disalurkan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. 
Meskipun perintahnya jelas, namun selama ini tafsir tentang wujud wakaf masih didominasi dengan pemberian sebidang tanah untuk dikelola yayasan Islam yang digunakan untuk pembangunan masjid, musala, panti asuhan, atau sekolah. Belakangan gaung wakaf sebagai penggerak roda ekonomi umat semakin terdengar seiring sosialisasi dan edukasi tentang wakaf produktif yang semakin gencar disuarakan.
Ke depan, terdapat setidaknya dua tantangan besar bagi CWLS. Pertama, melakukan adjustment CWLS dalam administrasi akuntansi wakif yang berlatar belakang lembaga atau badan usaha karena terdapat kendala pembukuan bagi lembaga atau korporasi yang berminat berinvestasi CWLS. Kedua, meningkatkan literasi wakaf produktif karena kebanyakan masyarakat memahami wakaf sebagai hal terpisah dari konteks pembangunan ekonomi umat. Salah satu persoalan yang lazim mengemuka adalah keterbatasan kemampuan nazhir dalam mengelola aset-aset wakaf menjadi produktif.
Untuk itu, guna memperkuat ekosistem wakaf di Indonesia, setidaknya dua tantangan besar tersebut dapat dihadapi bersama. Pembinaan dan pendampingan nazhir menjadi faktor kunci untuk pengembangan wakaf produktif sebagai lokomotif ekonomi umat. Hal ini pada gilirannya juga membantu menjadikan ekonomi syariah berkontribusi nyata bagi perekonomian Indonesia dan peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia. Wallahu a’lam bish showab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

Belajar dari Wu Da Ying (1) (Jawa Pos Radar Jember, Perspektif, 7 Juli 2017, Hlm. 21 & 31)