Wakaf untuk Pembiayaan Produktif (Jawa Pos Radar Jember, 11 Januari 2019, Hlm. 17 & 23)


Oleh:
Khairunnisa Musari*

“Salaam… Mbak Iis… Anyway, Mbak Iis punya referensi tentang studi kasus wakaf dan pemberdayaan komunitas di Indonesia? Wakaf tunai dan nontunai?.... Kalau buat microfinance, ada gak?...”

Demikian sebagian pesan pendek dari Mantan Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi dan Bisnis Islam Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) yang kini menjadi Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) FEB UI. Saya memanggilnya Mbak Rahma. Kami berkenalan ketika sama-sama mengerjakan proyek riset dari United Nations Development Programme (UNDP) setahun lalu.
Ya, wakaf hari ini menjadi fenomenal. Perhimpunan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan organ-organnya melirik wakaf sebagai salah satu instrumen untuk mencapai The Sustainable Development Goals (SDGs). Salah satu agenda yang diamanatkan pemerintah kepada Manajemen Eksekutif Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) yang dilantik 3 Januari lalu adalah sensus tanah wakaf dan perluasan lembaga keuangan mikro dengan branding Bank Wakaf Mikro.

Bank Wakaf Mikro
Pembentukan Bank Wakaf Mikro (BWM) diinisiasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). BWM bukan lembaga yang menjalankan fungsi wakaf, tetapi lembaga yang menjalankan fungsi keuangan mikro syariah. BWM adalah platform dari lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) yang dibentuk untuk menyediakan permodalan bagi masyarakat yang belum memiliki akses pada lembaga keuangan formal, khususnya di lingkungan pondok pesantren.
Di Jember, terdapat dua BWM yang telah dibentuk oleh OJK. Yaitu, LKMS BWM Al Falah di Silo dan LKMS BWM Al Azhar di Kaliwates. Tidak semua pesantren dapat mendirikan LKMS BWM. Mengawali pendirian BWM di Indonesia, OJK bekerjasama dengan Pengurus Besar Nadhatul Ulama (PBNU) untuk melakukan penilaian kesiapan pondok pesantren. Terdapat sejumlah prosedur penilaian tingkat kesiapan yang disusun oleh OJK dan PBNU.
Selain di lingkungan pesantren, OJK juga mendirikan BWM di kalangan ibu-ibu sebagaimana di Yogyakarta dan Tuban. BWM memang fokus pada pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, selain pembiayaan tanpa agunan maksimal Rp 3 juta, BWM juga menyediakan pelatihan kewirausahaan dan pendampingan serta tidak mengambil simpanan dari masyarakat.
BWM didesain memang untuk tidak menjadi besar. BWM dihadirkan untuk membidik pelaku usaha mikro, tepatnya usaha ultra mikro. Saya cenderung memilih istilah nanofinance untuk menyebutkan level pembiayaan yang menjadi target pasar dari BWM. Bagi keuangan syariah, persoalan nanofinance masih belum mendapat perhatian. Oleh karena itu, kehadiran BWM menjadi salah satu jawaban atas urgensitas kebutuhan masyarakat akan nanofinance. Kelompok masyarakat inilah yang lazim menjadi korban dari praktik rente.
Saat ini, sumber dana BWM berasal dari subsidi dan donasi yang salah satunya adalah dari Lembaga Amil Zakat Nasional (LAZNAS). Anggaran dari dana desa juga direncanakan akan dialokasikan untuk BWM. Pasalnya, mayoritas pondok pesantren yang menjadi tempat didirikannya BWM berada di pedesaan. Selama ini, dana desa dikucurkan langsung oleh pemerintah ke aparat desa untuk berbagai program pembangunan. Dengan menyisihkan sebagian untuk BWM, dana desa diharapkan dapat digunakan pula untuk membiayai usaha mikro masyarakat pedesaan.

Wakaf Produktif
   Wakaf untuk pembiayaan produktif menjadi salah satu tantangan besar keuangan syariah. Mayoritas pengelola dana wakaf berorientasi pada pembangunan fisik, belum sampai pada kegiatan produktif. Ketika bangunan sudah tersedia, mereka masih terbentur pada dana operasionalnya. BWM yang mengusung nama ‘wakaf’ pada entitas lembaga ternyata juga tidak diposisikan untuk menjalankan fungsi wakaf.  
Tidak bisa dipungkiri, kelembagaan dalam ekonomi syariah yang paling strategis untuk dikembangkan adalah wakaf. Wakaf memiliki dimensi sosial ekonomi yang memiliki fleksibilitas, akselerasi, dan keberlanjutan yang lebih dibanding kelembagaan lainnya. Wakaf memiliki potensi besar dalam membantu pengembangan perekonomian daerah, regional, bahkan nasional. Kelembagaan wakaf kini berevolusi dari ranah kegiatan sosial keagamaan menjadi kegiatan ekonomi.
 Dompet Dhuafa (DD) dapat menjadi role model dalam pengelolaan dana produktif. Selain jejaringnya fokus pada pemberdayaan masyarakat, DD juga membangun jejaring yang berorientasi bisnis. Salah satunya adalah DD Travel dan DD Water. Untuk jejaring khusus wakaf, DD berekspansi dengan wakaf uang melalui jejaring Tabung Wakaf Indonesia (TWI).
TWI mengalokasikan wakaf uang dalam kegiatan produktif melalui berbagai bentuk sarana dan kegiatan usaha. Bersama mitranya, TWI mengelola wakaf uang pada usaha peternakan, pertanian, perkebunan, perdagangan, dan persewaan. Hasil yang diperoleh dari kegiatan produktif inilah yang kemudian dimanfaatkan untuk beragam layanan sosial seperti pembangunan dan pengelolaan masjid, sekolah, klinik, dapur umum hingga taman bermain.
Saat ini, salah satu terobosan pemerintah dalam mengelola wakaf untuk kegiatan produktif adalah waqf linked sukuk (WLS). WLS adalah wakaf tunai yang terintegrasi dengan sukuk. Dana wakaf yang dikelola Badan Wakaf Indonesia (BWI) akan diinvestasikan pada instrumen sukuk. Imbal hasil yang diperoleh akan diberikan kepada mauquf ‘alaih untuk membangun fasilitas pendidikan, kesehatan, pemberdayaan, termasuk untuk pemulihan daerah bencana dan kegiatan lainnya yang sesuai syariat. Pada saat jatuh tempo, dana wakaf akan kembali 100 persen kepada wakif.
Ya, WLS boleh dikata merupakan wakaf sementara. Namun, kehadirannya bermanfaat untuk memperbesar pangsa pasar keuangan syariah dan meningkatkan partisipasi publik dalam pembiayaan pembangunan. WLS juga sejatinya dapat digunakan sebagai instrumen yang memitigasi keterbatasan nadzir dalam mengelola dana atau aset produktif. Pada tataran inilah pekerjaan besar bagi semua pelaku dan penggiat ekonomi dan keuangan syariah, utamanya yang bergiat di bidang filantropi, baik di tingkat nasional dan daerah, untuk menghadirkan inovasi produk atau kegiatan produktif. Sinergi antar stakeholder yang berpihak pada kemaslahatan adalah kuncinya. Wallahua’lam bish showab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)