Oktober, Ekonomi Halal untul CAD (Jawa Pos, Opini, 7 Oktober 2019, hlm. 4)


Oleh: Khairunnisa Musari*

Merujuk Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH), maka kewajiban bersertifikat halal pada produk yang masuk dan beredar di seluruh wilayah Indonesia per 17 Oktober 2019 telah berlaku. Artinya lagi, kewajiban tersebut bagi industri makanan dan minuman hanya hitungan dua pekan karena industri ini menjadi yang pertama dikenakan kewajiban lantaran dinilai paling siap dan berhubungan langsung dengan masyarakat.
Meski pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dianggap belum siap melaksanakan UU tersebut, namun bulan Oktober dapat menjadi momentum bagi pemerintah untuk mendorong dunia usaha, utamanya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), sebagai penggerak produk halal. Hal ini tidak saja semata untuk memenuhi amanat UU JPH, tetapi juga untuk membantu Indonesia dalam memperbaiki defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD).
Produk halal Indonesia pada gilirannya akan membantu mengurangi impor produk halal yang sebenarnya juga menjadi penyebab CAD yang membebani neraca perdagangan. Selain diharapkan dapat membantu perbaikan CAD, produk halal Indonesia juga akan memiliki peluang lebih besar untuk bersaing pada pasar ekspor, terutama pada negara muslim.  
Pada semester I-2019, CAD Indonesia menembus 3 persen produk domestik bruto (PDB). CAD pada kuartal II-2019 mencapai 3,04 persen dan menjadi CAD kuartal II terburuk sejak 2014. Faktor pembengkakan CAD ditengarai karena pembayaran bunga utang luar negeri, dampak perlambatan ekonomi dunia, melemahnya harga komoditas, dan repatriasi dividen.
Tahun depan, pembengkakan CAD masih menghantui. Betapa tidak, alokasi belanja pemerintah pusat untuk melunasi bunga utang pada 2020 meningkat Rp295,2 triliun dalam APBN 2020 atau tumbuh 6,9 persen dari outlook realisasi pembayaran bunga utang 2019 yang sebesar Rp276,1 triliun. Ketegangan hubungan dagang Amerika Serikat (AS) dan China diperkirakan juga masih terus berlanjut dan semakin menekan volume perdagangan dunia dan memperlambat pertumbuhan ekonomi global. Kinerja ekspor Indonesia pun terimbas lantaran turunnya permintaan dunia dan harga komoditas. Repatriasi dividen musiman, biasanya pada awal tahun, dapat menjadi katalis yang kian melemahkan rupiah saat mengawali 2020.

Insentif

Salah satu langkah strategis dalam Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia (MEKSI) 2019-2024 adalah penguatan sektor UMKM sebagai penggerak utama rantai nilai produk halal. Indonesia berpeluang menjadi pasar produk halal terbesar di dunia sekaligus menjadi produsen utama bagi industri halal global.
Pada 2017, kurang lebih 20 persen PDB Indonesia berhubungan dengan konsumsi produk halal. Konsumsi produk halal Indonesia mencapai US$200 miliar atau 36 persen dari konsumsi rumah tangga. Sayangnya, konsumsi produk halal nasional masih didominasi produk impor luar negeri sebagai komponennya. Orientasi pasar domestik dengan bahan baku impor dalam jangka panjang akan memperburuk struktur ekonomi.
Merujuk State of Global Islamic Economy 2018/2019, pada 2017, dari belanja Indonesia untuk seluruh sektor halal sebesar US$218,8 miliar, Indonesia menghabiskan US$170 miliar untuk belanja produk makanan halal. Hal ini juga yang menempatkan Indonesia pada peringkat pertama dari 10 negara sebagai Top Muslim Food Expenditure. Pada periode tersebut, konsumsi makanan halal penduduk dunia mencapai US$1.303 miliar.  
Pada tataran inilah, pemerintah melalui BPJPH dapat menjadikan Oktober sebagai momentum bagi dunia usaha, terutama yang bergerak pada industri makanan minuman, untuk peduli sertifikasi halal. Pemerintah pun seyogyanya memberi insentif bagi industri ini, mulai dari sertifikasi gratis, bantuan promosi dan pemasaran produk, bebas pajak atau kemudahan mengakses sertifikat halal. Masa transisi lima tahun bukan waktu yang panjang mengingat proses sertifikasi umumnya membutuhkan waktu minimal tiga bulan dan jumlah UMKM makanan minuman layak sertifikasi diperkirakan mencapai 1,6 juta.

Rantai Nilai

Perbaikan CAD tidak bisa dilakukan dalam jangka pendek karena masalahnya adalah pada ekspor komoditas sebagai tumpuan struktur perekonomian. Oleh karena itu, investasi domestik harus diarahkan untuk membangun industri bahan baku bernilai tambah yang mendorong ekspor. Ekspor menjadi opsi terbaik daripada utang luar negeri sebagai variabel perbaikan CAD karena peningkatan ketidakpastian ekonomi global akibat eskalasi perang dagang dapat memicu capital outflow dari Indonesia menuju safe haven.
Demikian pula dengan sektor halal. Untuk mengarahkan industri halal berkontribusi bagi perbaikan CAD membutuhkan waktu yang tidak pendek. Masa transisi yang diberikan harus dioptimalkan dengan sejumlah insentif untuk mengakselerasinya. Pasalnya, produk halal bukan an sich terkait urusan sertifikat belaka, tetapi juga sebagai bentuk transformasi struktural untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing melalui rantai nilai halal sehingga tercipta ekosistem bagi industri halal. 
Menyambut 17 Oktober, pemerintah dan BPJPH tidak boleh kehilangan momentum. Meski disangsikan kesiapannya dalam melaksanakan UU JPH, namun amanat ini harus dijalankan karena potensi dan kebermanfaatannya. Ekonomi halal sebagai arus baru perekonomian diharapkan dapat menjadi motor bagi UMKM dan industri halal untuk turut membantu perbaikan CAD dengan mengerek ekspor Indonesia. Ini juga menjadi ikhtiar untuk menahan meningkatnya suku bunga acuan dan kemungkinan depresiasi rupiah yang semakin dalam bila aksi capital outflow semakin besar. Wallahua’lam bish showab.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)