2020 Menuju BPRS yang Kompetitif, Stabil, dan Kontributif (INSIGHT, Akademia, Edisi 7, Desember 2019, Pp. 13-16)
Oleh:
Reza Mustafa*
Khairunnisa Musari**
Tantangan perekonomian global dan disrupsi
teknologi menciptakan ekosistem yang
kian dinamis dan kompetitif. Sebagai salah satu lembaga perbankan
syariah di Indonesia, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dituntut pula untuk
melakukan adaptasi, inovasi, kolaborasi, dan sinergi, terlebih pada era 4.0
yang merevolusi transformasi proses bisnis melalui teknologi informasi,
otomasi, termasuk internet of things, artificial intelligence, dan digital
economy.
Saat ini, BPRS dihadapkan pula pada tantangan
penggunaan e-commerce yang masif dan melahirkan berbagai model bisnis
baru, diantaranya layanan peer to peer (P2P) lending, dompet
digital atau digital payment. Sebagai lembaga yang melayani pelaku usaha
kecil menengah (UKM) dan masyarakat di tingkat kecamatan, keberadaan BPRS
sejatinya strategis dalam menggerakkan pembangunan ekonomi daerah.
Namun
demikian, tidak bisa dipungkiri, perkembangan BPRS diusianya yang ke-27 tahun
masih belum mengalami peningkatan signifikan sebagaimana diharapkan. Dalam
beberapa tahun terakhir, kinerja BPRS cenderung melambat. Kalaupun mengalami
pertumbuhan, tetapi tidak secepat industri lainnya. Seiring dengan intensitas
persaingan yang juga ikut meningkat, pertumbuhan aset, dana pihak ketiga (DPK),
dan pembiayaan industri BPRS secara nominal mengalami perlambatan. BPRS masih
rentan untuk mengalami kebangkrutan.
Kinerja
Merujuk Statistik Perbankan Syariah September
2019, saat ini terdapat 165 BPRS di Indonesia. Jumlah ini menurun sedikit
dibanding Desember 2018 yang masih sebanyak 167 BPRS. Sebaran BPRS didominasi
oleh Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Lampung, dan Nanggroe
Aceh Darussalam (NAD). Berdasarkan Laporan Perkembangan Keuangan Syariah
Indonesia 2018, pada bulan Desember 2018, total aset 167 BPRS tersebut baru
mencapai Rp12,36 triliun atau baru berkontribusi sebesar 2,52% dari total aset
perbankan syariah Indonesia.
Pertumbuhan DPK BPRS bulan September 2019
dibandingkan bulan yang sama di tahun sebelumnya (year-on-year) tercatat
sebesar 11,6% atau mencapai sekitar Rp8,63 triliun. Komposisi DPK yang berasal
dari Deposito mendominasi hingga 65% atau mencapai sebesar Rp5,60 triliun.
Sedangkan DPK yang berasal dari Tabungan mencapai Rp3,03 triliun. Keduanya
tumbuh year-on-year pada kisaran 11%.
Jumlah nasabah yang dilayani BPRS sebanyak
1.959.746 rekening yang didominasi 82% rekening Nasabah DPK yang tumbuh secara
year-on-year 6,57% menjadi sebanyak 1.606.695 rekening. Sedangkan jumlah
Nasabah Pembiayaan tumbuh secara year-on-year sebesar 10,58% atau menjadi sebesar
353.051 rekening dengan nilai pembiayaan tumbuh 16,11% atau mencapai sekitar Rp
10,08 triliun.
Selanjutnya, komposisi pembiayaan yang
disalurkan BPRS masih didominasi oleh akad Murabahah, Musyarakah, dan
Multijasa. Menariknya, nilai pembiayaan Musyarakah nyaris sama dengan
nilai pembiayaan Multijasa yang berkisar Rp 960 miliar, namun jumlah rekening
nasabah pembiayaan Multijasa sebanyak 6 kali lipat dari rekening nasabah
pembiayaan Musyarakah.
Sepanjang 2015 hingga September 2019,
mayoritas semua jenis akad yang dimiliki BPRS menunjukkan tren pertumbuhan
positif, baik Mudharabah, Musyarakah, Murabahah, Istishna’, Ijarah, Qardh,
dan Multijasa. Hanya pembiayaan Salam yang mulai 2017 tidak ada penyalurannya
sama sekali. Dan mulai 2018, pembiayaan dengan akad Multijasa melampaui Musyarakah.
Berdasarkan sektor ekonomi, pembiayaan
terbesar BPRS saat ini secara berturut-turut disalurkan kepada Sektor
Perdagangan, Restoran, dan Hotel, kemudian Sektor Jasa Sosial/Masyarakat,
Sektor Konstruksi, Sektor Jasa Dunia Usaha, lalu Sektor Pertanian, Kehutanan,
dan Sarana Pertanian. Komposisi ini mengalami pergeseran. Mulai 2016, Sektor
Jasa Sosial/Masyarakat menempati peringkat kedua dan menggeser Sektor Jasa
Dunia Usaha menjadi peringkat ketiga. Pada periode yang sama, Sektor Konstruksi
juga menempati peringkat keempat dan menggeser Sektor Pertanian, Kehutanan, dan
Sarana Pertanian menjadi peringkat kelima. Sedangkan Sektor Pertanian,
Kehutanan, dan Sarana Pertanian menjadi sektor yang paling stagnan
pertumbuhannya.
Berdasarkan jenis penggunaan, pembiayaan BPRS
terbesar secara berturut-turut disalurkan pada kategori Konsumsi, Modal Kerja,
dan kemudian Investasi. Penggunaan pembiayaan untuk Konsumsi mengalami
pertumbuhan paling pesat. Berdasarkan golongan pembiayaan, mulai 2017,
penyaluran untuk Selain UKM melampaui penyaluran untuk UKM meski keduanya
sama-sama mengalami pertumbuhan positif.
Kekuatan dan Kelemahan
BPRS memiliki keunggulan komparatif yang
menjadi kekuatan bagi lembaga ini. Keterbatasan jangkauan layanan cabang dan
ATM Bank Umum Syariah (BUS)/Unit Usaha Syariah (UUS) memberi ruang bagi BPRS
untuk melengkapinya. Secara alamiah, BPRS dibutuhkan untuk melayani daerah
terpencil yang tidak terjangkau oleh BUS/UUS. BPRS memang diharapkan dapat
memberi layanan perbankan kepada masyarakat di daerah agar tujuan pembangunan
nasional dapat merata ke seluruh lapisan masyarakat sehingga kesejahteraan
masyarakat secara nasional bisa terwujud.
Oleh karena itu, keberadaan BPRS sesungguhnya
menjadi jawaban atas keterbatasan jangkauan layanan BUS/UUS untuk bisa memberi
pemerataan layanan perbankan syariah pada masyarakat luas. Namun demikian, BPRS
juga memiliki kelemahan. Data statistik masih menunjukkan bahwa BPRS belum
optimal dalam menyalurkan pembiayaan kepada masyarakat. Hal ini terlihat dari
masih dominannya pembiayaan ke sektor konsumtif daripada sektor produktif
seperti pembiayaan modal kerja dan investasi. Hal ini tentunya masih menyisakan
harapan kepada BPRS yang seharusnya dapat lebih banyak membangun perekonomian
di daerah sekitarnya melalui pembiayaan yang produktif.
Tidak bisa dipungkiri, dengan berbagai macam
perkembangan industri jasa keuangan yang terjadi pada era 4.0 ini, BPRS sedang
berada pada posisi daya saing yang cukup rendah di pasar. Setidaknya ada tiga
hal yang menyebabkan permasalahan daya saing BPRS. Pertama, produk pembiayaan BPRS yang mahal sehingga kurang menarik minat
masyarakat. Diantara penyebabnya adalah faktor sumber pendanaan BPRS yang
memang juga sudah mahal. Mahalnya pendanaan ini disebabkan kebanyakan produk
yang ditawarkan bank syariah masih mimicking bank konvensional,
sedangkan pelayanan dan jangkauan masih belum setara sehingga kalah bersaing.
Selain itu, berdasarkan ketentuan Bank
Indonesia, layanan BPRS masih belum bisa melakukan standar layanan perbankan
secara umum, seperti tidak bisa melayani lalu lintas pembayaran (kliring dan
transfer uang), menyediakan fasilitas jaringan ATM, dan transaksi valuta asing
(valas). Tidak bisa dipungkiri juga bahwa BPRS masih banyak menerima pendanaan dari
pola channeling dari BUS/UUS yang tentunya sudah merupakan sumber
pendanaan yang mahal.
Kemudian, saat ini semakin banyaknya Lembaga
Jasa Keuangan (LJK) yang memberikan berbagai kemudahan untuk menyimpan dan
menginvestasikan dana masyarakat melalui teknologi (fintech) membuat
persaingan semakin tinggi. Beberapa fakta inilah yang membuat BPRS, mau tidak
mau, harus memberikan imbal hasil yang tinggi pada produk pendanaannya agar
dapat menarik minat masyarakat untuk menempatkan dananya pada BPRS.
Kedua, skala usaha yang kecil menyebabkan
inefisiensi proses bisnis serta keterbatasan modal menyebabkan kesulitan untuk
mengembangkan infrastruktur. Hal ini berdampak pada masih banyaknya BPRS yang
belum bisa memiliki infrastruktur, seperti teknologi informasi (TI), yang
memadai serta masih banyaknya proses operasional bisnis yang dilakukan secara
manual. Selain itu, keterbatasan modal juga menjadi masalah sulitnya BPRS untuk
dapat berekspansi dan berinovasi dalam mengembangkan model bisnisnya, baik dari
sisi pendanaan maupun pembiayaan. Ruang untuk rekrutmen dan pengembangan sumber
daya insani (SDI) juga menjadi kendala sehingga berdampak pada kuantitas dan
kualitas SDI BPRS yang masih sangat terbatas.
Ketiga, belum terlihatnya diferensiasi model
bisnis pembiayaan pada BPRS dibanding BPR konvensional. Hal ini menyebabkan
rendahnya daya jual produk pembiayaan BPRS ketika menawarkan pembiayaan yang
lebih mahal dibandingkan bank konvensional. Beda halnya ketika BPRS dapat
menawarkan produk pembiayaan yang memiliki keunikan sehingga berbeda dengan
bank konvensional. Persaingan harga akan menjadi tidak relevan lagi untuk
didiskusikan ketika produk yang ditawarkan sendiri memang sudah berbeda.
Menjawab Tantangan
Dari sisi BPRS, setidaknya ada tujuh tantangan
yang harus dijawab dari eksistensi saat ini. Pertama, BPRS harus menyasar pada segmen yang memang menjadi keahliannya. Hal ini
akan membantu menurunkan non performing financing (NPF) jika BPRS
memiliki kemampuan untuk menangani segmen yang menjadi keahliannya. Dalam konteks
ini, termasuk BPRS juga harus membangun komunikasi dengan nasabah mikro yang
umumnya minim pengetahuan tentang bank, membangun kedekatan emosional dengan
nasabah, dan melakukan pendampingan, mulai dari proses pengajuan pembiayaan
hingga usaha nasabah berkembang.
Kedua, BPRS harus bisa menjawab isu keterbatasan layanan, dana mahal, dan
inefisiensi proses bisnis. Untuk menjawab masalah keterbatasan dalam melayani
lalu lintas pembayaran, BPRS dapat bekerjasama dengan BUS/UUS sebagai
settlement bank agar kemudian BPRS bisa melayani transfer antar bank dan
menerbitkan kartu ATM.
Meski tidak dapat dipungkiri bahwa kerjasama
BPRS dengan BUS/UUS kerap terhambat karena kendala keterbatasan modal dan biaya
yang dimiliki BPRS untuk dapat bekerjasama, namun BPRS bisa secara berjamaah
bekerjasama dengan salah satu BUS/UUS agar dibuatkan virtual account yang bisa
melayani transfer antar bank dan menerbitkan kartu ATM secara co-branding.
Dengan demikian, biaya akan menjadi lebih murah dan antar BPRS bisa lebih
meningkatkan daya saingnya dengan tersedianya layanan Lalu Lintas Giro (LLG)
dan ATM. Bahkan, BPRS yang tergabung dalam program ini bisa saja membuat biaya
transfer antar BPRS ini menjadi gratis.
Ketiga, BPRS harus semakin mengembangkan model bisnis. Selain agar bisa memberikan
pelayanan perbankan secara umum, BPRS juga harus memiliki diferensiasi model
bisnis dengan meluncurkan produk-produk khas syariah yang tidak bisa ditiru
oleh bank konvensional. Beberapa produk pembiayaan pertanian dengan akad salam,
produk pemesanan dengan akad istishna’, atau produk pembiayaan lainnya
seharusnya bisa lebih melihat pada kebutuhan masyarakat sekitar. Terlebih,
Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Sarana Pertanian yang cenderung menjadi sumber
daya yang paling banyak tersedia di daerah nyatanya belum digarap secara
serius.
Lebih jauh lagi, diferensiasi ini akan lebih
tampak ketika BPRS mampu memberikan pendampingan kepada nasabah mikro sekaligus
menerapkan pola business matching antara debitur dan pihak-pihak yang ada di
lingkungan sekitar BPRS. Hal ini dimaksudkan agar debitur dan nasabah BPRS
mendapatkan manfaat lebih luas dari BPRS untuk pengembangan usaha mereka dan
usaha-usaha di sekitar wilayah cakupan BPRS tersebut. Pengembangan model bisnis
pembiayaan seperti ini diharapkan dapat memberi pembiayaan yang menjawab
kebutuhan pembangunan ekonomi masyarakat dengan berlandaskan prinsip syariah
yang adil dan bermaslahat pada umat.
Keempat, BPRS harus semakin meningkatkan kapasitas TI untuk memberikan pelayanan
yang lebih baik. Peningkatan kapasitas TI mungkin membutuhkan biaya modal yang
tinggi sehingga cukup memberatkan BPRS untuk melakukannya. Hal ini bisa dijawab
dengan pola sinergi/berjamaah/ta’awun sesama BPRS untuk kemudian membentuk
common platform yang bisa memberikan sistem TI yang terstandarisasi sesuai
dengan kebutuhan pada era 4.0 dan bisa digunakan semua BPRS di Indonesia.
Metode common platform ini memungkinkan setiap BPRS menggunakan sistem TI
secara bersama-sama dengan pola sewa tanpa harus mengeluarkan biaya investasi
yang tinggi. Namun demikian, BPRS juga tetap harus bisa menjaga kerahasiaan
data masing-masing bank yang harus diatur lebih lanjut dalam protokol keamanan
TI tersebut.
Kelima, BPRS bersinergi dengan fintech. Sinergi ini bisa menjadi salah satu
strategi utama yang dapat dilakukan BPRS guna meningkatkan daya saing di tengah
berbagai macam perkembangan industri jasa keuangan yang sudah semakin mengarah
pada digitalisasi. Tidak bisa dipungkiri, pengembangan produk dan layanan juga
harus mempertimbangkan kemajuan teknologi sehingga dapat mempermudah proses
bisnis, meningkatkan efisiensi, dan memberikan pelayanan yang prima.
Keenam, kapasitas SDI BPRS harus semakin ditingkatkan. Otoritas terkait
diharapkan dapat membantu BPRS untuk memberikan peningkatan kapasitas SDI melalui
workshop maupun pelatihan berupa pengembangan produk dan model bisnis
yang lebih kompetitif dan dapat memberi manfaat pada masyarakat sekitar. Selain
itu, pelatihan manajemen risiko dan tata kelola perusahaan juga menjadi
concern utama yang harus dikembangkan lebih lanjut oleh manajemen dan
pegawai BPRS agar kemudian BPRS bisa beroperasi dengan lebih efisien,
profesional, dan selalu menerapkan prinsip kehati-hatian.
Ketujuh, hal terakhir yang seharusnya menjadi prinsip dasar yang harus dimiliki
oleh setiap Lembaga Jasa Keuangan Syariah (LJKS), BPRS harus menerapkan prinsip
dan nilai-nilai syariah dalam budaya kerja perusahaannya. Prinsip syariah tidak
hanya diterapkan dalam konteks pengembangan produk saja, tetapi juga harus
terinternalisasi dalam proses bisnis serta perilaku manajemen dan pegawainya
sehari-hari. Peningkatan kapasitas akidah, muamalah, dan akhlak setiap personil
BPRS harus menjadi prioritas utama. Semakin kuat akidah personel BPRS, maka
Allah akan menolong BPRS untuk meningkatkan kredibilitasnya dalam menerapkan
prinsip syariah, berkomitmen dalam menjaga integritas, dan memberikan pelayanan
yang terbaik kepada masyarakat melalui adab dan akhlak sesuai dengan Sunnah
Nabi Muhammad SAW. Insya Allah…
Menuju BPRS yang Kompetitif, Stabil dan Kontributif
Membantu BPRS sejatinya adalah membantu UKM.
Membantu UKM sejatinya menolong rumah tangga masyarakat golongan kecil
menengah. Pada gilirannya, hal ini juga membantu mengurangi kemiskinan.
Terlebih, UKM saat ini menjadi harapan pemerintah untuk menolong perekonomian
dengan membantu perbaikan defisit transaksi berjalan melalui peningkatan
diversifikasi produk yang bisa diekspor ke luar negeri.
Dukungan otoritas untuk perbaikan BPRS semakin
besar karena BPRS adalah cermin perkembangan ekonomi daerah. Dukungan ini
diwujudkan dalam bentuk penyempurnaan berbagai regulasi yang dilakukan secara
bertahap serta dengan menyusun sejumlah program transformasi. Dimulai dari
pemetaan secara komperehensif, yakni memetakan ulang berbagai hal yang terkait
dengan BPRS yang menjadi kendala, terutama dari sisi kinerja keuangan, kondisi
SDI, dan kondisi sarana dan prasarana. Kemudian, mendorong perluasan jangkauan
BPRS terhadap nasabah yang potensial dan meningkatkan kemitraan antara BPRS
dengan BUS/UUS, perusahaan fintech, dan dengan perusahaan penyedia jasa
layanan digital.
Menyambut 2020, bersamaan dengan era suku
bunga rendah, BPRS diharapkan dapat juga menurunkan cost of fund agar
pembiayaan yang disalurkan kepada nasabah menjadi lebih murah melalui sejumlah
strategi menjawab tantangan. BPRS harus mampu beradaptasi agar dapat bertahan
menghadapi perubahan. Transformasi BPRS tidak hanya menyangkut produk ataupun
layanan, tetapi juga tata kelola dan prinsip syariah yang terinternalisasi
secara kaffah. Dengan pasar yang masih sangat luas di daerah, juga faktor
kedekatan dengan nasabah di tingkat kecamatan dan pelaku UKM, BPRS masih
memiliki peluang untuk meningkatkan skala ekonomisnya. Kuncinya adalah
melakukan adaptasi, inovasi, kolaborasi, dan sinergi untuk menuju BPRS yang
kompetitif, stabil, dan kontributif. Wallahu a’lam bish showaab.
Komentar
Posting Komentar