Revolusi Industri 4.0 dan Ekonomi Digital, Siapkah Kita? (Jawa Pos RadarJember, Perspektif, 15 Maret 2019. Hlm. 21 & 27)
Oleh:
Khairunnisa Musari
“Dimana-mana selalu membicarakan Revolusi Industri 4.0
atau tentang Ekonomi Digital, tapi Bu Nisa minta kalian mengirimkan tugas atau
skripsi dengan email kok dijadikan masalah ya? Bu Nisa menggunakan plagiarism
detector untuk memeriksa tugas atau skripsi, kok kalian banyak yang enggak senang
ya? Bener nih sudah siap dengan Revolusi Industri 4.0 atau dengan Ekonomi
Digital?”
Demikian pertanyaan yang saya ajukan kepada sejumlah kelas beberapa
waktu lalu. Saya menjelaskan mengapa mereka harus dibiasakan berinteraksi
dengan teknologi. Betapa tidak, sampai hari ini masih banyak ditemukan
mahasiswa yang tidak memiliki email, tidak biasa bahkan tidak pernah komunikasi
dengan email, termasuk memiliki email dengan nama yang alay. Saya katakan, “Email
itu hari ini sama seperti kartu tanda penduduk (KTP) atau bahkan paspor. Email itu
menjadi identitas kita. Email itu pintu gerbang kita masuk ke dunia maya. Suka
tidak suka, belajarlah untuk terbiasa berinteraksi dengan email.”
Selain itu, saya juga menceritakan berbagai wajah teknologi yang memberi
kemudahan sekaligus yang melenakan mahasiswa era milenial hari ini. Saya
menggunakan plagiarism detector untuk
memeriksa skripsi atau tesis, termasuk sejumlah tugas makalah yang dibuat
mahasiswa. Alat ini tidak bisa tidak saya gunakan karena prosedur membuat
makalah atau karya ilmiah hari ini kerap dilakukan dengan cara yang tidak benar,
instan, dan tidak memenuhi etika penulisan. Bayangkan, betapa terkejutnya saya
ketika memeriksa sejumlah tugas makalah mahasiswa yang memiliki plagiarism level 98%! Keterkejutan ini juga
saya alami ketika menemukan Bab 4 dari skripsi mahasiswa yang saya bimbing memiliki
plagiarism level hingga 70%! Ini
bukan Bab 1 atau Bab 2, ini Bab 4!!!
Revolusi Industri 4.0
Seluruh dunia hari ini tengah menghamparkan karpet merah pada Revolusi Industri
4.0. Tidak usah heran bila kebanyakan forum yang digelar belakangan selalu
mengusung tema tentangnya. Istilah ini awalnya diperkenalkan sebagai integrasi
antara teknologi dengan dunia usaha atau produksi pada sebuah industri. Istilah
ini mulai familiar seiring gaung financial
technology sebagai pembuka pintu Ekonomi Digital. Istilah ini dicetuskan
pertama kali pada 2011 oleh Jerman yang kemudian menjadi tema utama pada World Economic Forum (WEF) 2016 di
Davos, Swiss.
Revolusi Industri 4.0 adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari.
Mahasiswa hari ini harus dipersiapkan untuk menghadapinya karena era tersebut yang
tengah berjalan saat ini. Tidak hanya pemerintah dan industri yang dituntut adaptif
dengan perkembangan teknologi, dunia pendidikan seyogyanya juga melakukan hal
yang sama.
Ke depan, tidak hanya industri
otomotif atau manufaktur besar yang menggunakan robot. Tetapi industri jasa pun
diprediksi akan menggunakan infrastruktur data dan artificial intelligence untuk beroperasi. Meski pada satu sisi
Revolusi Industri 4.0 dinilai mengancam serapan tenaga kerja, namun pada sisi
lain diyakini Revolusi Industri 4.0 juga akan meningkatkan produktivitas, membuka
pasar hingga ke luar negeri, dan menambah lapangan kerja baru yang memerlukan
keterampilan khusus.
Meskipun hari ini terdapat banyak
hambatan dalam mengimplementasikan Revolusi Industri 4.0, tapi faktanya
pemerintah terus gencar mensosialisasikan dan mengedukasi Revolusi Industri 4.0.
Siapkah Kita?
Pertanyaan ini sejatinya bukan retorika, tetapi ajakan untuk mengevaluasi
sejauh mana kesiapan kita menghadapinya. Untuk Indonesia, implementasi Revolusi
Industri 4.0 sejatinya memiliki potensi besar bagi pengembangan usaha mikro
kecil menengah (UMKM) yang terintegrasi dengan teknologi digital.
Pemerintah telah menyusun Making
Indonesia 4.0 yang diluncurkan April 2018 lalu. Making Indonesia 4.0 adalah peta jalan yang terintegrasi untuk
mengimplementasikan sejumlah strategi dalam memasuki era Industri 4.0. Guna
mencapai sasaran tersebut, langkah kolaboratif digaungkan dengan melibatkan sejumlah
pemangku kepentingan, mulai dari institusi pemerintahan, asosiasi, pelaku
industri, hingga unsur akademisi.
Making Indonesia 4.0 kian memantapkan langkah Indonesia menuju 10 negara yang memiliki perekonomian terkuat di dunia pada 2030.
Pemerintah terus mengupayakan untuk tercapainya berbagai sasaran dengan memastikan
nett export 10% dari produk domestik bruto
(PDB), produktivitas naik dua kali lipat, dan anggaran riset sebesar 2% dari
PDB. Tidak bisa dipungkiri, hari ini Revolusi Industri 4.0 menjadi kekuatan
besar pada sektor industri. Teknologi informasi dan komunikasi hari ini
dimanfaatkan untuk proses produksi sekaligus untuk melahirkan model bisnis
baru. Industri nasional ke depan akan dituntut untuk menguasai teknologi
sebagai sumber efisiensi dan kunci daya saing.
Pada Making Indonesia 4.0, salah satu prioritasnya adalah pengembangan
kualitas sumber daya manusia (SDM) yang kompeten sesuai kebutuhan era digitalisasi.
Pertanyaan terbesar bagi insan pendidikan tinggi adalah kesiapan kita semua
untuk mengantarkan output pendidikan tinggi menghadapi era tersebut. Siapkah
kita? Mungkin bukan ini yang harusnya menjadi pertanyaan. Sejatinya yang perlu
diajukan pertanyaan adalah “apa yang harus atau sudah kita siapkan untuk menghadapinya?”
Wallahua’lam bish showab.
Komentar
Posting Komentar