Geliat RS (Bersertifikat) Syariah (Jawa Pos Radar Jember, Perspektif, 2 November 2018. Hlm. 21 & 27)


Oleh: Khairunnisa Musari*

“Maaf, mau tanya. Apa benar bangunan besar warna putih menyerupai Masjid di JLT itu nantinya untuk Rumah Sakit (Bersalin) Syariah? Mau saya buat bahan tulisan…”

Sebuah pertanyaan diajukan saya pada grup WhatsApp (WA) berusia satu pekan yang tengah menginisiasi pembentukan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Lumajang. Meski pertanyaan diajukan terbuka kepada semua anggota grup, namun pertanyaan tersebut sejatinya saya tujukan kepada seseorang yang kabarnya menjadi pemilik bangunan tersebut. Ternyata benar. Tak lama berselang, beliau pun merespon, “Rencana untuk Rumah Sakit Umum… Konsep Rumah Sakit Wisata dan Syar’i…”.
            Ya, saya yang hampir setiap hari pulang pergi (PP) melalui Jalur Lintas Timur (JLT), selalu melewati bangunan putih megah itu. Sejumlah versi tentang bangunan tersebut yang membuat saya memberanikan bertanya. Betapa tidak, bangunan bak Masjid itu memiliki kubah menyerupai Pantheon Paris dan menara menyerupai Big Ben London. Pagar-pagar seng yang menutupi bangunan membuat saya yang melintas makin penasaran. Ternyata geliat Rumah Sakit (RS) Syariah juga sampai di Lumajang.

RS Syariah

Sedikitnya sudah 32 RS di Indonesia yang berproses menuju sertifikasi syariah. Majelis Upaya Kesehatan Islam Seluruh Indonesia (MUKISI) adalah organisasi yang dikenal sebagai inisiator RS syariah. Bermula pada Juli 1994, hasil Semiloka Pemanfaatan dan Manajemen Rumah Sakit Islam di Indonesia mencetuskan adanya kebutuhan pembentukan forum koordinasi antar upaya kesehatan Islam yang tidak hanya meliputi RS Islam saja. Pada Oktober 1994, disepakati adanya badan koordinasi antar upaya kesehatan Islam yang kemudian dikenal sebagai MUKISI.
MUKISI kemudian bekerjasama dengan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) untuk mensertifikasi RS secara syariah dengan standar tertentu. Terdapat 51 persyaratan standar dan 173 elemen penilaian. Standar dalam sertifikasi dibagi menjadi lima bab besar sesuai maqasid syariah, yaitu hifdz al-din, hifdz al-nafs, hifdz al-aql, hifdz al-nasl, dan hifdz al-maal.
Selanjutnya, dari masing-masing standar tersebut dibagi lagi menjadi kelompok penilaian manajemen dan penilaian pelayanan. Untuk kelompok penilaian manajemen, meliputi: standar syariah manajemen organisasi, modal insani, manajemen pemasaran, manajemen akuntansi dan keuangan, manajemen fasilitas, serta manajemen mutu. Sedangkan kelompok penilaian pelayanan, meliputi: standar syariah akses pelayanan dan kontinuitas, asesmen pasien, pelayanan pasien, pelayanan obat, pelayanan dan bimbingan kerohanian, pendidikan pasien dan keluarga, serta pencegahan dan pengendalian infeksi.
Berdasarkan Fatwa DSN MUI Nomor 107/DSN-MUI/X/2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Rumah Sakit Berdasarkan Prinsip Syariah, ditetapkanlah sejumlah ketentuan. Ketentuan tersebut meliputi: hal-hal umum, hukum, akad dan personalia hukum, terkait akad, pelayanan, penggunaan obat-obatan, makanan, minuman, kosmetika, dan barang gunaan, hingga ketentuan penempatan, penggunaan, dan pengembangan dana RS.   
Adapun standar minimal pelayanan RS syariah meliputi delapan aspek. Pertama, membaca basmalah sebelum melakukan sesuatu dan meminum obat bagi perawat, dokter maupun pasien. Kedua, memasang electrocardiograms (ECG) harus dilakukan oleh gender yang sejenis. Ketiga, menyediakan edukasi mengenai keislaman dan kerohanian kepada pasien agar menerima dan memandang sakit sebagai ujian dari Allah. Keempat, jadwal operasi tidak boleh bersamaan dengan waktu shalat, kecuali terpaksa dan mendesak. Kelima, menjaga dan menyediakan hijab bagi pasien perempuan. Keenam, menyediakan pakaian menutup aurat untuk ibu menyusui. Ketujuh, petugas menjaga aurat pasien di kamar operasi. Kedelapan, menjaga pria dan perempuan bukan mahram untuk melakukan khalwat atau ikhtilat.

Geliat Industri Halal

Geliat RS syariah sejalan dengan isu halal yang kini menjadi tren global. Isu halal hari ini bukan menjadi simbol agama semata, tetapi juga menjadi simbol bagi kualitas, kebersihan, dan keamanan yang universal bagi konsumen. Kebutuhan masyarakat akan produk halal semakin meningkat, tidak hanya dari kalangan muslim, tetapi juga nonmuslim. Adanya regulasi yang memberi jaminan atas produk halal menjadikan halal tidak lagi bersifat voluntary, tetapi sudah menjadi mandatory.
 Sayang, meski Indonesia memiliki jumlah penduduk muslim terbesar dunia, tapi Indonesia belum optimal mengembangkan industri halal. Indonesia saat ini masih menjadi pasar dan belum menjadi pemain yang ikut memanfaatkan besarnya pertumbuhan industri halal global. Justru negara-negara yang minoritas penduduk muslim yang lebih dulu mengambil bagian, utamanya di sektor pariwisata dan makanan. Ya, ekonomi halal kini menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi nasional dan global.
 Tiba-tiba saya teringat materi Prof. Abdul Ghafar Ismail dari Malaysia yang mengisi kuliah tamu Studi Produk dan Sertifikasi Halal di kampus pada akhir Oktober lalu. Beliau menyampaikan “Roadmap of Halal Industry, Toward Halal GNP”. Materi ini ternyata juga menjadi bahan yang akan disampaikan beliau dalam pertemuan bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Ya, Gross National Product (GNP) akan didorong untuk memisahkan kegiatan ekonomi halal dan nonhalal. Dengan demikian, kita dapat mengukur seberapa besar GNP halal sebagai salah satu indikator pembangunan sosial ekonomi berbasis maqasid syariah. Mungkinkah? Entahlah. Namun, bukan mustahil.
Lihat saja fenomena RS syariah hari ini. Jika pada waktu lalu perbankan dan lembaga keuangan syariah menjadi isu sentral untuk ekonomi syariah, mulai 2016 ada kemajuan dengan munculnya RS syariah. Jumlah yang mendaftar sertifikasi terus bertambah, bahkan diantaranya terdapat 4 RS umum daerah (RSUD) dan satu RS Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Belum lagi isu halal testing, halal ingredients, halal animal feed, halal slaughtering, halal logistics, halal pharmaceutical, halal hospitality, halal consumerism, halal retailing, halal warehousing, halal transportation, halal supply chain, halal packaging, hingga halal auditing. Semua mengindikasikan konsep halal dan syariah terus merambah ke berbagai lini dan kian mendapat respon positif dari masyarakat luas, baik muslim maupun nonmuslim. Wallahua’lam bish showab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)