UU JPH dan Dukungan Makroprudensial Bank Sentral (Bisnis Indonesia, Opini, 10 Oktober 2019, hlm. 2)
Oleh: Khairunnisa
Musari*
Menjelang 17 Oktober, hiruk-pikuk sertifikasi halal sebagai agenda Undang-Undang
Jaminan Produk Halal (UU JPH) semakin menguat. Usaha mikro, kecil, dan menengah
(UMKM), khususnya yang bergerak pada industri makanan minuman (mamin), yang
paling resah karena menjadi yang pertama dikenakan kewajiban. Untuk itu,
berlakunya UU JPH pada 17 Oktober dapat menjadi momentum bagi Bank Indonesia ke
depan untuk mengarahkan kebijakan makroprudensial yang mendukung sektor industri
halal.
Meski pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan
Produk Halal (BPJPH) dipandang belum siap melaksanakan UU JPH, namun amanat UU
ini harus terus dilaksanakan. Hal tersebut mengingat potensi produk halal dalam
memasuki pasar ekspor sehingga dapat membantu memperbaiki
defisit transaksi berjalan atau current account
deficit (CAD).
Dalam ketidakpastian ekonomi
global, produk halal memiliki peluang pasar yang terus membesar. Selain kesadaran
masyarakat muslim dunia untuk menggunakan produk halal yang semakin baik, halal
kini juga tidak lagi menjadi simbol agama. Halal saat ini sudah menjadi standar
dalam menentukan tingkat kebersihan, keamanan, dan kenyamanan yang diakui masyarakat
global.
The State of the Global
Islamic Economy Report 2018-2019 mencatat market size untuk seluruh industri
halal global pada 2017 mencapai US$ 2,107 triliun. Pada 2023, market size
ini diprediksi meningkat menjadi US$ 3,007 triliun. Di Indonesia, belanja industri
halal pada 2017 mencapai US$
218,8 miliar dengan dominasi konsumsi makanan halal hingga US$ 170 miliar.
Namun demikian, tidak bisa dipungkiri, perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China sejak
2018 memicu meningkatnya ketidakpastian ekonomi dunia. Hingga semester I-2019,
pertumbuhan ekonomi dua negara tersebut melambat. Perlambatan ini menyebar pada
negara lain dan berdampak pada menurunnya aktivitas ekonomi dan perdagangan internasional.
Sebagian besar harga komoditas turun tajam. Penurunan ekonomi ini diprediksi
masih terus berlanjut hingga 6-12 bulan ke depan.
Oleh karena itu, berlakunya UU
JPH pada 17 Oktober merupakan momentum untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui
kebijakan makroprudensial yang akomodatif, utamanya dalam pengembangan industri
halal. Pasca krisis keuangan global tahun 2008, hingga berulang kembali ancaman
resesi akibat perang dagang, kebijakan makroprudensial menjadi harapan untuk menjaga stabilitas makroekonomi.
Makroprudensial untuk UMKM
Dalam melaksanakan kebijakan makroprudensial yang
bersifat countercyclical, maka kebijakan secara umum yang dilakukan Bank
Indonesia pada situasi bust saat ini adalah memberi pelonggaran untuk
membantu perekonomian bangkit. Bank dapat menggunakan cadangan modal untuk
mengurangi kontraksi kredit. Hal ini perlu dilakukan guna mendorong fungsi intermediasi
yang seimbang dan berkualitas. Pasalnya, perilaku bank cenderung menahan kredit
saat kondisi bust.
Selanjutnya, jika selama ini mandat stabilisasi
harga pada Bank Indonesia selaku otoritas makroprudensial adalah melalui program
klaster, kewirausahaan, dan penegasan kembali komitmen perbankan untuk
penyediaan kredit UMKM sebesar 20 persen, maka porsi UMKM yang menghasilkan
produk halal seyogyanya meningkat porsinya. Terutama pada UMKM mamin. Hal ini
perlu dilakukan guna meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan. Pasalnya, keuangan
inklusif dan stabilitas sistem keuangan memiliki hubungan erat.
Untuk itu, berlakunya UU JPH dapat menjadi
momentum bagi Bank Indonesia untuk menghasilkan jurus kebijakan makroprudensial
bagi UMKM dalam penciptaan rantai nilai halal. Terutama yang berorientasi
ekspor. UU JPH sejatinya bukan dipahami sekedar persoalan sertifikat halal
semata, tetapi harus dimaknai sebagai wujud transformasi struktural dalam
menciptakan ekosistem industri halal yang memiliki nilai tambah dan berdaya
saing pada setiap mata rantainya.
Dengan demikian, UMKM harus didorong untuk menjadi
bagian dari ekosistem halal. Pada tahun 2017, jumlah UMKM telah mencapai 62.922.617
unit. Sedangkan usaha besar hanya berjumlah 5.460 unit. Jumlah UMKM didominasi usaha
mikro sekitar 62 juta atau sekitar 98,7 persen. Sedangkan usaha kecil dan menengah
sebesar 815 ribu atau sekitar 1,3 persen.
Belum ada data resmi yang dapat menunjukkan
seberapa banyak UMKM yang bergerak pada industri halal. Meski UMKM juga kebanyakan belum
memiliki kapasitas yang baik dalam melakukan aktivitas ekspor, namun peran UMKM
tetap perlu dimaksimalkan dalam pengembangan industri halal. Potensinya yang
besar, terlebih dalam rangka melaksanakan amanat UU JPH, maka UMKM yang
bergerak pada industri halal berpeluang menjadi penopang perekonomian domestik
di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Untuk itu, Bank Indonesia harus menyiapkan sejumlah penyangga
untuk mendukung kebijakan makroprudensial. Sasaran utamanya selain mengelola
prosiklisitas sistem keuangan karena keterkaitannya dengan makrofinansial, juga
mendorong regulasi keuangan secara system-wide untuk insentif dan
disinsentif para pelaku pasar, dalam hal ini UMKM yang bergerak pada industri
halal.
Artinya, UMKM harus diberi insentif untuk masuk
dalam ekosistem rantai nilai halal sehingga komponen impor produk halal
nasional juga dapat dikurangi. Harus diakui, salah satu penyumbang CAD ternyata
adalah komponen impor dari produk halal domestik. Namun, untuk memperbaiki CAD membutuhkan
waktu karena titik kritisnya adalah ekspor komoditas sebagai tumpuan.
Maka, meningkatkan produk halal berorientasi ekspor
adalah pilihan logis daripada pinjaman luar negeri berbasis bunga sebagai solusi
jangka pendek untuk mengendalikan stabilitas nilai tukar rupiah. Apalagi bila
mengingat kemungkinan terjadinya peningkatan capital outflow karena
eskalasi perang dagang yang dapat memicu depresiasi rupiah dan meningkatnya
suku bunga acuan. Pada tataran inilah, kebijakan makroprudensial benar-benar
dinanti. Wallahua’lam bish showab.
Komentar
Posting Komentar