Menuju Ekonomi Halal (Jawa Pos Radar Jember, Perspektif, 8 Desember 2018, Hlm. 21 & 27)


Oleh: Khairunnisa Musari*

“Mas Agusta ada kelas hari Jum’at kan… Duet ya dengan dosen dari Jakarta. Tentang industri halal. Dosen dari Jakarta mengisi agenda pemerintah tentang roadmap industri halal oleh KNKS, otoritas, dll. Mas Agusta mengisi materi dari sisi pelaku usaha… Mau ya… Halal untuk UMKM?... Supply Chain untuk UMKM?... Iya, boleh… Ketemu besok ya…”

Demikian sebagian obrolan saya dengan Ketua Badan Pengurus Cabang (BPC) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Jember yang saya minta untuk mengisi kuliah tamu. Kami sepakat menggabungkan kelas Kewirausahaan yang diajarnya dengan kelas Manajemen Operasi yang saya ajar dalam bentuk kuliah tamu.  
Adapun dosen dari Jakarta yang saya minta untuk mendampingi Mas Agusta adalah Pak Huda, demikian saya memanggilnya, akademisi yang juga menjadi Pengurus Pusat (PP) Masyarakat Ekonomi Syariah dan merupakan salah satu Ketua Harian Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) yang kebetulan memiliki agenda kunjungan ke Jember. Sebagai salah satu penguji fit and proper test seleksi Direktur Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) beberapa waktu lalu, saya sengaja ‘menodong’ beliau agar mau sharing ilmu di kelas saya.
Ya, keduanya bersanding dalam kuliah tamu bertema “Menuju Sektor Riil Berbasis Halal”. Saya meminta Mas Agusta membawakan materi “Problematika UMKM menuju Standarisasi” dan Pak Huda membawakan materi “Industri Halal sebagai Motor Sektor Riil Syariah.” Industri halal memang menjadi salah satu isu besar dalam ekonomi dan keuangan Syariah saat ini. Isu ini pula yang diusung Bank Indonesia dalam perhelatan The 5th Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) bulan Desember mendatang dengan tema “Strengthening National Economic Growth: The Creation of Halal Value Chains and Innovative Vehicles.”

Tahun Depan, UU JPH Berlaku

Merujuk Undang-Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), maka kewajiban bersertifikat halal bagi produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia akan diberlakukan tahun depan. Menurut UU, kewajiban ini mulai berlaku lima tahun terhitung sejak JPH diundangkan. Artinya, kewajiban sertifikasi halal pada semua produk di Indonesia akan berlaku 17 Oktober 2019 atau tepat lima tahun setelah UU tersebut disahkan pada 17 Oktober 2014.
 Tidak bisa dipungkiri, meski standar halal Indonesia sudah diakui dan diimplementasikan oleh lebih 43 lembaga dunia dari 22 negara, namun sistem halal di Indonesia belum terbangun. Adanya standarisasi halal sejatinya berpeluang memperluas pasar produk Indonesia, tidak hanya di Indonesia, tapi juga di tingkat global. Pada titik inilah, kiprah Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) diuji eksistensinya. Sertifikasi halal sejatinya bukan hanya melindungi masyarakat Muslim, tetapi juga melindungi seluruh masyarakat Indonesia. Sertifikasi halal hari ini bukan sekedar simbol agama, tetapi sudah menjadi simbol bagi kualitas, higienitas, kesehatan, dan keamanan bagi konsumen.
Jelas, kehadiran UU JPH menjadikannya mandatory bagi dunia usaha. Urgensitas untuk diakselerasinya standarisasi sertifikasi halal bukan saja dilihat dari deadline UU. Lebih dari itu, BPJPH harus hadir bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan stakeholder lainnya untuk menjadikan produk halal sebagai arus baru ekonomi Indonesia dan menjadi pintu gerbang membangun kedaulatan ekonomi rakyat. Betapa tidak, di luar sana, sudah banyak negara yang berbondong-bondong menjadi pusat halal. Indonesia tidak boleh hanya menjadi pasar, tetapi harus menjadi tuan di rumahnya sendiri. 

Halal, Arus Baru Ekonomi

Ekonomi halal adalah arus baru ekonomi Indonesia dan dunia. Ekonomi halal memiliki potensi mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan global. Permintaan konsumen atas produk halal terus meningkat pesat. Hal ini mendongkrak investasi dan perdagangan pada industri halal, baik di negara berpenduduk mayoritas Muslim maupun NonMuslim. Potensi tersebut semakin kuat dengan meningkatnya pertumbuhan populasi Muslim dunia yang diprediksi akan mencapai 27,5 persen dari total populasi dunia pada 2030.
Dalam konteks Indonesia, ketaatan atas agama yang semakin baik menjadi salah satu pemicunya. Hal ini terindikasi dari fenomena perilaku konsumen Muslim di Indonesia yang menunjukkan pola konsumsi yang halal-oriented. Ditambah lagi, kesadaran beragama yang tinggi pada generasi Z. Riset Varkey Foundation pada 20 ribu anak muda dari 20 negara yang lahir pada rentang tahun 1995-2001 menunjukkan anak muda di Indonesia menempati peringkat pertama yang menganggap agama penting sebagai kunci kebahagiaan hidup.
Ya, implementasi JPH pada produk-produk Indonesia berpeluang meningkatkan potensi ekspor. Meningkatnya perdagangan global untuk produk halal menjadi salah satu indikator atas kontribusinya bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional. Pemerintah hari ini sangat mendorong peningkatan ekspor produk halal guna turut memperbaiki defisit transaksi berjalan. Pada 2017, ekspor produk halal Indonesia mencapai 21 persen dari total ekspor secara keseluruhan. Diperkirakan angka ini akan terus meningkat hingga US$3,08 triliun pada 2022. Sebelumnya, pada 2016, realisasi ekspor produk halal Indonesia mencapai kisaran US$2 triliun. Ekspor produk halal Indonesia dalam tiga tahun terakhir ini memang menunjukkan tren positif.
Tidak bisa dipungkiri, pemerintah mengharapkan industri halal dapat menjadi sumber baru pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sertifikasi halal sejatinya berimplikasi positif kepada dunia usaha. Dunia usaha berkewajiban memenuhi standar yang telah ditetapkan. Namun, pemerintah juga harus memastikan proses standarisasi tidak membebani pelaku usaha, khususnya pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM). Ketika pemerintah menuntut dunia usaha menghasilkan produk bersertifikasi halal, maka pemerintah juga seyogyanya menjamin proses sertifikasi halal tidak rumit dan tidak mahal.
Untuk itu, penerapan rantai pasok halal menjadi keniscayaan. Saat ini, rantai pasok halal di Indonesia masih sarat persoalan. Ekosistem halal di Indonesia belum terintegrasi dengan baik antara bisnis hulu dan hilir. Selain belum ada regulasi, implementasinya dikhawatirkan menambah biaya produksi dan logistik sehingga konsumen harus membayar lebih mahal. Menjelang 2019, semoga persoalan-persoalan ini segera teratasi. Wallahua’lam bish showab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)