Mendorong UMKM Menembus Pasar Ekspor (Banjarmasin Post, Tribun Forum, 14 November 2019, hlm. 4)
Oleh: Khairunnisa
Musari*
Kinerja ekspor produk usaha mikro kecil
menengah (UMKM) turun. Meski kontribusi UMKM terhadap produk domestik bruto
(PDB) meningkat menjadi 61 persen pada Semester I 2019, namun kontribusinya terhadap
ekspor nonmigas sebesar 14,17 persen. Angka ini turun dari 15,8 persen pada periode
yang sama tahun 2018.
Indonesia mungkin perlu belajar mengelola UMKM pada pemerintah
Thailand. Kontribusi
ekspor produk UMKM Thailand menempati peringkat pertama di ASEAN. Disusul
Malaysia, Filipina, Vietnam, dan kemudian Indonesia. Meski ada versi lain yang
menempatkan Malaysia pada peringkat pertama dan Thailand pada peringkat kedua,
namun keduanya sama-sama menempatkan Indonesia pada peringkat kelima.
Meski menempati peringkat kelima, namun
faktanya, Asosiasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Indonesia (Akumindo) menyebutkan
UMKM yang melakukan ekspor kurang dari 1.000 UMKM, lebihnya adalah perusahaan
besar yang mengekspor produk UMKM. Merujuk
data Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), jumlah UMKM di Indonesia
mencapai 62,922 juta unit yang didominasi oleh usaha mikro sebanyak 62,1 juta
unit. Artinya, UMKM yang melakukan ekspor sangat kecil sekali, tidak sampai dua
persen
Padahal, dengan populasi
penduduk terbesar di ASEAN, juga keberadaan UMKM sebagai lapisan usaha paling
besar dalam struktur perekonomian, Indonesia sejatinya memiliki kekuatan yang lebih
daripada negara lainnya. Sayang, Indonesia hingga saat ini justru menjadi pasar,
bukan penghasil utama.
Insentif dan Digitalisasi
Salah satu kendala utama yang dihadapi UMKM di Indonesia menembus pasar
ekspor adalah pemahaman tentang prosedur ekspor-impor, belum memenuhi standarisasi, belum bersertifikasi
produk, dan pengemasannya yang belum memadai. Selain itu, masalah klasik yang
hingga hari ini masih belum tuntas, yaitu masalah permodalan.
Mengacu data Departemen Pengembangan UMKM dan Perlindungan Konsumen Bank
Indonesia, per Desember 2018, outstanding kredit UMKM yang disalurkan
perbankan masih 19,8 persen dari total kredit perbankan. Dari total kredit
UMKM, 25,4 persen berupa kredit usaha mikro, 30 persen kredit usaha kecil, dan
44,5 persen kredit usaha menengah. Dengan jumlah usaha besar hanya sebesar 5,46
juta unit atau 8,67 persen dari total 62,928 juta unit usaha di Indonesia, jenis
usaha ini justru menguasai kredit 80,2 persen dari total kredit perbankan.
Kendala lain yang dihadapi UMKM menembus ekspor adalah tingginya biaya logistik ditambah pajak yang
tinggi untuk volume besar. Akumindo menyebut pajak yang berlaku 30 persen. Penerima
produk di negara tujuan nantinya juga masih akan dibebani biaya.
Terkait dengan perizinan, hal ini juga masih
menjadi masalah tersendiri. Di lapangan, selain pemahaman yang masih minim dari
pelaku UMKM terkait prosedur ekspor-impor, tetapi kebijakan ekspor-impor untuk
UMKM juga masih belum sejelas usaha besar. Harmonisasi antar lembaga belum serasi
dan belum terintegrasi. Dorongan ekspor produk UMKM lebih pada himbauan, belum
benar-benar berwujud pada kebijakan. Pada akhirnya, pelaku UMKM lebih memilih
pasar domestik.
Menyikapi berbagai persoalan yang terjadi, ada
dua kata kunci yang dapat dioptimalkan. Yaitu, insentif dan digitalisasi. Insentif
dibutuhkan sebagai stimulus, baik dengan
mempermudah persyaratan maupun keringanan pajak. Termasuk dengan menyediakan
perizinan digital.
Terkait digitalisasi, diperkirakan baru
sekitar 9 persen UMKM yang memanfaatkan pasar digital. Padahal, dari 267 juta populasi
penduduk Indonesia, diperkirakan 83,5 juta adalah pengguna smartphone,
132,7 juta pengguna internet aktif, 130 juta pengguna media sosial, dan 18 juta
diantaranya berbelanja online. Strategi bisnis digital dapat menjadi
peluang untuk membuka peluang ekspor produk UMKM.
Menolong Perekonomian
Tren perlambatan PDB Indonesia yang cenderung
stagnan pada angka pertumbuhan 5 persen sudah terjadi sejak 2014. Seiring bayang-bayang
pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin melambat pasca perang dagang Amerika
Serikat (AS) dan China yang menekan perdagangan internasional dan ekonomi global,
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal II 2019 kembali mencatat semakin
melebarnya defisit transaksi berjalan setelah sebelumnya sempat mengalami
perbaikan.
Tahun depan, defisit transaksi berjalan masih
akan menghantui. Terlebih belanja bunga utang negara jatuh tempo akan
meningkat. Itulah sebabnya, pemerintah belakangan semakin menyuarakan dorongan
ekspor bagi UMKM. Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia tanggal 23-24
Oktober juga memutuskan menurunkan kembali suku bunga acuan hingga menyentuh
titik terendah sepanjang 2019, yaitu 5 persen. Hal ini tidak lepas dari upaya mendorong
pertumbuhan ekonomi domestik, termasuk membantu kredit murah bagi UMKM.
Jelas, UMKM saat ini menjadi harapan bagi
pemerintah untuk menolong perekonomian dengan ikut membantu perbaikan defisit transaksi
berjalan melalui peningkatan diversifikasi produk yang bisa diekspor ke luar
negeri. Saat ini, eksistensi UMKM memang diarahkan untuk
mendukung
pertumbuhan
ekspor nonmigas. Pasalnya, defisit transaksi berjalan yang telah
berlangsung sejak 2012 dapat berimplikasi pada instabilitas nilai tukar yang
pada gilirannya dapat berimplikasi pada instabilitas perekonomian nasional.
Tidak
bisa tidak, gaung yang mendorong UMKM menembus pasar ekspor tidak boleh hanya
sebatas himbauan belaka, tetapi kongkret menjadi harmonisasi kebijakan.
Menjadikan UMKM naik kelas bukan sekedar membantu perbaikan defisit transaksi
berjalan semata, tetapi juga dapat membantu meningkatkan pendapatan rumah
tangga masyarakat golongan menengah ke bawah. Pada gilirannya, hal ini juga
membantu mengurangi tingkat kemiskinan. Wallahua’lam bish showab.
Komentar
Posting Komentar