UMKM, From Zero to Hero (Jawa Pos Radar Jember, Ruang Kita, Opini, 19 November 2019, hlm. 18)



                                                       Oleh: Khairunnisa Musari*

“Ya sudah, Bu Nisa saja…”

Demikian pesan pendek dari Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Jember, Pak Miqdad, yang juga Dekan Fakultas Ekonomi Bisnis Univesitas Jember (Unej) pada saya. Beliau harus melakukan perjalanan dinas ke Makassar sehingga tidak bisa menghadiri undangan Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPwBI) Jember.
Akhirul kalam, saya mewakili Pak Miqdad menghadiri undangan bertajuk Temu Responden, Go Export “From Zero to Hero”. Hadir pula Pak Dekan saya dari Fakultas Ekonomi Bisnis Islam (FEBI) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jember dan sejumlah pemangku kepentingan lainnya, termasuk pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) binaan KPwBI Jember.
Surpriseeee, moderator acara tersebut adalah Andy F. Noya, host dari talkshow terkenal Kick Andy. Kemampuannya membawakan acara menjadikan paparan tiga narasumber pada acara tersebut, yaitu dua orang eksportir dan satu dari Kementerian Perdagangan, terasa segar dan waktu tak terasa beranjak. 
Menurut saya, KPwBI Jember mengundang moderator selevel Andy F. Noya jauh-jauh ke Jember bukan sekedar mengapresiasi pelaku UMKM yang telah mampu menembus pasar internasional. Acara tersebut sejatinya memang membawa pesan besar untuk mengajak UMKM di wilayah kerja KPwBI Jember untuk mengepakkan sayap pada pasar luar negeri. Pasalnya, UMKM yang berhasil menembus perdagangan internasional sejatinya adalah pahlawan bagi perekonomian Indonesia, terutama dalam membantu menjaga stabilitas moneter. Dan kebetulan… Bank Sentral adalah otoritas penjaga stabilitas moneter.

Defisit Transaksi Berjalan

Meski Bank Sentral memprediksi defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) pada akhir tahun akan turun menjadi 2,8 persen dari produk domestik bruto (PDB), namun bayang-bayang pembengkakan CAD tahun depan masih akan menghantui. Selain belanja pelunasan bunga utang yang meningkat, juga eskalasi perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China masih akan berlanjut sehingga pertumbuhan ekonomi global melambat.
Atas dasar itulah, isu kebijakan moneter saat ini lebih diarahkan pada upaya menjaga stabilitas neraca pembayaran daripada pengendalian inflasi. Pada 2018, membengkaknya CAD mendorong Bank Sentral menaikkan suku bunga acuan menjadi 6 persen. Namun, pada 2019, Bank Sentral cenderung mempertahankan dan kemudian secara bertahap menurunkan suku bunga acuan. Pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia tanggal 23-24 Oktober, suku bunga acuan menyentuh titik terendah sepanjang 2019, yaitu 5 persen.
Turunnya suku bunga memenuhi harapan pasar. Kebijakan ini tidak lepas dari upaya mendorong pertumbuhan ekonomi domestik. Selain itu, era keemasan suku bunga tinggi di dunia pun mulai meredup. Bank Sentral mengambil peran sebagai agen pendorong pertumbuhan ekonomi. Itulah sebabnya suku bunga acuan turun untuk mendukung iklim investasi dan ekspansi usaha yang kondusif guna menangkal perlambatan ekonomi global.
Pada tataran inilah, UMKM mendapat momentum untuk naik kelas. Turunnya suku bunga acuan menjadi leading sign bahwa pembiayaan akan menjadi lebih murah karena otoritas memiliki kepentingan untuk menggerakkan perekonomian nasional. Selain itu, CAD yang berlangsung, juga akan memberi ruang lebih besar bagi UMKM untuk mendapat dukungan menembus pasar internasional.
  

Penguatan UMKM

Tidak ada yang bisa mengingkari bahwa UMKM merupakan bagian penting dari perekonomian nasional. Keberadaannya sebagai lapisan usaha yang paling besar dalam struktur perekonomian Indonesia menjadikan UMKM berperan menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi.
Di masa lalu, eksistensi UMKM lebih dititikberatkan pada kemampuannya menyerap tenaga kerja dan membuka lapangan kerja baru. Saat ini, eksistensi UMKM menjadi lebih luas. UMKM bertransformasi menjadi sumber pendorong pertumbuhan ekspor nonmigas. Pasalnya, CAD yang tengah berlangsung dapat berimplikasi pada instabilitas nilai tukar yang pada gilirannya dapat berimplikasi pada instabilitas perekonomian nasional. Salah satu langkah strategis untuk mengatasinya adalah kegiatan ekspor produk UMKM.
Sepertinya kita masih perlu belajar pada pemerintah Thailand yang sukses membangun ekosistem UMKM yang terintegrasi dan berkompetensi sehingga ekspornya didominasi oleh produk UMKM. Pemerintah setempat tidak hanya menjadi regulator, tetapi juga fasilitator sekaligus marketer.
 Salah satu kendala utama yang dihadapi UMKM di Indonesia menembus pasar ekspor adalah pemahaman tentang prosedur ekspor-impor, belum memenuhi standarisasi, belum bersertifikasi produk, dan pengemasannya yang belum memadai. Selain itu, masalah klasik yang hingga hari ini masih belum tuntas, yaitu masalah permodalan.
Terkait permodalan, merujuk data Departemen Pengembangan UMKM dan Perlindungan Konsumen Bank Indonesia, outstanding kredit UMKM yang disalurkan perbankan per Desember 2018 sekitar 19,8 persen dari total kredit perbankan. Adapun kredit usaha mikro sebanyak 25,4 persen dari total kredit UMKM atau 5,05 persen dari total kredit perbankan. Porsi kredit UMKM ini memang terus meningkat, namun masih belum optimal. Hal ini mengingat jumlah usaha mikro di Indonesia mencapai 58,91 juta unit dan usaha kecil 59.260 unit, sedangkan usaha besar hanya 4.987 unit.
 Jelas, sinergi dan dukungan berbagai pihak sangat penting untuk mendorong ekspor produk UMKM. Pendanaan dengan skema pembiayaan yang terjangkau tanpa agunan dapat menjadi insentif. Mengingat CAD yang terus menerus dapat berimplikasi pada instabilitas moneter dan perekonomian nasional, tidak bisa tidak, Bank Sentral melalui bauran kebijakannya harus menjadi motor yang mendorong dan mengoordinasi pemangku kepentingan lainnya untuk mendukung UMKM menembus pasar ekspor. From Zero to Hero... 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)